Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

APINDO Batam Nilai Permenaker 18 Tahun 2022 Tindakan Gegabah dan Ugal-ugalan
Oleh : Aldy
Senin | 21-11-2022 | 18:28 WIB
Rifki-Rasyid.jpg Honda-Batam
Ketua APINDO Batam, Rifki Rasyid. (Ist)

BATAMTODAY.COM, Batam - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Batam menilai terbitnya Permenaker nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Thun 2023 merupakan tindakan yang gegabah dan ugal-ugalan.

Ketua APINDO Batam, Rafki Rasyid, mengatakan Permenaker tersebut diterbitkan pada saat penetapan upah minimum sudah mendekati tahap akhir. Bahkan ada Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah memutuskan nilai upah minimum sesuai dengan PP 36 tahun 2021.

"Artinya Permenaker dadakan ini mengganggu proses perundingan upah di tingkat dewan pengupahan," ujar Rafki Rasyid, dalam keterangan persnya, Senin (21/11/2022).

Masih kata Rafki, pemerintah saat ini terkesan sedang menyampaikan pesan kepada para investor bahwa di Indonesia tidak ada kepastian hukum. PP 36 tahun 2021 yang masih berlaku, kemudian akan dibatalkan dengan aturan selevel peraturan menteri. Saat ini banyak perusahaan yang telah menyusun perhitungan biaya untuk tahun 2023 berdasarkan formulasi perhitungan upah pada PP 36 tahun 2021.

Menurutnya, dengan terbitnya Permenaker baru ini, banyak perusahaan bertanya-tanya aturan mana yang akan dipakai. Sebab PP 36 tahun 2021 telah mengatur dengan rinci dan jelas formulasi penetapan upah minimum.

"Tiba-tiba pemerintah menerbitkan lagi aturan baru yang sama sekali berbeda dari formulasi dalam PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Kedua-duanya sama-sama berlaku. Tetapi kalau dilihat hierarki perundang-undangannya, maka jelas Peraturan Pemerintah berada di atas Peraturan Menteri. Maka dalam hal ini, Permenaker nomor 18 tahun 2022 tersebut secara hukum tidak bisa dipakai dan secara yuridis tidak berlaku," terangnya.

Rafki menjelaskan, dalam penerbitan Permenaker nomor 18 tahun 2022 tersebut, pengusaha juga tidak diajak berunding. Tiba-tiba pengusaha dipanggil dan disampaikan bahwa pemerintah telah menerbitkan Permenaker tersebut.

Hal ini juga menyalahi ketentuan dalam penyusunan peraturan. Tidak adanya masukan dari pihak pengusaha yang akan menanggung beban dari pembayaran upah, jelas merupakan ketidakadilan.

Pemerintah hanya menerbitkan aturan, pengusahalah yang akan menanggung beban dari terbitnya aturan tersebut, tiba-tiba disodori Permenaker yang sudah jadi. Bentuk ketidakadilan ini jelas akan menimbulkan perlawanan hukum dari pengusaha.

"Dalam rapat yang dilangsungkan oleh Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APINDO dan juga dihadiri oleh wakil dari Kadin Indonesia, pengusaha menyatakan akan melakukan gugatan yudisial review ke Mahkamah Agung. Meminta agar MA menyatakan bahwa Permenaker nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 itu tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum. Pengusaha merasa yakin akan menang karena Permenaker itu jelas-jelas bertentangan dengan PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan. Terbitnya Permenaker tersebut juga melanggar perintah dari Mahkamah," ungkap Rafki Rasyid.

Dipaparkannya, konstitusi agar aturan turunan dari UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sifatnya strategis, tidak diterbitkan sampai UU tersebut direvisi. Tetapi pemerintah nekad tetap menerbitkan aturan turunan yang menjadikan undang-undang tersebut sebagai payung hukumnya. Maka pengusaha yakin MA akan mengabulkan yudisial review yang diajukannya.

Selama proses yudisial review tersebut berjalan, pengusaha juga berkomitmen akan membayar upah berdasarkan PP 36 tahun 2021. Artinya walaupun Gubernur nantinya menetapkan Upah Minimum berdasrkan Permenaker nomor 18 tahun 2022 tersebut, pengusaha tidak akan mematuhinya.

"Pengusaha meyakini bahwa PP 36 tahun 2021 yang sah secara hukum dan akan mematuhinya. Artinya lagi, pemerintah telah membuat suasana yang tadinya adem menjadi panas, terutama di daerah," sebutnya.

Dengan begitu, lanjut Rifki, sebaiknya pemerintah memerintahkan kepada Gubernur seluruh Indonesia untuk tidak saklek menjalankan Permenaker nomor 18 tahun 2022. Gubernur diberikan pilihan untuk tetap menggunakan PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai dasar perhitungan upah minimum.

Karena PP ini masih berlaku dan tidak pernah dicabut. Satu hal yang akan terjadi adalah Pemerintah Daerah akan dibuat pusing dari berlakunya dua aturan berbeda yang berlaku sekaligus.

Pemerintah Daerah seharusnya tetap berpegang pada aturan mana yang lebih tinggi agar tidak pusing. Jika tetap memaksa menggunakan Permenaker nomor 18 tahun 2022 yang cacat hukum tersebut, maka pengusaha di daerah akan menggugat para Gubernur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"Hasilnya sudah hampir bisa dipastikan kalau Gubernur akan kalah. Karena Permenaker nomor 18 Tahun 2022 bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan terbitnya Permenaker tersebut melawan perintah dari MK soal larangan menerbitkan aturan turunan terkait UU Cipta Kerja. Semua berpulang pada keputusan pemerintah daerah masing-masing," terangnya.

Rifki menambahkan, terbitnya Permenaker ini juga telah sukses memberikan keraguan kepada para calon investor untuk berinvetasi di Indonesia. Sebab, pemerintah memberikan kesan adanya ketidakpastian hukum di Indonesia.

"Bukankah ini bertentangan dari keinginan pemerintah untuk mendatangkan investor sebanyak- banyaknya ke Indonesia? Pemerintah sendiri yang bisa menjawab ini. Tindakan ugal-ugalan menerbitkan Peraturan Menteri baru di penghujung tahun ini, telah sukses membuat resah pengusaha dan investor yang ada," tandas Rafki Rasyid.

Editor: Gokli