Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Isu Presiden 3 Periode di Indonesia
Oleh : Opini
Selasa | 27-12-2022 | 12:16 WIB
Yoga-R.jpg Honda-Batam
Yoga Reynaldi Bimantarayudha

Oleh: Yoga Reynaldi Bimantarayudha

Wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi tiga periode menuai protes dan memicu kegaduhan publik. Masyarakat merespons isu ini dengan menolak keras wacana tersebut.

Gelombang demonstrasi mahasiswa pun digelar serentak di sejumlah wilayah Indonesia pada Senin, 14 April 2022. Mereka menuntut elite-elite politik tidak mengkhianati konstitusi negara dengan menolak penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan Presiden melalui amendemen. Wacana jabatan tiga periode presiden ini hanya membuat demokrasi Indonesia kian memburuk membunuh demokrasi sekaligus mengkhianati reformasi.

Berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 amandemen ke-1 berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".

Wacana ini digaungkan Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari bersama relawan lain yang tergabung dalam Jokowi-Prabowo (JokPro) 2024. Mereka ingin Joko Widodo lanjut tiga periode dan berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024 mendatang. Qodari mengatakan cara pasangan JokPro bisa berlaga di Pilpres 2024 dengan melakukan amandemen UUD tahun 1945 sesuai Pasal 37.

Sontak, gagasan/wacana ini direspons negatif atau ditentang kalangan parlemen dan pengamat. Kalangan parlemen di MPR dan DPR sendiri menilai ide menggulirkan wacana masa jabatan presiden 3 periode sebagai menyongsong 'kematian demokrasi' yang sudah dibangun sejak reformasi tahun 1999. Sejumlah pengamat menganggap gagasan presiden 3 periode sebagai tindakan inkonstitusional yang bertentangan dengan Pasal 7 UUD Tahun 1945 yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya dua periode.

Bahkan, Anggota Komisi I DPR RI, Fadli Zon menilai wacana jabatan Presiden tiga periode sangat berbahaya. Secara global tidak kurang dari sepertiga Presiden yang sudah habis batas periode jabatannya berupaya mengubah konstitusi negaranya untuk tetap mempertahankan kursi kekuasaannya kecenderungan ini bukan hanya terjadi di negara-negara nondemokrasi, tetapi terjadi juga di negara-negara demokrasi.

Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Jati, mengatakan, aksi menolak wacana tersebut wajar dilakukan oleh mahasiswa. Pasalnya, menurut dia, wacana perpanjangan masa jabatan atau penundaan Pemilu 2024 berpotensi menimbulkan kekacauan sosial yang berujung pada ketidakstabilan keamanan.

Wasisto menjelaskan, potensi kekacauan sosial itu dapat terjadi apabila pemerintah merealisasikan wacana tersebut. Pasalnya, pemerintahan hasil Pemilu tidak mengembalikan mandat kekuasaannya pada publik setelah masa jabatannya rampung. Sehingga berpotensi memunculkan gerakan people power.

Mengenai aksi demonstrasi tersebut, menurut dia, wajar apabila mahasiswa menolak wacana tiga periode. Kendati begitu, ia mengingatkan agar jangan sampai aksi demonstrasi ini ditunggangi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, juga berpendapat bahwa potensi kerusuhan besar tak bisa terelakkan apabila wacana Presiden tiga periode terealisasi. Menurutnya, hal ini dikarenakan rakyat sudah muak dengan cara kekuasaan yang tidak partisipatif.

Jika terjadi kekacauan sosial, buntutnya, bukan tidak mungkin militer mengintervensi pemerintahan. Hal ini, kata Ujang, juga harus dihindari, karena demokrasi bisa terancam apabila militer turun tangan ke dalam pemerintahan.

Jokowi sebetulnya sudah beberapa kali merespons wacana perpanjangan masa jabatan maupun penundaan Pemilu. Jokowi bahkan secara terang-terangan meminta para pembantunya di Kabinet Indonesia Maju (KIM) untuk setop bicara masalah perpanjangan masa jabatan. Jokowi menegaskan bahwa Pemilu 2024 tetap digelar 14 Februari 2024 sebagaimana kesepakatan DPR, pemerintah, dan penyelenggara Pemilu.

Meski Jokowi sudah menyampaikan sikapnya, hal itu belum cukup. Pasalnya, masyarakat menilai Jokowi masih belum tegas dalam menyikapi permasalahan tersebut.

Pada Pasal 7 UUD 1945 disebutkan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi hanya dua periode. Perubahan atas pasal itu dilakukan pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 14 sampai 21 Oktober 1999. Amendemen tersebut terjadi sebagai dampak dari gelombang reformasi pada 1998 dan sebagai upaya agar Indonesia tidak kembali terjerumus ke dalam praktik otoritarianisme.

Pembatasan masa jabatan presiden yang dicantumkan dalam UUD 1945 merupakan buah pembelajaran dari pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Selain itu, pembatasan masa jabatan presiden dilakukan dengan harapan dan tujuan supaya praktik demokrasi di Indonesia tetap sehat, dan sukses kepemimpinan terjadi secara rutin.

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet mengkritik wacana supaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat 3 periode yang terus digaungkan. Mobilisasi dukungan 3 periode bukan gejala demokrasi tetapi gejala ke arah otoritarianisme. Dia diinisiasi oleh elit dengan menginterupsi proses di mana demokrasi dan tradisi sirkulasi elit sedang berjalan baik.

Robet yang juga seorang aktivis hak asasi manusia mengatakan, gerakan yang mendukung supaya Jokowi menjabat 3 periode mirip dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Di masa Orde Baru, kelompok fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Golkar, serta sejumlah menteri yang pro pemerintah kerap mengklaim Soeharto masih didukung oleh rakyat untuk terus berkuasa.

Selain itu, para menteri di masa Orde Baru terus melontarkan wacana pemerintahan Soeharto berhasil dalam melakukan pembangunan, sehingga layak untuk dipertahankan untuk terus menjadi presiden. Saat itu di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak tercantum pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden seperti saat ini.

Robet menilai wacana supaya Jokowi menjabat 3 periode justru lebih buruk dari masa pemerintahan Orde Baru. Sebab menurut dia, ketika UUD 1945 sudah diamendemen dengan mencantumkan pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua periode, tetapi ada kelompok yang menggulirkan isu yang bertentangan dengan konstitusi. Seolah membuat praktik demokrasi di Indonesia mundur ke masa Orde Baru. Mobilisasi politik semacam ini mengulang praktik kebulatan tekad Orde Baru yang digunakan untuk memberikan justifikasi Suharto memperpanjang kekuasaan. Presiden Jokowi harus patuh terhadap konstitusi.

Penulis adalah Mahasiswa STISIPOL Raja Ali Haji Tanjungpinang, Jurusan Sosiologi.