Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Evakuasi Casa C212-100 dalam “Kemiskinan” Mekanika
Oleh : Penulis: Yon A Udiono, Litbang pada Lembaga Studi Sosial Normatif (Lesson); bergiat di Jogja.
Minggu | 20-02-2011 | 09:30 WIB
yonud-foto.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Yon A Udiono,

Rawa sedalam empat meter tempat Casa C212-100 nyungsep itu sayangnya tak tersusun atas salju.
Barang siapa berdiri di tengah upaya evakuasi bangkai pesawat pada Sabtu (12/2/2011) itu, bakal tahu bahwa mistik tak hanya monopoli dan bahan omongan orang awam. Mistik itu juga satu kebutuhan, juga subsistem solusi, yang dihajatkan oleh orang-orang yang menghuni institusi-institusi pendeteksi ber-“DNA” rasional.

Dalam kasus mengangkat bangkai pesawat Casa C212-100, ikhtiar yang magis telah ditarekati menyangkut proyeksi medannya yang nyata dan matematis. Yang matematika memang suka bikin penggarapnya gugup seketika. Benar kalau anak-anak kita suka bilang bahwa pelajaran matematikalah, dan bukannya pelajaran agama, yang paling menyebalkan.

Dari kacamata humanisme sesungguhnya ada yang cerah dari testimoni itu kalau kita ingat terkuaknya kenyataan bahwa nilai pelajaran agama para teroris kita hanya enam, matematikanya sembilan. Saya tak tahu apakah Kepala Tim Basarnas Tanjungpinang, R Bambang Subagyo, dan Kapolres Bintan, AKBP YS Widodo, fasihnya hanya soal agama. Bagi saya, buat apa mengaitkan fenomena di rawa-rawa itu dengan sesuatu yang hari ini sudah makin copot dari sensitifitasnya pada yang melandasi iman? Sesuatu yang Rudolf Otto menyebutnya mysterium, tremendum, et fascinans?

Orang cukup memahami kondisi “kemiskinan” cara pandang sains atau ilmu-ilmu empiris. Faktanya benar, tiap kali kita hadapi kesulitan, seperti upaya evakuasi Casa C212-100, kita masih sering menyusu pada peralatan fisika yang daif.

Kita tak sepenuhnya (bukannya tak mau) fasih dengan hukum-hukum fisika dan mekanika. Kita sekadar lebih bergerak di antara gugon-tuhon, bahwa selalu ada peran kekuatan penyabot dari sumber jagad gumulung atas tiap fenomena “kemacetan” berjalannya mekanisme-mekanisme dalam jagad gumelar. Kita balik kanan: kembali menghirup udara zaman pra-ilmiah. Saat tradisi metafisik belum sempat kena gugat. Kita beri pawang-pawang itu gelar “al-amin”.

Tentu bisa sambil ambigu. Karena sembari kita rekrut orang yang kerjanya komat-kamit-profesional, kita masih bisa fasih mengutip kitab suci.

Baguslah. Maknanya tak ada kita bersedia kualat menganggap isi quran layaknya koran. Kita baca memang, dalam lingkaran kekuasaan Raja Sulaiman, seperti kita simak dalam Surah Saba’, ada jin yang berkarya untuk manusia pentauhid itu. Makhluk berbahan api itu membuatkannya gedung-gedung jangkung, patung-patung, piring-piring sebesar luas kolam, periuk yang tetap berada di atas tungku.

Dan kini kita bisa dengan ringan mengikuti jejak Sulaiman. Memasuki Dia yang “seluruhnya beda”, tout autre (istilah Derrida, dalam Donner la mort). Dia yang menggerakkan Sulaiman untuk melakukan sesuatu di mana mekanika benda-benda harus menyesuaikan. Ethika harus angkat tangan.

Padahal apa yang sanggup Sulaiman kerjakan, semisal menundukkan angin hingga waktu tempuh perjalananannya di waktu pagi atau sore bisa ekuivalen dengan waktu tempuh perjalanan orang lain selama sebulan, tak akan bisa kita repetisi dalam tiap lintasan waktu.

Akan halnya saat tepergok kebertele-telean evakuasi Casa C212-100 itu. Pembacaan kita bertolak dari satu titik yang Unik yang kemudian diprovokasi untuk sanggup menyergap tiap momen yang universal. Dari Sabda yang berlaku dalam ruang mysterium tremendum, pada seseorang dalam situasi khusus, untuk memenuhi segala tuntutan umum yang berlaku di mana saja, kapan saja.

