Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Omnibus Kesehatan
Oleh : Opini
Jum\'at | 23-12-2022 | 08:36 WIB
A-ILUSTRASI-DOKTER_jpg2.jpg Honda-Batam
Ilustrasi Dokter. (Foto: Ist)

Oleh Dahlan Iskan

SAYA menghubungi sahabat Disway yang lagi sekolah menjadi dokter spesialis di Inggris. Tentu saya ingin tahu apa yang dilakukan di sana: University Base atau Hospital Base.

Kita sedang dalam proses menuju perubahan: dari berbasis universitas ke satunya tadi. Kapan?

Jalan menuju menuju ke sana sudah dibuka. RUU Omnibus Law bidang Kesehatan sudah ditetapkan: DPR sudah menyetujui jadwal pembahasannya. Tahun depan. Sebentar lagi.

Sudah terbit pula daftar RUU apa saja yang akan dibahas selama 2023: banyak sekali. Ada 33 RUU. Lihatlah nomor 18 di daftar itu: Omnibus Law bidang Kesehatan. Berarti rute menuju perubahan itu sudah dibuat.

Memang ada sedikit pertanyaan: mengapa masih ada nomor 21 dan nomor 32. Yakni RUU Kefarmasian (21) dan RUU Wabah (32). Mengapa dua RUU itu tidak sekalian dimasukkan ke Omnibus? Berarti Omnibus Law bidang Kesehatan ini masih ibarat bus yang kurang besar. Kalau begitu kenapa tidak pakai Omnitrailer Law. Takut tidak bisa belok di jalan berliku?

"Di sini pendidikan dokter spesialis tidak lagi dianggap sekolah," ujar sahabat Disway di bagian tengah Inggris itu. "Sudah dianggap mirip kursus peningkatan pengetahuan dan keterampilan," tambahnya.

Karena bukan lagi sekolah, maka tidak ada lagi urusan dengan universitas. Urusannya dengan rumah sakit. Hospital base.

"Apakah Anda harus bayar uang kuliah?"

"Tidak. Ini bukan kuliah. Tidak perlu bayar uang kuliah," jawabnya.

Selama mengambil program spesialisasi sahabat Disway tersebut justru digaji. Sama dengan gajinya sebagai dokter umum. "Cukuplah untuk hidup sehari-hari. Masih ada sisa kalau misalnya mama di Indonesia minta dibelikan sesuatu," ujarnya.

Hak libur dan istirahat pun diberikan sangat cukup. "Kami ada cuti dan libur. Liburnya lebih banyak agar bisa belajar sendiri," ujarnya.

Kalau pun untuk tambahan belajar itu harus kursus, biaya kursusnya bisa diganti. Termasuk kalau harus ada biaya pindah tempat tinggal.

Topik ini tentu menggiurkan di tengah isu mahalnya biaya menjadi dokter spesialis di Indonesia. Status ''mahasiswa spesialis'' membuat calon spesialis masih harus membayar uang kuliah. Padahal ia/dia sudah kehilangan pendapatan: tidak bisa lagi buka warung --istilah buka praktik di kalangan dokter umum.

Status mahasiswa itu pula yang membuat calon spesialis masih terikat di universitas. Padahal universitas bukan mesin uang. Universitas justru perlu uang. Pasti tidak bisa membayar. Justru harus mengenakan uang kuliah.

Beda dengan rumah sakit: mesin uang. Ia perlu dokter ahli. Ia bisa menggaji.

Persoalannya tinggal siapa yang mengeluarkan ijazah spesialis.

Bagi sahabat Disway tersebut itu bukan persoalan besar. Masalah terbesar baginya adalah: bagaimana bisa menjawab pertanyaan berat mamanya.

"Kapan ambil S3?"

Istilah S3 itu bukan berarti strata 3. Itu istilah rahasia keluarga. Hanya mama dan sahabat Disway tersebut yang tahu. Istilah S3 di situ harus diucapkan dalam bahasa Inggris: S-three.

Jadi, kapan mengambil S3?

"Hahaha... Itu pertanyaan sulit. Saya masih harus belajar ngurus pasien dan diri sendiri dulu," katanya.

Sahabat Disway itu pintar. Ganteng. Tinggi. Pandai menyanyi. Ia punya grup paduan suara di sana. Ia jadi vokalisnya. Hanya ia yang Indonesia di grup itu. Anda sudah tahu: tahun lalu grupnya itu jadi juara paduan suara di Inggris.

Tapi ia belum ambil S3. Ia masih menyelesaikan pendidikan spesialis kanker di sana.

Lantas siapa yang mengeluarkan ijazah spesialisnya?

Tidak ada ijazah.

Berarti tidak perlu perdebatan siapa yang harus mengeluarkannya.

Selesai.

Yang didapat orang seperti sahabat Disway itu nanti adalah sertifikat. Ia harus mengurus sertifikat itu. Tidak otomatis. Ia harus mendaftar ke satu board. Itu lembaga independen. Yang dibentuk khusus untuk itu. Juga untuk me-review semua dokter.

Begitu lulus sebagai dokter umum, ia harus aktif membuat laporan ke board itu. Seorang dokter akan terus di-review apakah ia/dia masih menjadi dokter yang baik.

Pun setelah jadi dokter spesialis.

Di sana, board itu disebut General Medical Council. Itu bukan bagian dari Kementerian Kesehatan. Mungkin seperti konsil di Indonesia.

Lembaga itu tidak hanya ada di pusat. Juga di region. Misalnya ada region Inggris tengah, tempatnya ambil spesialisasi saat ini. Sertifikat spesialis tersebut didapat setelah konsil di region meloloskannya.

Kalau kelak sahabat Disway itu sudah lulus, ia akan mendapat sertifikat tersebut. Namanya: CCT (Certificate of Completion of Training).*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia