Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Duka Muslim Rohingya
Oleh : redaksi/opini
Kamis | 02-08-2012 | 09:50 WIB

Oleh: Raja Dachroni


Pada Ahad (29/7/2012), penulis dan rekan-rekan Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PD KAMMI) Kepulauan Riau mengunjungi 82 orang Muslim Rohingya Myanmar, korban pembantaian junta militer Myanmar, di Rumah Tanahan Dentensi Imigrasi (Rudenim) Pusat di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Beragam kisah perih yang dialami Muslim Rohingya diceritakan Muhammad Yunus, seorang pengungsi yang kebetulan bisa berbahasa Indonesia, kepada penulis.


Setelah mendengar beragam penindasan dan pencabutan hak-hak kewarganegaraan oleh pemerintah Myanmar, penulis membatin, "Di mana HAM?” Seolah-olah HAM yang dideklarasikan PBB 'bisu' ketika dihadapkan dengan hilangnya beragam hak umat Islam Rohingya yang telah mengalami penindasan puluhan tahun lamanya. Ironis. Tapi inilah realita yang telah terungkap akhir-akhir ini.  

Profil Muslim Rohingya

Meminjam tulisan Rizki S. Saputro, "Kasus Muslim Rohingya – Gerakan Anti Muslim di Asia Tenggara?" di weblog pribadinya http://rizkisaputro.files.wordpress.com disebutkan, Muslim Rohingya tinggal di propinsi Arakan Myanmar. Wilayah Arakan ini ditinggali oleh dua etnis, Rakhine yang Buddha dan Rohingya yang Muslim. Dari jumlah penduduk Myanmar yang sekitar 50 juta, dan penganut Islam 8 juta (2006), sekitar 3,5 juta dari mereka adalah Muslim Rohingya dari Arakan. Disebabkan penyiksaan melalui pembersihan etnis dan tindakan genosida terhadap Muslim Rohingya, sekitar 1,5 juta orang telah dipaksa untuk meninggalkan rumah dan hati mereka semenjak kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948. Mereka kebanyakan mengungsi ke Bangladesh, Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Thailand.

Sebagian besar Muslim Rohingya menggantungkan hidupnya pada pertanian. Sebagian kecil saja dari mereka yang menjadi nelayan, pedagang, dan pebisnis. Ada juga yang menjadi seniman, pandai besi, dan pemahat. Oleh karena diskriminasi terhadap mereka, Muslim Rohingya menjadi tuna wisma. Sawah mereka dirampas oleh penghuni baru yang kebanyakan Buddha. Produk pertanian pun diberikan pajak yang tinggi, termasuk peternakan, seperti sapi, kambing, dan unggas. Mereka juga terpaksa menjadi buruh tani dengan bayaran yang sangat murah dan hidup di bawah garis kemiskinan.

Selama Perang Dunia II, pasukan Jepang menginvasi Myanmar, lalu wilayah ini berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris dan menyebutnya sebagai Birma. Pasukan Inggris mundur dan memunculkan vacuum of power yang menciptakan kekerasan komunal. Termasuk kekerasan di antara warga desa Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya. Pada tanggal 28 Maret 1942, sekitara 100.000 Muslim Rohingya (hampir separuh dari populasi Muslim Rohingya pada waktu itu) dibunuh oleh orang-orang Buddha Rakhine.

Pada masa junta militer, Muslim Rohingya dipaksa untuk meninggalkan nama-nama Islam dan menggunakan nama-nama Birma. Setiap bangunan yang mengesankan simbol Islam diratakan dengan tanah. Ratusan masjid telah diledakkan. Pembangunan masjid baru atau renovasi masjid juga dilarang. Pagoda, biara, dan kuil Buddha didirikan di setiap sudut dan sela-sela tanah Muslim Rohingya. Pelajar muslim dicuci otaknya di sekolah-sekolah di mana ajaran-ajaran anti-Islam dijejalkan kepada mereka. Islam dan budaya Islam selalu digambarkan dengan cara-cara yang memalukan, menghinakan, merendahkan, dan menyimpang.

Sebelum junta militer merebut wilayah Rohingya pada tahun 1962, Muslim Rohingya tak kalah maju dengan komunitas Buddha di Arakan. Hanya karena kemiskinan, diskriminasi dan penyiksaan terus-menerus atas diri mereka, jumlah pelajar Rohingya turun drastis. Mereka dipersulit untuk dapat mengikuti pendidikan tinggi di kampus dan universitas. Larangan-larangan bagi Muslim Rohingya telah diberlakukan untuk mencegah mereka mendapatkan karir profesional karena mereka dipertanyakan kewarganegaraannya.

