Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membangkitkan Kembali Etos Kekesatriaan Kerajaan Bintan
Oleh : Opini
Sabtu | 03-09-2022 | 08:52 WIB
A-PEMBICARA-DISKUSI-HOOD.jpg Honda-Batam
Para pembicara dalam diskusi budaya di ruang pertemuan di Gedung Mohd Yusuf Abl Ahmadi, kantor Dinas Arsip dan Perputakaan Daerah, Kepri. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

TANGGAL 30 Agustus lalu, saya diminta Datuk Huzrin Hood, Pemangku Adat Kerajaan Bintan, menjadi salah satu pembicara dalam diskusi budaya di ruang pertemuan di Gedung Mohd Yusuf Abl Ahmadi, kantor Dinas Arsip dan Perputakaan Daerah, Kepri.

Temanya menarik : "Membangkitkan Kembali Etos Kekesatriaan Kesultanan Bintan". Studi buku 'The Interim is Main' karya Dr Ian Dallas, alias Syceh Abdul Qadir as Sufi. Seorang mursyid, pemikir Islam. Warga Scotlandia yang menetap di Afrika Selatan.

Saya coba membaca secara cepat buku FDF yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang dikirim Datuk Huzrin Hood. Dan membuat sejumlah catatan untuk diskusi itu.

Ada dua pembicara lain. Yaitu Irawan Santoso, SH, seorang cendekiawan muslim dari Jakarta, editor buku terjemahan 'The Interim Is Mine', dan Ustaz Umar Azmon Amir Hasan, seorang ulama dari Malaysia. Keduanya tampaknya, teman baik Dr. Ian Dallas, yang meninggal tahun lalu.

Inilah catatan saya, yang sudah saya tokok tambah untuk tulisan ini. Semoga ada gunanya :

Kekesatriaan atau kewiraan dalam dunia Melayu adalah sikap hidup yang menjunjung tinggi azas kesetiaan, kehormatan, tolenransi, pengorbanan dan tanggung jawab. Sikap hidup ini menunjukkan: apa yang dikata, itulah yang dikota (sesuai kata dengan perbuatan). Sikap Bertanggung jawab (pantang menjilat air ludah kembali).

Sikap hidup demikian diamalkan dalam kehidupan sehari hari terutama di kalangan elit politik, para pembesar negeri. Semacam doktrin dan sumpah setia yang tak boleh dilanggar. Jika dilanggar mereka percaya akan ada tulah dan bala yang menimpa. Semacam kesadaran kultural hasil dari interaksi sosial.

Kesadaran kultural demikian juga ada dimana mana. Di belahan dunia manapun, seperti yang ditulis Dr Ian Dallas alias Syech Abdul Qadir as Sufi dalam bukunya 'The Interim as Mine' (2020). Sejak lama ada kesadaran bahwa : kepemimpinan itu tidak berharga tanpa kehormatan dan kebajikan, begitu menurut Ian Dallas .

Dalam dunia Melayu, sikap Kekesatriaan ini jejaknya bisa dilacak di dalam buku buku epos klasik dunia Melayu, karya karya agung, seperti Salalatus Salatin (Tun Sri Lanang) Hikayat Hang Tuah (anonim), Tuhfat Al Nafis (Raja Ali Haji) dan karya karya lain. Bahkan dalam jarya sastera Gurindam XII kaya pujangga besar Melayu Raja Ali Haji, etos kekesatrian itu dikedepankan dan dapat dipelajari dan jadi bahan tunjuk ajar.

Hang Tuah lima bersaudara, misalnya bukan hanya Pendekar tetapi juga para kesatria. Upu Bugis lima bersaudara (Daeng Perani bersaudara) bukan hanya pendekar dan ahli perang, tetapi juga para ksatria yang menjunjung tinggi martabat dan mengutamakan kebajikan dalam kehidupan mereka.

Demikian halnya dengan tokoh pahlawan nasional Raja Haji Fisabillah. Meskipun dia sudah menang perang di Riau, tapi karena memegang teguh janjinya untuk menyingkirkan Belanda dari bumi tanah Melayu, dia rela syahid fidabilillah di Teluk Ketapang, Melaka.

Dalan hal Kerajaan Bintan dan etos kekesartriaannya tentu lebih kentara jejak sejarahnya, karena kerajaan yang sudah eksis sejak awal abad XII ini, adalah bunda tanah Melayu. Dari Bintanlah semua konsep dan etika hidup dunia melayu itu tumbuh dan berkembang.

Dari Bintan kemudian dibawa ke Temasik (Singapura), lalu ke Melaka, kemudian ke Johor, Siak, Kampar, Inderagiri, sebelum kembali ke Kepulauan Riau dan kawasan lainnya, kawasan yang dulu disebut Kemaharajaan Melayu yang jatuh bangun sekitar 8 abad (1160-1946)

Seperti Magna Charta (2015), kontrak politik antara Raja John dengan 25 baron nya, yang menurut Ian Dallas dalam bukunya itu adalah asal dari mana mula tumbuhnya ordo kesatriaan di Inggeris, maka di Dunia Melayu, pun ada kontrak politik dan darimana ordo kekesatriaan itu dimulai.

