Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Minyak Merah
Oleh : Opini
Sabtu | 01-10-2022 | 08:20 WIB
A-kemenkeu-satu_jpg2.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Even Kemenkeu satu digelar di Surabaya, Kamis lalu (29/9/2022). (Foto: Ist)

Oleh Dahla Iskan

KINI ada #KemenkeuSatu. Slogan. Baru. Lagi digalakkan di internal Kementerian Keuangan. Tujuannya satu: agar terwujud bahwa kementerian keuangan itu hanya satu. Tidak boleh ada banyak Kementerian Keuangan. Misalnya ada Kemenkeu pajak, Kemenkeu bea cukai, Kemenkeu kekayaan negara, dan seterusnya.

#KemenkeuSatu itu kelihatannya dipakai untuk mengakhiri eksistensi berbagai 'kerajaan lama' di dalam kementerian keuangan. Maka kalau nanti Anda mendengar ada yang meneriakkan slogan #KemenkeuSatu! Anda harus menjawab: #Kolaborasi!

Seperti itulah yang saya lihat di Surabaya Kamis lalu. Ada satu acara besar di Kanwil bea cukai Jatim. Saya hadir. Saya ikut berteriak #Kolaborasi! Meski lokasinya di bea cukai tapi acara itu ditangani perwakilan Kementerian Keuangan Jatim.

Rupanya kini ada lembaga yang disebut perwakilan Kementerian Keuangan di setiap provinsi. Di Jatim, kepalanya: Prof Dr PM John Hutagaol. Ia arek Suroboyo: alumni SMA St Louis.

Rupanya kepala perwakilan Kementerian Keuangan itu hanya menjadi semacam koordinator semua Kanwil yang berada di bawah Kemenkeu. Dengan demikian, di samping tetap sebagai kepala Kanwil Pajak Jatim 1, Prof John juga koordinator 9 Kanwil lainnya: termasuk kanwil bea cukai dan kanwil perbendaharaan negara.

Di provinsi lain pun demikian.

Perwakilan itu sifatnya hanya koordinasi. Bukan hierarki. Hanya agar mereka tidak berjalan sendiri-sendiri. Terutama dalam kegiatan kemasyarakatan.

Unjuk #Kolaborasi itulah yang didemonstrasikan di Surabaya Rabu lalu. Selama tiga hari (28-30 September 2022). Dalam acara besar Festival UMKM. Sembilan Kanwil menangani satu acara. Besar sekali. Ada konsultasi pajak UMKM. Ada supervisi dari bea cukai untuk ekspor UMKM. Tentu ada juga pameran produk UMKM.

Lalu ada demo masak. Bukan masaknya yang penting, tapi minyaknya: pakai minyak merah.

Saya juga baru tahu hari itu: minyak merah. Saya belum pernah tahu: ada minyak merah.

Itu memang penemuan baru. Saya pun menyimak jeli penjelasan tentang minyak merah itu. Yang menjelaskan penemunya sendiri: Dr Ir Donald Siahaan. Ia peneliti di Balai Penelitian Kelapa Sawit di Medan.

Di bawah Dr Ir Frisda R. Panjaitan. Donald lulusan IPB: teknologi pangan. Gelar doktornya di University of Philippines di Los Banos.

Donald pun menyandingkan data hasil penelitiannya: minyak merah vs olive oil. Mana yang lebih hebat.

Awalnya seperti tidak masuk akal: minyak merah lebih hebat dari olive oil. Bagaimana bisa olive oil kok kalah. Padahal olive oil --minyak zaitun-- begitu diagungkan di Eropa. Dan di seluruh dunia. Termasuk di dapur rumah saya.

Bagaimana bisa olive oil yang begitu mahal dikalahkan oleh minyak merah temuan Donald Siahaan dari Medan. Anda sudah tahu: harga olive oil kualitas sedang saja bisa Rp 150.000/liter. Yang paling bagus bisa Rp 500.000/liter.

Lalu bandingkan berapa harga minyak merah. "Kira-kira akan Rp 15.000/liter," ujar Donald. Ia mengatakan ''kira-kira'' karena minyak merah memang belum ada di pasar. "Baru akhir tahun ini mulai diproduksi," ujarnya.

Penelitian itu dilakukan selama dua tahun. Yang membiayai: Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Yang kini dipimpin Eddy Abdurrachman yang asalnya juga dari kementerian keuangan. Keseluruhan acara Festival UMKM di Jatim itu pun didukung lembaga itu.

Donald sebenarnya sudah lama tahu: minyak sawit itu kaya akan vitamin E, pro-vitamin A dan squalene. Namun semua khasiat itu nyaris hilang total dalam proses perubahan dari CPO menjadi minyak goreng. Yakni akibat pemanasan dalam proses itu.