Sebelum tahun 1962, komunitas Rohingya telah diakui sebagai etnis nasional endogen Birma. Mereka memiliki perwakilan di Parlemen Birma, dan beberapa di antaranya telah ditunjuk sebagai menteri dan sekretaris parlemen. Pada masa pemerintahan Presiden U Nu, Sultan Mahmood yang merupakan hartawan dan orang berpengaruh Rohingya menjabat sebagai Sekretaris Politik, lalu menduduki jabatan Menteri Kesehatan. Anggota kabinet lainnya adalah Abdul Bashar, Zohora Begum, Abul Khair, Abdus Sobhan, Abdul Bashar, Rashid Ahmed, dan Nasiruddin (U Pho Khine). Beberapa tokoh seperti Sultan Ahmed dan Abdul Gaffat menjadi sekretaris parlemen.

Setelah rezim militer berkuasa, mereka telah menghilangkan hak politik Muslim Rohingya secara sistematis. Dengan diundangkannya UU Kewarganegaraan tahun 1982 mereka disebut sebagai warga ‘non-kebangsaan’ atau ‘warga asing.’ Muslim Rohingya pun resmi dideklarasikan sebagai warga yang pantas ‘dimusnahkan.’ Rezim junta militer mempraktekkan dua kebijakan de-Islamisasi di Myanmar: pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya di Arakan, serta asimilasi budaya bagi umat Islam yang tinggal di bagian lain Myanmar. 

Tujuan utama mereka adalah mengubah wilayah strategis Arakan (lihat peta) yang didominasi Muslim menjadi didominasi kalangan Buddha dengan merubah konstelasi demografis Arakan. Bahkan kini nama Arakan diubah pemerintah menjadi Rakhine, nama khas Buddha. Di Arakan, banyak Muslim Rohingya yang ditahan dengan cara sewenang-wenang, disiksa, dieksekusi dengan cepat, dan dibunuh. Muslim Rohingya dipaksa menjadi buruh (baca: budak) pagi-siang-malam. Sawah-sawah dirampas dan rumah mereka diakuisisi warga baru Buddha. Masjid dan madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan pagoda dan kuil Buddha. Junta berharap agar dapat merubah lansekap Arakan.

Muslimah Rohingya diperkosa dan tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Buddha, dilarang mengenakan hijab, dipaksa mengenakan alat kontrasepsi, dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya. Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun bisnis.

Dari Dulu Hingga Sekarang

Sebelum Myanmar ada, sebenarnya etnis Rohingya yang berdomisili di Propinsi Arakan sudah sejak lama ada. Namun, sejak negara Myanmar berdiri pelan tapi pasti Muslim Rohingya mulai tereleminir dengan sikap pemerintahan Myanmar seperti yang telah penulis sebutkan dimuka. Kebijakan anti-Islam ini adalah pengungsian Muslim Rohingya ke negara-negara tetangga. 

Banyak negara yang menolak sebagai pengungsi yang mencari suaka. Di negeri non-Muslim seperti Thailand, mereka disiksa dan diusir oleh tentaranya. Di negeri Muslim seperti Bangladesh, mereka tidak dibantu sepenuhnya. Bahkan sama seperti Thailand, Indonesia menyebut mereka sebagai pengungsi ekonomi. Dan sejauh ini memang belum ada langkah konkrit dari negara-negara tetangga baik muslim maupun negara yang mayoritas non muslim untuk membantu mereka.

Masih menurut Rizki dalam tulisannya, Indonesia sebagai mantan god-father Asia Tenggara berusaha menjembatani masalah 'manusia perahu Rohingya' melalui Bali Process. Myanmar diharapkan "menghentikan atau mengurangi alasan yang menyebabkan terjadinya arus pengungsi ke negara lain". Artinya, masalah ini dikembalikan kepada rezim junta militer Myanmar dan Muslim Rohingya. Sementara itu, apa yang bisa digunakan oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mendesak (me-reward dan mem-punish) junta Myanmar dalam Bali Process? Hal ini belum terlihat. Seakan-akan semua negara berlepas tangan terhadap masalah Muslim Rohingya.