Sekitar awal abad 13, di Bukit Siguntang Mahameru, sebuah kerajaan Melayu di hulu sungai Musi, diucapkan sumpah setia antara Patih Demang Lebar Daun yang mewakili elit politik, para pembesar dan rakyat negeri Melayu dengan Sang Sapurba, sebagai Raja Melayu. Sumpah Setia untuk saling menghormati, saling menjaga, dan saling setia selama hidup .

Sumpah yang mengukuhkan : Suara Raja, Suara Tuhan (Vox Rei, Vox Die), meskipun tetap ada kesepakatan yang menegaskan, bahwa jika Rajanya berhianat dan mencelakakan rakyatnya, maka ia akan dikutuk dan tahtanya akan runtuh. Sebaliknya jika rakyat dan elit politiknya mendurhaka, maka rumahnya akan terbalik, tiang ke atas dan atap ke bawah. Telungkup.

Sumpah setia yang dikenal sebagai prasasti Bukit Siguntang seperti ditulis dalam buku "Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu" (Rida K Liamsi, 2015 ) itulah yang dipanggul Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba dan elit politiknya ketika menghilir Sungai Musi, menuju Bintan. Dan dari Bintan, magna charta Bukit Siguntang itu di bawa keturunan mereka menyebar ke seluruh jazirah tanah melayu.

Membawa serta etos kekesastrian sebagai doktrin kehidupan sosial politik mereka. Turun temurun, beratus tahun, dengan segala dinamikanya. Sumpah setia yang tidak tertulis, hanya diikrarkan, yang hanya berdasarkan kata kata. Tapi kukuh dipegang dan dipercaya.

Sebagai konsep politik dan etika sosial, tentu saja Sumpah Setia Bukit Siguntang itu pernah digugat dan dicabar, di mana Raja dianggap terlalu zalim, melanggar azaz kepatutan : menghukum tanpa usul periksa. Seperti pendurhakaan Hang Jebat kepada Sultan Melaka, Mansyur Syah, karena dia membela sahabatnya Hang Tuah.

Tapi Hang Tuah seorang kesatria, yang memegang teguh sumpah setia Bukit Siguntang itu : Pantang Melayu Mendurhaka. Maka Hang Tuah dan rekan rekannya tetap tunduk pada Raja, dan Hang Jebat terpaksa disingkirkan.

Kemudian tahun 1699, Megat Seri Rama, Laksamana Johor juga mendurhaka dan membunuh Rajanya, Sultan Mahmud Syah II (1685-1699), karena dianggap terlalu zalim dan menghukum rakyat sekehendak hatinya.

Di kalangan elit Politik di Johor ketika itu dipelopori Bendaharanta, Tun Abdul Jalil, muncul doktrin kekesatriaan yang baru (walaupun digerakkan oleh kepentingan politik) : Raja Adil Raja Disembah, Raja Zalim Raja disanggah. Namun karena kuat berakarnya etos Sumpah Setia Bukit Siguntang itu , doktrin "Fox Rei , Fox Die" (Suara Raja adalah Suara Tuhan) tetap hidup dan bertahan dalam pola kehidupan dunia Melayu.

Tahun 1722, dengan kehadiran orang orang Bugis yang bersekutu dengan bangsawan Melayu dalam merebut kembali tahta kerajaan Johor dari tangan Raja Kecik, maka setelah mereka menang dan Raja Kecik tersingkir, maka ada Magna Charta yang baru yang disebut Sumpah Setia Melayu Bugis.

Sumpah setia untuk berbagi kekuasaan dan saling menghormati dan menjaga otoritas kekuasaan kedua dinasti itu. Sementara etos sumpah setia Bukit Siguntang, tetap hidup dan diamalkan di belahan lain dunia Melayu.

Sumpah setia atau kontrak politik melayu bugis itu melanggengkan kekuasaan mereka hampir 200 tahun, dan mengekalkan tradisi dan etos kekesatriaan itu. Kedua dinasti itu mengibaratkan mereka sebagai mata kanan dan mata kiri. Sebagai suami isteri. Sebagai lelaki dan perempuan. Siapa yang mencari makan , dan siapa yang diberi makan.

Tetapi bagaimanapun, seperti juga terjadi di Inggeris dan negeri Eropa, seperti dicatatkan dalam buku Ian Dallas itu, selalu ada kekuatan lain yang ingin merusak dan memansyuhkan etos kekesatriaan itu. Kapitalisme dan kolonialisme. Ordo para Bankir dan pedagang, meminjam pendapat Syech Abdul Qadir as Sufi. Ordo moneterisme.

Belanda dan Inggeris berhasil mengadu domba ordo kesatria Bugis dan Penguasa Melayu. Mereka mencari keuntungan politik dan ekonomi. Penjajah Belanda dengan cerdik melalui berbagai perjanjian politik berhasil meruntuhkan semangat kekesatriaan itu, mendorong kedua elit itu untuk melanggar dan menghianati Sumpah Setia itu.

