Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perjalanan Pemberantasan Korupsi di Setiap Era Kepresidenan Indonesia
Oleh : Redaksi
Minggu | 01-01-2023 | 21:04 WIB
epadiana.jpg Honda-Batam
Epadiana (Foto: Istimewa)

Oleh Epadiana

KORUPSI dapat dipahami sebagai sebuah praktek penyalahgunaan kekuasaan maupun wewenang yang dimiliki untuk mendapat suatu manfaat dari tindakannya melalui cara-cara yang melanggar hukum. Praktek korupsi tidak hanya bisa dilakukan secara individu namun juga bisa dilakukan secara berkelompok dan sering kali tergantung seberapa besar suatu hal yang dikenai praktek korupsi.

Kata korupsi pastilah sering didengar oleh masyarakat dan kita sendiri sebagai rakyat sekaligus individu yang tinggal di Indonesia. Dengan familiarnya kita terhadap fenomena korupsi, maka tidak salah jika sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa korupsi sejatinya telah menjadi budaya di Indonesia. Berbicara mengenai korupsi maka tidak lepas juga menyangkut perihal kekuasaan.

Korupsi yang terjadi di negara kita ini kurangnya kontrol sosial, baik kontrol sosial dari kepolisian maupun masyarakat atau lingkungan sosial yang membuatnya demikian. Akibat dari hal ini semakin membuat perilaku koruptif yang menjadi cikal bakal korupsi itu semakin berkembang.

Kontrol sosial yang dimaksud di sini adalah sebuah tindakan untuk mengawasi perilaku menyimpang dalam hal ini adalah perilaku koruptif. Kontrol sosial juga dapat dikatakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Ketika dalam masyarakat sudah ditekankan demikian, maka perilaku korupsi ini bisa dicegah sejak dini. Itulah sebabnya pentingnya peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Di mana Lord Acton berpendapat 'power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely' atau jika diterjemahkan kekuasaan cenderung memberi kesempatan untuk korup, dan jika kekuasaan berlaku mutlak maka korupsi juga akan berlaku mutlak di sana. Telah banyak upaya untuk melaksanakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan bahkan sejak zaman kolonial. Dalam ini, akan dipaparkan perjalanan pemberantasan korupsi di setiap era kepresidenan Indonesia.

Soekarno (Orde Lama)

Pembentukan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang menghasilkan dibentuknya PARAN ( Panitia Retooling Aparatur Negara) yang berfungsi menangani data laporan kekayaan pejabat negara, dan Keppres No. 275 tahun 1963 tentang pemberantasan korupsi.
Soeharto (Orde Baru) Pidato Soeharto 16 Agustus 1967 dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). pembentukan komite empat, hingga menjalankan Operasi Tertib (OPSTIB).

B.J. Habibie

No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Undang-undang ini kemudian membentuk KPKPN, KPPU, KOMISI OMBUDSMAN.

Gus Dur

Dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) sebelum akhirnya dibubarkan oleh Mahkamah Agung.

Megawati

Sempat terjadi ketidakpercayaan pemberantasan korupsi yang tidak kunjung selesai yang kemudian ditanggapi dengan UU. No. 20 Tahun 2001 yang menggantikan UU sebelumnya dan UU No. 32 tahun 2002, kemudian membentuk juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Susilo Bambang Yudhoyono

Selain melanjutkan upaya pemerintahan sebelumnya dalam upaya pemberantasan korupsi, beliau juga membentuk Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Joko Widodo

Kebijakan pemberantasan korupsi dalam Nawacita prioritas kedua dan keempat, yang berisi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan pemulihan kepercayaan publik pada institusi demokratis negara melalui reformasi birokrasi, dan reformasi lembaga, serta upaya penegakan hukum.

Dampak korupsi berkepanjangan Kita telah mengetahui korupsi selalu membawa hal negatif yang selalu membuat kerugian negara kian hari makin bertambah, diantara dampak yang paling terlihat adalah aspek ekonomi.

Dari segi ekonomi korupsi menyebabkan:

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada sebuah negara melambat. Tingkat investasi yang menurun. Bertanggung jawab pada naiknya tingkat kemiskinan. Arus distribusi pada pendapatan mengalami ketimpangan dan jarak yang jauh. Dari beberapa pernyataan di atas mengindikasikan bahwa dampak yang dibawa dalam bidang ekonomi saja tidaklah kecil, sehingga kita perlu keseriusan dalam menangani perkara ini, karena jika ekonomi terdampak maka sektor yang lain pasti juga mengalami hal yang sama.

Pencegahan dan perlawan terhadap korupsi Dalam perkara penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia masih tergolong lemah, sementara kasus korupsi yang ada jumlahnya besar. Pemerintah seolah kehilangan kekuatan melawan koruptor, dengan bukti beberapa kasus yang tidak selesai dan hukuman yang dirasa belum memberi efek jera, dengan fakta banyaknya korupsi yang masih terjadi. Upaya mencegah korupsi:

Sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pencegahan penanganan dan penegakan hukum terhadap kasus korupsi memiliki andil yang penting.

Perlu dibentuk LSM yang efektif dalam menangani kasus korupsi sehingga kontribusinya mampu mendorong kasus semacam ini tidak terus tumbuh dan menjadi permasalahan berkepanjangan.
Pendidikan politik dan anti korupsi kepada masyarakat sangat diperlukan terutama peran serta partai politik dalam mewujudkan negara demokratis yang tidak korup.

Rekruitmen dan kaderisasi politik yang kredibel bukan hanya dicari dari kalangan yang memiliki dana saja, sehingga kedepan memiliki potensi korupsi untuk mengembalikan biaya politik yang dikeluarkan.

Peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tambah semakin jelas lagi berdasarkan ketentuan Undang- undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada pasal 41 ayat 2 disebutkan bahwa peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk:

(a) Hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi;
(b) Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara Tindak Pidana Korupsi;
(c) Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara Tindak Pidana Korupsi;
(d) Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
(e) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, dan c; dan diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana dikatakan diawal bahwa masyarakat dalam melakukan kewajibannya di sini merasa masa bodoh. Masyarakat hanya membebankan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini kepada penegak hukum, tetapi belakangan menyebutkan banyaknya laporan Tindak Pidana Korupsi oleh masyarakat. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyatakan pentingnya peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Tahun ke tahun, semakin banyak laporan dari masyarakat

Penulis adalah Mahasiswa Stisipol Raja Haji