Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Beralih ke Sistem Transportasi Berkelanjutan
Oleh : dd/hc
Rabu | 15-08-2012 | 11:53 WIB

BATAM, batamtoday - Kemacetan panjang di hari raya bisa menjadi refleksi dan motivasi untuk beralih ke sistem transportasi yang berkelanjutan.


Sistem transportasi yang berkelanjutan adalah sistem transportasi yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat ini dan masa mendatang tanpa merusak lingkungan. Pengalaman berdesak-desakan dan kemacetan yang kita alami setiap tahun menjelang lebaran, sebenarnya adalah cerminan kegagalan negara membangun sistem transportasi yang berkelanjutan.

Masalah ini tidak hanya terjadi dalam skala lokal seperti di perkotaan, namun juga dalam skala nasional. Indonesia masih belum memiliki sistem dan infrastruktur transportasi publik yang memadai dan nyaman.

Di pulau Jawa misalnya, jumlah kendaraan telah jauh melampaui kapasitas jalan raya, sementara di luar Jawa, infrastruktur transportasi jauh dari yang diharapkan ditandai dengan buruknya fasilitas jalan raya dan angkutan (barang maupun penduduk) di dalam, antar pulau dan provinsi.

Masyarakat pun tidak memiliki pilihan selain beralih ke kendaraan pribadi. Arus mobil dan motor pun semakin memenuhi jalan raya. Mereka – terutama pengemudi sepeda motor – menyambung nyawa setiap tahun untuk bisa bertemu dengan keluarga di kampung halaman.

Aktivitas transportasi terkait erat dengan konsumsi energi. Dan Indonesia adalah negara yang masih menggantungkan sumber energinya dari bahan bakar fosil.

Menurut siaran pers Pertamina, konsumsi rata-rata harian bahan bakar utama seperti premium naik 3,3% dari 78.000 KL menjadi 80.000 KL pada bulan puasa dan lebaran. Sementara konsumsi Avtur naik 6% dari rata-rata harian normal 10.763 KL menjadi 11.384 KL.

Dari laporan Worldwatch Institute terungkap, sistem transportasi adalah sumber emisi gas rumah kaca utama. Jumlah emisi dari sistem transportasi diperkirakan akan naik 300% pada 2050. Saat ini, sektor transportasi menyumbang 80% polutan udara berbahaya yang menyebabkan 1,3 juta kematian prematur setiap tahun.

Dalam Konferensi Pembangunan Berkelanjutan (Rio+20) yang berlangsung Juni lalu, 8 bank pembangunan multilateral telah berkomitmen memberikan pembiayaan sebesar US$175 miliar guna menciptakan sistem transportasi yang berkelanjutan dalam sepuluh tahun mendatang.

Inisiatif yang difasilitasi oleh Partnership on Sustainable Low Carbon Transport (SLoCaT) ini melibatkan 68 bank pembangunan multilateral, organisasi kemasyarakatan, sejumlah lembaga PBB, organisasi riset serta perusahaan..

Salah satu aksi yang dilakukan untuk menciptakan sistem transportasi yang berkelanjutan adalah dengan berinvestasi pada jalur transportasi berkapasitas tinggi. Permintaan akan infrastruktur transportasi terus meningkat. Tanpa adanya perubahan kebijakan, menurut International Energy Agency, 2 – 3 miliar mobil akan memenuhi jalanan dunia pada 2050, naik dari 800 juta mobil yang ada saat ini.

Sistem transportasi dan pola pemanfaatan lahan yang ada saat ini juga merugikan masyarakat. Penduduk yang memiliki rumah di wilayah terpencil, dipaksa menempuh perjalanan pulang pergi ke tempat kerja yang jauh dan mahal jika mereka ingin tetap bekerja di sektor yang prospektif di pusat kota.

Bagi penduduk miskin, banyak di antara mereka yang terpaksa berjalan kaki karena tidak sanggup membayar angkutan umum, walau fasilitas bagi pejalan kaki, seperti trotoar yang aman, tidak tersedia. Di Surabaya, contohnya, 60% jalan tidak memiliki trotoar untuk pejalan kaki.

Untuk itu, menurut Worldwatch Institute, diperlukan tiga kebijakan menuju sistem transportasi yang berkelanjutan.

Kebijakan pertama yaitu menghindari (avoid) perjalanan yang tidak perlu. Hal ini bisa tercapai dengan penetapan tarif transportasi yang terjangkau, tata ruang yang lebih efisien dan memberikan fasilitas telekomunikasi yang lebih baik, sehingga penduduk bisa bekerja dan berkomunikasi dengan lancar tanpa harus bertatap muka.

Kebijakan kedua adalah beralih (shift) ke sistem transportasi berkelanjutan dengan berinvestasi di sistem Bus Rapid Transit (seperti bus way di Jakarta), berjalan kaki, bersepeda dan mengatur lalu lintas melalui pembatasan fasilitas parkir, penetapan biaya parkir, denda polusi (polluter-pays incentives) dan menyediakan informasi yang cukup bagi pengguna sistem transportasi publik.

Yang terakhir adalah dengan meningkatkan (improve) efisiensi kendaraan dengan beralih ke bahan bakar yang lebih bersih, membangun jaringan transportasi yang lebih baik dan menggunakan teknologi transportasi yang lebih efisien sesuai dengan kondisi lokal.

Contoh keberhasilan ketiga strategi ini bisa dilihat di Kolombia. Kolombia membangun sistem Rapid Bus Transit di Bogota, pada tahun 2000. Pada 2011, sistem ini berhasil menarik lebih dari 1,7 juta penumpang setiap hari dengan harga tiket 1,600 Peso Kolombia atau setara dengan Rp7.500.

Denda polusi dan kemacetan di London juga berhasil mendorong masyarakat beralih ke sistem transportasi publik dan menjadi salah satu sumber pemasukan untuk memerbaiki layanan dan fasilitas transportasi publik di sana. Sementara program bersepeda (bike sharing) di Hangzhou, China yang diluncurkan pada 2008, berhasil menyediakan 60.000 sepeda bagi penduduknya dengan biaya terjangkau. Satu jam pertama, sepeda bisa digunakan secara gratis. Sementara pada jam berikutnya, pengguna akan dikenai biaya sekitar Rp1500/jam.

Inovasi-inovasi seperti ini bisa membantu masyarakat untuk beralih ke sistem transportasi yang berkelanjutan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.