Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hindari Kesalahan Tafsir, Pemerintah Masifkan Sosialisasi KUHP Baru
Oleh : Opini
Senin | 30-01-2023 | 14:44 WIB
A-KUHP-Baru_jpg22.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Menkum-HAM Yasona Laoly saat menerima KUHP yang baru di DPR RI. (Foto: Ist)

Oleh Rani Ananda Julia

LAHIRNYA Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru merupakan perwujudan dari reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh. Hal ini merupakan kesempatan untuk melahirkan sistem Hukum Pidana Nasional yang komprehensif berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa, serta Hak Asasi Manusia yang sifatnya universal.

Selain itu KUHP baru ini adalah sebuah mahakarya dalam hukum pidana yang seluruh norma hukumnya bersumber dari Pancasila sebagai ideologi dan pedoman hidup berbangsa Indonesia.

KUHP baru ini sendiri mulai berlaku setelah tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya. Selama tiga tahun tersebut harus dilakukan sosialisasi kepada seluruh komponen masyarakat.

Sosialisasi tentu akan berperan penting dalam memberlakukan sebuah produk hukum dan kebijakan secara efektif. Selama sosialisasi tersebut nantinya akan mengandung sejumlah fungsi penting, antara lain fungsi edukasi, aspirasi dan persepsi.

Dengan disahkannya KUHP yang baru diharapkan hukum di Indonesia akan lebih adil dan modern mengikuti perkembangan situasi sekarang ini. Pengesahan KUHP baru merupakan momen yang bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia.

Karena sebelumnya Indonesia menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda yang dirasa sudah tidak relevan dengan situasi masyarakat di Indonesia saat ini. Maka dari itu kehadiran KUHP baru diharapkan mampu membuat iklim hukum di Indonesia menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Setelah disahkannya KUHP baru, sosialisasi harus masif digencarkan, agar tidak terjadi kesalahan persepsi dalam memahami di kalangan masyarakat. Selain itu dengan melakukan sosialisasi, pasal-pasal yang ada didalamnya bisa dipahami sehingga tidak salah dalam menafsirkan, sekaligus meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya adaptasi terhadap KUHP baru, agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.

Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Dr. Dhahana Putra saat sosialisasi KUHP di Ternate mengatakan, terdapat lima misi dari KUHP baru yaitu pertama rekodifikasi terbuka dan juga masih mengakui terkait undang-undang yang lain yang diatur terkait ketentuan pidana. Kedua adalah harmonisasi juga cukup menarik pada saat Indonesia memiliki komitmen terkait hak asasi manusia.

Dengan adanya sosialisasi ini, diharapkan pula dapat memperoleh dukungan publik terhadap KUHP yang baru. Serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terkait bahaya penyebaran hoaks, terutama di kalangan akademisi dan mahasiswa. Sehingga mewujudkan masyarakat digital sadar hukum dan HAM sebagai upaya menciptakan ruang digital Indonesia yang positif dan kondusif.

Di tempat yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Marcus Priyo Gunarto mengatakan banyak keunggulan KUHP baru dibandingkan dengan KUHP lama atau Wetboek van Strafrecht (WvS). Diantaranya adalah delik adat atau hukum pidana adat itu merupakan ciri khas hukum pidana bangsa Indonesia. Dalam KUHP baru sekarang hanya ada dua buku, kalau di dalam WvS ada tiga buku.

KUHP baru mengalami perubahan paradigma yang menyebut bahwa pidana digunakan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat serta untuk memerangi kejahatan. Setiap warga negara berhak memperoleh kepastian hukum yang adil. Prinsipnya bukan kepastian hukum menurut UU tetapi kepastian hukum menurut keadilan. Perundang-undangan pidana yang lain harus mengacu pada buku kesatu KUHP.

Perubahan yang paling mendasar sebetulnya terletak di Buku I, karena ada perubahan paradigma tentang pidana. Ternyata pidana itu adalah alat untuk mencapai tujuan, sehingga semua akan merubah konteks peradilan pidana.
Dalam konteks perlindungan, pidana mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa dan warga masyarakat main hakim sendiri.

Salah satu contohnya adalah mengenai kohabitasi, ada masyarakat yang meyakini kohabitasi dilarang, namun ada kelompok masyarakat tertentu yang masih melakukan. Kemudian ada juga di kelompok masyarakat lain yang melakukan main hakim sendiri dengan penggerebekan.

Ketika itu ditentukan sebagai delik aduan, dibatasi siapa yang berhak mengajukan aduan, itu menjadi jalan tengah KUHP baru memiliki berbagai pasal yang akan melindungi rakyat dari kejahatan pidana, dan mengikuti dinamika masyarakat modern. Kitab ini disusun oleh para ahli hukum Indonesia sehingga mengerti kultur dan situasi masyarakat Indonesia.

Namun sayang ada segelintir orang yang menuduh bahwa penyusunan KUHP terlalu terburu-buru, bahkan dipaksakan. Maka dari itu perlunya sosialisasi yang masif sangatlah diperlukan untuk mengedukasi kepada masyarakat agar memahami manfaat dari KUHP baru ini.

Sementara itu menurut Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Dr. Surastini Fitriasih mengatakan keunggulan KUHP baru sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yakni pada titik tolak dari asas keseimbangan, rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas, memuat berbagai inovasi terkait pidana dan pemidanaan, pertanggungjawaban pidana korporasi, mengatur pertanggungjawaban mutlak (strict liability), dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).

Pada intinya KUHP baru ini bukan hanya memberikan kepastian hukum yang konkret melainkan juga membawa Indonesia menghasilkan hukum modern yang mencerminkan nilai luhur bangsa.

Masyarakat diharapkan tidak hanya membaca pasal-pasal atau isu yang dianggap krusial tersebut, tetapi juga memiliki rasa ingin tahu untuk mengetahui penjelasannya atau impementasinya.

Hal ini juga harus didukung dengan pemahaman seluruh stakeholders penegak hukum. Sehingga tahap sosialisasi hingga Training of Trainers (ToT) merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dan perlu terus digencarkan.

Tujuan penegakan hukum tidak untuk mewujudkan kepastian hukum semata, tetapi juga keadilan dan kemanfaatan. KUHP Nasional ini sudah semaksimal mungkin berupaya mencari titik keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat dan negara. Khususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan ruang privat masyarakat dan kebebasan ekspresi.*

Penulis adalah Pengamat Hukum Pidana dari Nusa Bangsa Institute Jakarta