Seperti ordo kesatria Inggeris, yang menurut Ian Dallas, lenyap ditelan ordo banker, maka ordo kesatria Melayu Bugis juga bercerai berai, karena mereka gagal mempertahankan keberadaan Rajanya, yang dimakzulkan secara sepihak oleh Belanda, dan benteng terakhir ordo ini yaitu Rusdiyah Klub juga dipaksa untuk bubar. Ordo monarkhi mereka runtuh.

Dalam konteks perbincangan ini, untuk membangkitkan kembali etos kekesatriaan di kerajaan Bintan dan dunia Melayu di kawasan ini, pertanyaannya adalah : masih adakah peluang, the interim atau Kesementaraan atau momentum peralihan untuk membangkitkan kembali etos Kekesatriaan itu ? Masih adakah kelompok persaudaraan suci (ordo kekesatriaan) yang dapat dijadikan kekuatan untuk bangkit?

Sebetulnya, secara teoritis, sebagaimana dapat disimpulkan dari buku 'The Interim is Mine' itu, keberadaan berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), NGO NGO yang tumbuh di tengah masyarakat yang beradazkan kemelayuan, Pancasila, dan azaz suci lainnya, seperti Lembaga Adat Melayu (LAM), Perhimpunan para zuriat dan kerabat kerajaan Melayu dari era kerajaan Riau Lingga dan lainnya, termasuk lembaga adat Kesultanan Bintan (yang hakekatnya hari ini adalah sebuah lembaga pemangku dan penjunjung adat yang kekuasaan politiknya dibatasi oleh keberadaan negara kesatuan RI itu) adalah ordo kekesatriaan yang kini masih tersembunyi dan menungu adanya kekuatan lain yang menggerakkan dan menyatukannya ke dalam sebuah persaudaraan suci baru . Sumpah setia baru. Magna Charta yang baru:

Lihatlah semua Anggaran Dasar dan AnggarannRumah Tangga LSM itu. Semuanya bertujuan : mengemban tugas suci. Menegakkan kebenaran, Menjaga harkat dan martabat kemanusiaan, menjadi kekuatan pelindung dan pemberi Kebajikan bagi rakyat banyak.

Tapi, sekarang ini apakah masih dapat ordo dan persaudara suci itu bangkit dan berjuang membangun masa depan umat manusia, khususnya dunia Melayu? Apakah sudah ada sebuah Nomos baru seperti yang dimaksudkan Dr Ian Dallas itu? Apakah, peran strategis itu dapat dimainkan oleh Lembaga Pemangku Adat Kesultanan Bintan?

Seperti ditulis Dr Ian Dallas alias Syech Abdul Qadir as Sufi, dalam bukunya 'The Interim is Mine', buku kedua dari senarai 4 buku dari bukunya 'The Political Writing', kita sekarang hidup dalam era Ordo Bankir. Sebuah Oligarkhi.

Ordo Moneterisme yang nyaris tidak bertuhan. "Ketika penduduk dunia terjerat hutang pada Oligarkhi Bankir itulah, akhirnya masyarakat mulai menyadari bahwa sistim keuangan dunia bukanlah untuk umat manusia, melainkan untuk sebuah Oligarkhi Bankir yang makin mengurangi kediktatoran Oligarkhi sebenarnya. Sebuah masyarakat baru yang materialistis, tak bertuhan, dan telah mengubah populasi manusia pada umumnya menjadi budak, walaupun pada saat ini mereka disebut debitur," begitu tulis Ian Dallas.

Sebagai seorang muslim sejati, seorang mursyid, Ian Dallas yakin rezim moneterisme yang didukung para mapioso itu dapat dikalahkan. Dan kekuatan yang menjadi tandingannya itu adalah Kekuatan Islam. Kekuatan yang bertauhid pada Tuhan yang Esa. Kekuatan yang menjadi tandingan filsafat Nihilisme yang dianut ordo Bankir itu.

Kekuatan Islam, secara historis telah terbukti berhasil mengubah Dunia dan perjalanan hidup umat manusia. Seperti yang ditunjukkan SalahuddinnAl Ayubi kepada dunia Barat di Eropa. Mungkin dari sisi inilah etos kekesatriaan kerajaan Bintan dapat dibangkitkan dan berperan, mencari tempat dan momentum untuk mempercepat proses peralihan (interim) dari ordo Oligarkhi menuju ordo Monarkhi kembali. Dari rezim perbudakan moderen menjadi rezim bangsa yang merdeka.

Di sinilah mungkin etos kekesatriaan Bintan sebagai jantung negeri Melayu dapat berperan sebagai tugas sucinya dalam menjalankan amanah sejarahnya . Implementasi dari hakekat The Interim is mine itu. Wallahu alam.*

Rida K Liamsi, seorang budayawan, anggota Kehormatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), dan pokok pikiran ini disampai pada perbincangan : Membangkitkan Kembali Etos Kekesatriaan Kesultanan Bintan, di Tanjungpinang, 30 Agustus 2022.