Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kebijakan Perubahan Pensiunan, Tepatkah?
Oleh : Opini
Jumat | 02-09-2022 | 12:48 WIB
A-PNS.jpg Honda-Batam
Ilustrasi ASN. (Foto: Ist)

Oleh Suarlan

PADA musim panas 2022, AC Milan berhasil meraih gelar juara liga Italia yang ke 19 kali. Keberhasilan ini merupakan sebuah proses yang tidak sebentar. Kegagalan pengelolaan keuangan membuat klub ini harus puasa gelar juara hingga 11 tahun.

 

Salah satu Langkah yang dilakukan manajemen klub sejak 2019 adalah dengan memangkas beban gaji pemain. Rekrutmen dilakukan secara lebih efektif, fokus pada pemain-pemain muda potensial.

Mereka kemudian dipadukan dengan bimbingan 2 atau 3 pemain senior. Hasilnya pada 2022, dengan budget gaji yang lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya. AC Milan berhasil meraih Kembali gelar juara liga Italia. Selain memangkas beban gaji, klub juga menggenjot penerimaan klub dari sponsor.

Penampilan yang stabil tentu memikat banyak sponsor untuk menyuntikkan dananya ke klub. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa melalui kebijakan yang tepat, pengelolaan keuangan klub dengan melakukan penghematan masih dapat berbuah gelar juara.

Sejalan dengan kondisi yang disebutkan di atas, Indonesia juga sedang dalam persimpangan dalam usaha penghematan anggaran negara. Kondisi perekonomian negara yang sedang terguncang karena pandemi Covid-19 membuat kemampuan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang ditanggung pemerintah semakin memberat.

Untuk mengurai beban keuangan negara, pengurangan subsidi BBM pun sudah menjadi rencana yang lebih konkrit. Pemberlakukan kenaikan harga BBM sepertinya tinggal menunggu waktu. Selain subsidi BBM, keuangan negara juga masih harus menanggung besaran pensiun pegawai negeri (pegawai negeri ini meliputi PNS/TNI/Polri).

Dalam sebuah paparan rapat dengan DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyebutkan bahwa skema pensiun pegawai negeri sudah pada tahap memberatkan anggaran negara, sehingga perlu dilakukan sebuah perubahan.

Pernyataan Menteri Keuangan tersebut memicu banyak respons dari berbagai kalangan. Banyak yang secara ringkas menyebutkan bahwa selama ini bagi Kementerian Keuangan, pensiunan pegawai dianggap sebagai beban negara.

Bagi sebagian pegawai negeri (PNS/TNI/Polri), pernyataan pensiunan sebagai beban negara mungkin terdengar keterlaluan. Bisa dibayangkan apabila pegawai negeri yang selalu dibuai dengan kata-kata pengabdian, tidak korupsi dan tidak pernah mengambil yang bukan haknya, tetapi ketika akan mengambil uang pensiun ternyata malah dianggap beban.

Pernyataan Menteri Keuangan ini semakin menyiratkan bahwa pegawai negeri sebenaranya tidak pernah dianggap sebagai aset dalam pengelolaan negara. Dalam bekerja, pegawai negeri selalu diiming-imingi kemuliaan pengabdian kepada negara. Akan tetapi, setiap pekerjaan yang dilakukan tanpa mendapatkan balasan selayaknya profesional. Sehingga pada akhirnya layanan yang diberikan pun menjadi sekadarnya saja.

Penghargaan yang Layak Pegawai Negeri

Jika saja dengan memberikan kebijakan pemberian gaji dan tunjangan yang lebih layak dilakukan, mungkin saja pelayanan pemerintah bisa dilakukan dengan jauh lebih profesional. Hal ini sudah terbukti di lingkungan kantor pajak. Melalui penghasilan yang memadai, pegawai kantor pajak dapat lebih focus dan bekerja semakin profesional. Hasilnya penerimaan negara dari pajak terus-menerus mengalami kenaikan. Sementara itu, kasus penggelapan pajak semakin berkurang terdengar.

Penghargaan kepada pegawai negeri sampai hari ini dirasakan masih timpang. Penghasilan untuk guru, pegawai di level kementerian/lembaga, tenaga Kesehatan, serta anggota TNI dan Polri, masih dirasakan kurang oleh Sebagian pegawai. Hingga hari ini hanya sedikit instansi yang pegawainya mendapatkan penghasilan yang bisa dikatakan lebih dari cukup, salah satunya adalah Kementerian Keuangan.

Hal yang ironis bukan? Penghasilan pegawai negeri yang secara lebih besar dibanding instansi lain didapat oleh pegawai Kementerian Keuangan, akan tetapi justru dari Kementerian Keuangan pula yang menyatakan pensiunan pegawai negeri adalah sebuah beban.

Bukan hal yang rahasia apabila bagi pegawai negeri memiliki tanggungan utang cicilan ke bank. Bagi pembaca yang memiliki keluarga pegawai negeri mungkin hal ini sudah biasa. Hal ini menunjukkan bahwa Sebagian besar pegawai negeri hidup dengan penghasilan yang dirasakan kurang.

Padahal dalam setiap pelaksanaan pekerjaan pegawai negeri senantiasa didoktrin kebanggaan akan pengabdian, akan tetapi pengabdian yang dilakukan masih berlum dibalas secara setimpal. Inilah yang membuat bagi pemerintah pegawai negeri bukanlah aset, melainkan hanya untuk melaksanakan pekerjaan pelayanan masyarakat. Kemudian begitu pensiun masih dianggap sebagai beban bagi negara.