Implikasinya bisa tak cerah manakala yang Singular itu petirnya bisa benar-benar galak menyambar-nyambar melintasi ruang dan waktu. Sebab bagaimana kita bisa sah — bahkan dalam pandangan agama — melakukan tindakan copy-paste atas pengalaman Nabi Ibrahim di lembah Moriah tatkala bersedia menebas leher buyungnya bernama Ismail yang tak bersalah?

Bakal ada yang tak memadai dalam kapasitas manusiawi kita. Yang daif itu boleh jadi sesuatu yang mencurigakan. Yang menjadikan ruang mysterium tremendum sebagai justifikasi (penghalalan). Tersebab, hanya sedikit perbuatan syirik berani dilakukan orang dengan jentel, sendirian: dengan absen mengutip sumber-sumber penggetar.

Manifestasinya adalah tablet solutif ala kita tadi: berupa “orang pintar” yang dianggap bisa mengintai aspirasi atau mengerti isi “dunia lain” itu. Hingga Kepala Tim Basarnas Tanjungpinang dan Kapolres Bintan tak ragu merekrut.
Tapi ervaring kedua pejabat dari lembaga berkategori “rasional” itu bukan tipikal.

Lokasi jatuhnya pesawat milik PT SMAC bisa pada akhirnya refleksi dari apa-apa saja error dalam hidup keseharian kita yang jalan keluarnya tampak cuntel: sulit dilakukan, atau tak selamanya mau mengikuti irama keterbatasan mekanika kita. Orang-orang yang diberi tanggung jawab mengangkat bangkai Casa C212-100 itu jangan-jangan ya kita semua: dalam segenap sektor, skala dan konteks.

Mau bicara kasus atau konteks apa, coba! Politik? Kenapa tidak?
Evakuasi Casa tadi boleh jadi memang gambaran berjalannya mesin demokrasi di tempat kita. Di sana sesuatu yang nonmatematika bekerja secara bergerilya menyangkut segala ihwal yang sesungguhnya dapat diprediksi dan hitung. Sampai ada (coba tebak: sedikitkah?) caleg mendatangi paranormal.

Kita akui, dalam momen-momen demokrasi itu, persaingan merebut kursi politik kian ketat. Para calon dituntut harus memeras keringat. Upaya lahir dianggap tak memadai. Hingga harus memasuki dunia klenik. Menelantarkan sisi dan kalkulasi-kalkulasi rasional yang senantiasa menuntut kesabaran.

Tak mengapa. Toh politik itu, seperti kata klise, “the art of the possible”. Jadi untuk apa berkutat ke dalam batasan-batasan pengertian ethika, menghamba pada rumusan science.

Maka tiap teka-teki, atau tiap bentuk hambatan, atau pekerjaan yang proses selesainya patah-patah, dalam kasus, konteks dan skala apa saja, silakan semuanya pahami saja dalam kategori “pesawat nahas” itu. Tiap keterbatasan penglihatan empirik kita cuma adalah “saat ketika petang itu tiba”. Saat ketika, di rawa itu, dan bukannya di hamparan salju sana, evakuasi menjadi tampak mokal. Ad impossibilia nemo tenetur.

Tentu dengan satu catatan: tak tiap bentuk kegagalan, kengadatan, hambatan, tantangan, adalah “keanehan” yang bersumber dari dunia lain di ujung sana. Sebuah tempat di mana tuhan dan antagonnya (“hantu”) diperlakukan sebagai pendeterminan, pembatas. Juga kambing hitam atas tiap manifestasi ketakbecusan rasional.

Teka-teki tetap saja teka-teki. Jawabnya selalu tersodor dari arah belakang kebutuhan kita bersama untuk berani sabar menempuhi trial and error.

Kita ingat cerita detektif yang diperankan rohaniwan Kristen abad ke-14. Tentu cerita itu novel karya Umberto Eco. Ada sisi lain berupa metode pendeteksian kecuntelan dengan sekadar melokalisasi pergerakannya di antara dunia yang konkret. Dunia seperti dalam tatapan tiap penerus semangat Sir Francis Bacon.

Sisi itu bekerja setahap demi setahap. Dengan sabar. Hingga sang “detektif” (yang saya duga tak sampai khatam dibaca oleh priayi sejenis Bambang Subagyo maupun AKBP YS Widodo) akhirnya berhasil memecah misteri pembunuhan di sebuah tempat terpelosok. Dialah tokoh utama novel Il Nome della Rosa itu. William namanya. Bruder dari Baskerville ini menebak tanda-tanda berdasarkan petunjuk benda-benda fisika yang sesungguhnya cemen. Dia rekrut misalnya jejak kaki kuda pada butiran-butiran putih lembut itu.

Adapun di sini tak perlu karena rawa sedalam empat meter tempat Casa C212-100 nyungsep tak tersusun atas salju.