Maka Donald pun meneliti: bagaimana agar vitamin E dan provitamin A di sawit itu tidak hilang. Demikian juga squalene-nya yang amat tinggi.

Ditemukanlah proses membuat minyak goreng kelapa sawit tanpa melalui temperatur tinggi. Itulah minyak merah. Nama yang simpel.

"Di Nigeria ternyata juga dilakukan hal yang sama. Di sana, sejak lama, rakyat menanam kelapa sawit. Lalu membuatnya menjadi minyak goreng," ujar Donald.

Ia pernah ke sana. Untuk memperdalam penelitiannya. "Proses membuatnya sangat tradisional. Semua orang bisa," ujar Donald.

Minyak merah Donald ini memang berwarna merah. Cerah. Sekilas seperti warna air buah delima yang dimasukkan botol.

Memang masih ada kelemahannya: aromanya tidak harum seperti minyak sawit yang kita kenal. Itu perlu proses sosialisasi untuk membiasakannya. Tidak mudah. Ini pekerjaan berat. Namun olive oil pun begitu.

Aromanya juga tidak seperti minyak goreng yang kita kenal. Tapi rasa olive oil dianggap rasa yang tinggi karena berhasil masuk ke kalangan atas. Keberhasilan itu dipicu oleh khasiat olive oil yang bisa membuat sehat --sedang minyak goreng biasa dianggap sumber kolesterol.

Apakah minyak merah akan bisa menembus pasar yang didominasi aroma harum minyak goreng?

Dari harganya yang 'hanya' Rp 15.000 /liter harusnya bisa. Hanya selisih sekitar Rp 3.000 dari minyak goreng sawit. Tapi soal aroma gorengan tadi soal yang sangat besar. Sehat bisa kalah dengan enak. Khasiat bisa kalah dengan selera.

Kita biasa pilih sakit tapi enak daripada sehat tapi kurang enak.
Mengapa baru dua tahun lalu Donald memulai penelitiannya?

Itulah sisi baik pandemi Covid-19. Selama Covid penjualan vitamin E dan A meningkat drastis. Padahal harganya mahal. Kenapa tidak memanfaatkan kandungan vitamin dalam sawit yang sudah lama ia ketahui. Jadilah minyak merah itu.

Maka kalau saja minyak merah bisa memasyarakat --bisa seluas minyak goreng-- alangkah sehatnya masyarakat kita. Imunitas masyarakat bisa naik dengan sendirinya. Tentu kalau cara menggorengnya juga benar: jangan dipanaskan melebihi 160 derajat Celsius. Sehebat olive oil pun tidak berguna kalau diperlakukan seperti itu.

Siapa yang akan memproduksi minyak merah itu?

"Karena prosesnya sederhana, koperasi bisa melakukannya. Atau UMKM. Jangan sampai diproduksi pengusaha besar. Investasinya hanya sekitar Rp 1,5 miliar per unit produksi," ujar Donald.

Itu untuk unit dengan kapasitas 1 ton/hari. "Kalau pun daya serap pasarnya bagus lebih baik melibatkan banyak koperasi atau UMKM untuk memproduksinya. Jangan hanya satu-dua pabrik besar," katanya.

Bahan baku minyak merah ini sama dengan minyak goreng: CPO. Tapi kalau koperasi atau UMKM yang memproduksi bisa jadi akan kesulitan memasarkannya. Memasarkan minyak merah tidak mudah.

Perlu perjuangan khusus. Sebagai produk baru dengan aroma baru bisa saja minyak merah dianggap aneh. Lalu terjadi penolakan di masyarakat.

Sasaran pasar minyak merah haruslah orang yang sadar kesehatan dulu. Itu berarti kelas menengah ke atas. Tahap berikutnya barulah turun ke kelas di bawahnya.

Bisa saja koperasi atau UMKM yang memproduksi tapi penjualannya harus ditangani perusahaan marketing yang hebat. BPDPKS bisa turun tangan menemukan off taker dan ditributornya.

Sayang sekali kalau BPDPKS yang sudah berhasil mendanai penelitian itu hanya berhenti di situ. Lihatlah kandungan vitamin E/ppm-nya. Bandingkan dengan minyak apa pun. Minyak merahlah yang tertinggi.

Mengalahkan minyak jagung, minyak bunga matahari, apalagi olive oil. Demikian juga kandungan provitamin A-nya (lihat grafik). Begitu hebatnya. Tapi belum ada #MinyakmerahSatu. Belum ada juga #Kolaborasi. *

Penulis adalah wartawan senior