Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

BKSAP Minta Pemerintah Myanmar Segera Hentikan Kekerasan terhadap Etnis Rohingya
Oleh : surya
Kamis | 09-08-2012 | 08:50 WIB
Surahman-Hidayat.jpg Honda-Batam

Ketua BKSAP DPR RI Surahman Hidayat

JAKARTA, batamtoday - Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Surahman Hidayat meminta kekerasan terhadap etnis Rohingya segera dihentikan. Karena itu, BKSAP menyampaikan apresiasi Pemerintah Myanmar dalam mendorong demokrasi dan perlindungan HAM di Myanmar.



"BKSAP juga telah menulis surat  6 Agustus 2012 yang ditujukan kepada Aung San Suu Kyi Ketua Liga Nasional Demokrasi Republik Serikat Myanmar. BKSAP minta  kekerasan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar dihentikan, dan menjadi keprihatinan tersendiri bagi Indonesia," kata Surahman di Jakarta kemarin..

Menurut Surahman, akibat kekerasan yang dilakukan Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya seperti dimuat dalam laporan PBB bulan Juli lalu, sekitar 650 orang etnis Rohingya terbunuh, 1.200 orang hilang dan lebih dari 80.000 orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka.

"Dilaporkan juga bahwa militer dan polisi Myanmar mengambil peran utama dalam kekerasan tersebut," katanya.

Mewakili DPR RI, Ketua BKSAP menyatakan seruannya agar Parlemen dan Pemerintah Myanmar menghentikan kekerasan tersebut dan segera memberi bantuan kemanusiaan terhadap para korban.

Surahman juga menyatakan harapannya agar kekerasan di Myanmar dapat segera teratasi melalui pengaruh besar Aung San Suu Kyi dalam mengakhiri kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia etnis Rohingya di Myanmar.

Sementara itu, Ketua Parlemen Myanmar Khin Auang Myint telah mengirim surat kepada Ketua DPR RI Marzuki Alie tertanggal 1 Agustus lalu, yang antara lain menjelaskan insiden yang terjadi antara etnis Rakhine dengan Etnis Muslim.

Dijelaskan, kejadian itu dipicu dari pemerkosaan  dan pembunuhan seorang gadis dari etnis Rakhine oleh tiga orang laki-laki dari etnis Rohingya pada  28 Mei 2012 lalu, di desa Kyauk Ni Maw, Rakhine State. Seorang gadis etnis Rakhine bernama Ma Thida Htwe diperkosa dan dibunuh, barang-barangnya juga dirampas oleh para pemerkosa.

Akibat kejadian itu, etnis Rakhine meluapkan kemarahannya kepada etnis Rohingya sehingga menyebabkan bentrokan antar etnis di Toungkok pada 3 Juni 2012, yang menelan korban jiwa 10 dari etnis Rohingya. 

Selanjutnya, etnis Rohingnya menuntut polisi Myanmar menindak tegas etnis Rakhine yang membunuh 10 warga etnis Rohingnya. Karena tidak ada tanggapan, etnis Rohingnya pada 8 Juni 2012 di Kota Maungdaw melakukan unjuk rasa dengan mengerahkan 500 warganya. Aksi unjuk rasa kemudian berubah anarkis, etnis Rohingnya  melempar polisi dengan batu karena merasa kesal. Bukan hanya itu rumah peristirahatan “Thazin”  milik etnis Rohingya dan sebuah bengkel sepeda motor dibakar massa. Pembekaran kemudian berlanjut dengan membakar rumah-rumah etnis Rakhine di desa Bombu, Kota Rathetaung.

Ketua Parlemen Myanmar dalam suratnya juga menyatakan, bahwa situasi tersebut timbul bukan atas keinginan rakyat Myanmar dan bukan pula disebabkan oleh diskriminasi agama.

Dalam surat tersebut dikatakan bahwa Pemerintah Myanmar telah melaksanakan segala cara untuk menjaga perdamaian dan ketenangan di area tersebut. Permasalahan terakit Rohingya tidak pernah ada di Myanmar dan bahkan ras Rohingya tidak pernah ada diantara ras-ras di Myanmar.

Ketua Parlemen Myanmar menekankan bahwa konstitusi Myanmar memberikan status yang sama terhadap kepercayaan Budha, Kristen, Islam, Hindu dan Animisme. Penganut Muslim dan Budha di Myanmar telah hidup berdampingan secara damai selama ratusan tahun di Myanmar.