Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Putin Terbukti Sakti, Bikin Rubel Menang Lawan Dolar
Oleh : Redaksi
Selasa | 24-05-2022 | 13:24 WIB
A-Vladimir-Putin_(1)_jpg2.jpg Honda-Batam
Presiden Rusia, Vladimir Putin. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pergerakan mata uang rubel Rusia memberikan kejutan di pasar finansial. Bagaimana tidak, kurang dari dua bulan rubel berubah dari mata uang terlemah menjadi yang terbaik di dunia.

Rubel menjadi satu dari sedikit mata uang yang mampu melibas dolar Amerika Serikat (AS), dan berada di posisi teratas. Penguatannya sepanjang tahun ini hingga Jumat (20/5/2022) lebih dari 20%.

Perang Rusia dengan Ukraina membuat negara pimpinan Vladimir Putin ini diberikan banyak sanksi oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Mulai dari sektor keuangan hingga energi, mulai dari korporasi hingga individu.

Dari sektor keuangan, setidaknya 7 bank dan institusi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.

Selain akan memutus SWIFT dari Rusia, Amerika Serikat dan Sekutu juga membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Cadangan devisa Rusia saat ini sebesar US$ 643 miliar, yang sebagian besar ditempatkan di bank sentral AS, Eropa dan China dengan estimasi sekitar US$ 492 miliar, melansir Forbes.

Pembekuan aset tersebut membuat bank sentral Rusia tidak bisa menggunakan cadangan devisanya, guna menstabilkan nilai tukar rubel.

Alhasil, nilai tukar rubel jeblok hingga menyentuh RUB 150/US$ pada 7 Maret lalu, yang merupakan rekor terlemah sepanjang sejarah. Dibandingkan posisi akhir 2021 hingga ke rekor tersebut, rubel jeblok lebih dari 101%.

Namun itu dulu, beberapa kebijakan cepat yang diambil bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) serta pemerintah Kremlin membuat rubel berbalik menguat dan menjadi yang terbaik di dunia, jauh meninggalkan real Brasil yang penguatannya sebesar 13%, berdasarkan data Refinitiv.

Jumat lalu, rubel mengakhiri perdagangan di RUB 59,5/US$, yang menjadi level terkuat sejak April 2018.

Jebloknya nilai tukar rubel membuat CBR bergerak cepat dengan mengerek suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5% di awal Maret lalu. Dengan kurs rubel yang berbalik menguat inflasi di Rusia diperkirakan akan melandai, CBR pun akhirnya kembali menurunkan suku bunganya menjadi 14%. Meski demikian, kurs rubel masih terus menguat melawan doalr AS.

Pemerintah Rusia menerapkan kebijakan capital control menjadi kunci yang membuat rubel terus menguat. Kebijakan capital control memberikan dampak yang besar terhadap penguatan rubel.

Kebijakan tersebut mewajibkan perusahaan Rusia mengkonversi 80% valuta asing menjadi rubel. Rusia juga meminta gas dan minyak yang diimpor oleh negara-negara Eropa dibayar menggunakan rubel.

Selain itu, warga Rusia sebelumnya juga dilarang mengirim uang ke luar negeri, kebijakan tersebut kemudian dilonggarkan dengan memperbolehkan transfer maksimal US$ 10.000/bulan per individu.

Alhasil, nilai tukar rubel terus mengalami penguatan. Putin pun mengklaim "kemenangan" di bidang ekonomi. Putin mengatakan rencana negara Barat untuk menghancurkan ekonomi Rusia dengan berbagai sanksi yang diterapkan tidak berhasil.

Ia menunjukkan bagaimana kebangkitan nilai tukar rubel yang sempat jeblok ke rekor terlemah sepanjang sejarah, kini berbalik menjadi mata uang terkuat di dunia, membuat dolar AS yang sedang kuat-kuatnya tumbang.

Namun, kebijakan tersebut tentunya tidak bisa ditiru di Indonesia. Sebab, bukannya membuat rupiah menguat, justru akan membuat masa depan Indonesia semakin suram.

Kenaikan suku bunga yang agresif memang bisa membuat nilai tukar mata uang menguat. Tetapi ada harga yang harus dibayar, yakni pelambatan pertumbuhan ekonomi, bahkan tidak menutup kemungkinan hingga mengalami resesi.

Saat suku bunga dikerek, suku bunga pinjaman juga akan ikut naik. Hal ini akan menghambat ekspansi dunia usaha, begitu juga dengan konsumsi masyarakat yang merupakan tulang punggung perekonomian.

Amerika Serikat contohnya, perekonomiannya diperkirakan akan mengalami pelambatan signifikan, bahkan diprediksi akan mengalami resesi akibat bank sentralnya (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga.

Dampaknya sudah terlihat, bursa saham AS (Wall Street) terus mengalami kemerosotan.

Kemudian kebijakan capital control yang diterapkan justru membuat daya tarik investasi di Indonesia meredup, yang pada akhirnya berdampak pada seretnya capital inflow.

Meski saat ini menjadi mata uang terbaik di dunia, tetapi ke depannya rubel diperkirakan bisa kembali terpuruk.

"Bank sentral Rusia menggunakan banyak instrumen untuk membuat rubel kembali bernilai, tetapi orang-orang di luar Rusia tidak mau membeli rubel kecuali memang sangat harus membeli, dan para trader melihat rubel tidak lagi mata uang yang bisa diperdagangkan dengan bebas," papar Charles-Henry Monchau, kepala investasi Syz Bank di Swiss, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu pekan lalu.

Ia menambahkan, rubel bisa terus menguat jika Rusia bisa menemukan jalan keluar dari konflik Ukraina, tetapi sebaliknya akan jeblok jika perang terus berlarut-larut.

Jika Rusia bisa menemukan solusi masalah Ukraina dengan konsekuensi yang terukur, kemudian sanksi dicabut dan hubungan dengan Barat mulai pulih, maka rubel akan mempertahankan penguatannya.

"Di sisi lain, jika tidak ada resolusi, maka rubel akan jeblok, yang bisa membuat inflasi meroket dan perekonomian Rusia akan mengalami resesi yang dalam," katanya.

Selain itu, penguatan rubel justru berdampak buruk. Eksportir akan kesulitan menjual produknya, begitu juga pendapatan Rusia akan terancam seret.

"Semakin kuat nilai tukar maka defisit anggaran akan semakin besar. Penguatan itu akan mempersulit para eksportir, menaikkan biaya dan mengurangi pendapatan," kata Evgeny Kogan, profesor di Higher School of Economic di Moskow, sebagaimana dilansir Bloomberg, Senin (23/5/2022).

Menurut Kogan, nilai tukar rubel yang mendukung perekonomian berada di kisaran RUB 78-80/US$. Risiko yang dihadapi Rusia tersebut membuat pemerintah Rusia dikatakan berencana melonggarkan kebijakan capital control.

Eksportir yang sebelumnya diwajibkan mengkonversi 80% valuta asingnya diperkirakan akan diturunkan menjadi 50%, menurut sumber yang dikutip Bloomberg. Kebijakan tersebut dikatakan paling cepat akan berlaku di pekan ini, dan rubel diperkirakan akan melemah.

Sumber: CNBC Indonesia
Editor: Dardani