Beban Pensiun Saat Ini

Pensiun bagi aparatur negara sudah diatur melalui peraturan perundang-undangan. Hingga hari ini aturan mengenai pensiun masih berdasarkan UU 11/1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Potongan yang diambil dari para pegawai negeri setiap bulannya adalah 8 persen dari gaji yang diterima.

Ketika pensiun para pegawai akan mendapatkan uang pensiun sebesar 75 persen dari gaji pokok terakhirnya. Pada tahun ini, pengeluaran anggaran negara untuk pensiun adalah sebesar Rp.136,4 triliun. Angka inilah yang kemudian dianggap sebagai beban keuangan negara bagi Kementerian Keuangan.

Mengenai pensiun, kebijakan pemberian pensiun yang perlu direformasi sebenarnya adalah pensiun untuk anggota legislatif dan juga untuk Presiden dan Wakil Presiden. Perubahan ini lebih banyak didasari bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh anggota DPR, Presiden dan Wakil Presiden adalah hanya berlangsung minimal 5 tahun, kemudian berhak untuk mendapatkan pensiun.

Besaran uang pensiun yang diterima pun jauh lebih besar dibandingkan uang pensiun pegawai negeri. Padahal pegawai negeri sebelum menerima pensiunnya bekerja selama 20 hingga 30 tahun.

Perhitungan uang pensiun pegawai negeri secara matematis dianggap sebagai beban, tetapi dari aspek yang lebih humanis, pemberian pensiun yang ada malah masih merendahkan derajat pegawai negeri yang sepanjang masa kerjanya hanya dibuai akan pengabdian belaka, bukan penghidupan yang layak.

Wacana mengenai pensiun atau tunjangan pegawai negeri memang menjadi makanan empuk bahan diskusi di kalangan masyarakat. Stigma masyarakat terhadap kurang kompeten dan kinerjanya pegawai negeri terus digulirkan oleh para level elite. Pemberitaan mengenai kenaikan gaji pegawai negeri, kenaikan tunjangan pegawai negeri, hingga pemberian THR pegawai negeri menjadi santapan utama pemantik diskusi di media.

Pegawai negeri menjadi selain bukanlah aset dalam birokrasi, dimana hanya menjadi objek pelaksana saja, juga merupakan objek politik yang sangat mumpuni untuk melihat respons masyarakat. Pemberian THR misalnya, menjadi panggung para politis untuk mencari perhatian dengan seolah-olah menunjukkan bahwa THR adalah sebuah bonus yang diterima pegawai negeri.

Di sisi lain pemberian THR tersebut di media menjadi ajang menyudutkan pegawai negeri yang seakan-akan mendapatkan bonus besar saat pegawai swasta tidak menikmatinya. Isu-isu seperti ini diperkirakan akan semakin banyak menjelang tahun politik di 2024.

Lebih lanjut, pemerintah sebenarnya memiliki visi untuk membentuk pemerintahan yang berkelas dunia. Visi ini hanya berlaku pada pegawai negeri saja yang harus terus menerus memperlihatkan kinerja yang baik tanpa peningkatan penghasilan yang memadai. Sementara itu, pemilihan pejabat tinggi atau bahkan Menteri sekalipun tidak pernah didasarkan pada hal yang menuntun pemerintahan bergerak kea rah kelas dunia, tetapi hanya kelas koalisi.

Prioritas dalam Pengeluaran

Pengurangan beban anggaran negara sebaiknya dilakukan dengan melihat urgensi dan prioritas yang ada. Masih banyak pos yang dapat dihemat untuk mengurangi beban keuangan negara. Pembentukan lembaga negara yang masih terjadi di masa pemerintahan sekarang sebenarnya bisa ditunda dulu, sambil melakukan evaluasi untuk keberadaan lembaga-lembaga negara yang ada.

Lembaga negeri yang kurang memberikan manfaat kepada masyarakat dapat ditinjau ulang keberadaannya. Anggaran operasional untuk gaji pegawai, tunjangan pejabat, pembelian aset, hingga perjalanan dinas yang dilakukan di lembaga negara tersebut tentu dapat dihentikan dan mengurangi beban anggaran.

Selain keberadaan lembaga negara, hal yang juga perlu ditinjau ulang adalah skala prioritas pembangunan infrastruktur. Proyek infrastruktur merupakan salah satu pengeluaran tersesar dalam anggaran negara.

Pemerintah saat ini memiliki banyak program pembangunan infrastruktur yang sedang dan akan dilakukan. Akan tetapi, jika melihat berbagai proyek infrastruktur yang sudah selesai tidak semuanya dimanfaatkan masyarakat dengan baik.

Salah satu contohnya adalah Bandara Kertajati. Penerbangan komersial ke wilayah tersebut minim, sehingga bandara tersebut pun menjadi sepi. Padahal pembangunan bandara menghabiskan anggaran yang tidak sedikit.

Melalui strategi penghematan keuangan negara yang tepat, beban APBN tentu akan lebih efektif. Pengelolaan yang matang sebagaimana contoh AC Milan di paragraf awal akan membuat tujuan pembangunan juga lebih berhasil. Masyarakat tentu berharap seluruh hasil pembangunan dapat bermanfaat dan dirasakan langsung.*

Penulis adalah PNS Analis Kebijakan Muda di BIG (tulisan adalah opini pribadi)

Sumber: RMOL