Menyelematkan Muslim Rohingya

Di muka, sudah penulis sebutkan secara detil bagaimana penderitaan muslim rohingya. Sudah saatnya kita bersama berpikir bagaimana menyelematkan mereka. Dari kunjungan yang penulis lakukan di Rudenim Tanjungpinang, permintaan muslim Rohingya sangat sederhana. Pertama, mereka meminta dikembalikan hak kewarganegaraan. Kedua, jika memang hak kewarganegaraan tersebut belum diakui juga, mereka meminta agar negara-negara muslim seperti Indonesia mau memberikan suaka politik kepada mereka. 

Dari kedua sudut pandang tersebut, penulis pikir PBB dan ASEAN bisa mendesak pemerintah Myanmar untuk melakukan tindakan represif seperti memberikan sanksi internasional untuk Myanmar. Bahkan PBB dan ASEAN bisa saja mengeluarkan Myanmar dari organisasi ini jika memang Myanmar belum bisa menyelesaikan permasalahan ini sesegera mungkin.

Kalau memang Myanmar juga masih tidak khawatir dengan ancaman dan lambat dalam mengambil kebijakan dalam menyikapi masalah ini, jelas ini menjadi kewajiban negara-negara tetangga yang mayoritas beragama Islam untuk menampung sementara muslim Rohingya yang dibantai secara tidak manusiawi oleh Junta Militer Myanmar. Indonesia, penulis pikir, punya peluang untuk hal ini.

Skema Global Asing

Membaca tulisan Hendrajit - Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI),  “Agenda Tersembunyi di balik Konflik Etnis Islam Myanmar” disebutkan konflik etnis Islam Rohingya di Myanmar, harus dipoitres dalam foto yang lebih besar. Fokus harus diarahkan pada Arakan, daerah basis Suku Rohingga. Di Arakan ini, ada kandungan minyak dan gas bumi yang cukup melimpah. Beberapa perusahaan Asing seperti Total, Perancis, Chevron, Amerika Serikat, Petro China, Cina, Tiongkok Petroleum, Petronas Malaysia, dan PTT Thailand, saling berebut dan incar Arakan yang punya nilai strategis.

Masih menurutnya, Amerika sepertinya merasa ketinggalan kereta dalam pertarungan merebut the winning coalition dalam menguasai struktur domestik Myanmar. Karena kalah dalam mengakses rejim militer Presiden Than Swe. Maka, isu HAM kemudian dikelola sebagai isu untuk menembus blokade wilayah strategis ini dengan dalih ada pelanggaran HAM di Myanmar, khususnya Arakan. Maka itu kondisi obyektif Arakan yang rawan untuk dipicu perbenturan antara etnis Islam Rohingya dan warga Budha di daerah ini. Sejatinya bukan Muslim Cleansing, Tapi People cleasing terhadap masyarakat Myanmar. Yang muaranya adalah untuk memaksa rejim militer menegosiasikan ulang berbagai kesepakatan strategis di bidang ekonomi.

Saat ini, di Arakan, setidaknya dua perusahaan minyak Cina, sudah menandatangani MOU dengan rejim militer Myanmar, untuk mengeksplorasi dan penambangan di Arakan. Jadi dalam kontek memicu konflik Islam-Budha di Myanmar, sebenarnya dalam skema global ini, masyarakat Birma-lah yang jadi korban sebenarnya. Tentu saja karena sasaran utama kali ini adalah Arakan, maka suku Rohingga jadi target operasi. Namun warga Budha pun juga jadi korban. Karena skema besarnya, korbankan masyarakat Birma, demi kesepakatan rejim militer dan para pelaku korporasi raksasa asing di Myanmar.

Pemerintah Myanmar yang saat ini dipimpin oleh Pemimpin oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi saat ini menyerukan adanya aturan hukum dalam bentuk undang-undang untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas. Pernyataan ini disampaikan dalam pidato pertamanya di parlemen (Vivenews.com, Rabu 25 Juli 2012). Nah, terlepas dari dugaan skema global ini, kita berharap penderitaan muslim Rohingya bisa segera berakhir dan pernyataan Aung San Suu Kyi sebagai presiden kita harapkan tidak hanya sekedar retorika belaka karena galau dengan sikap PBB dan negara-negara dunia yang mendesak Myanmar untuk mengembalikan hak-hak kewarganegaraan Muslim Rohingya. Semoga Allah menguatkan dan menyelematkan muslim Rohingya yang masih tersisa di Propinsi Arakan, Myanmar.


Penulis adalah Ketua Umum PD KAMMI Kepri dan Direktur Gerakan Kepri Gemar Menulis (GKGM)