Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bebas Tes
Oleh : Opini
Selasa | 08-03-2022 | 08:36 WIB
A-LUHUT-BEBAS-ANTIGEN.jpg Honda-Batam
Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Binsar Pandjaitan saat umumkan pembebasan tes Covid-19 bagi penumpang pesawat dan kereta api. (Foto: Ist)

Oleh Dahlan Iskan

HOREEEE. Naik pesawat tidak perlu tes Covid-19 lagi. Asal sudah vaksin lengkap: dua kali. Demikian juga naik kereta api. Tidak perlu tes. Atau naik apa pun.

Memang belakangan ini tidak ada lagi yang takut terkena Covid-19. Termasuk saya. Pun dari hasil survei seadanya yang saya lakukan. Tingkat ketakutan orang akan terkena Covid turun drastis.

Istri saya juga kena Covid pekan lalu. Jenis Omicron. Juga teman-temannya. Anehnya saya tidak mengkhawatirkan istri saya. Padahal ia punya empat komorbid: sudah di atas 60 tahun, punya darah tinggi, penderita diabetes dan pernah sakit TBC, setelah punya dua anak.

Memang dia batuk-batuk. Juga demam. Tapi nafsu makan tidak turun. Tidak kehilangan penciuman maupun rasa makanan. Keluhan kehilangan penciuman juga tidak dirasakan teman-teman lainnya. Omicron ini terasa beda.

Saya juga tidak minta istri isolasi. Saya justru khawatir: istri saya akan stres kalau diisolasi. Lalu depresi. Saya tahu sifat-sifatnya. Maka saya putuskan: tidak usah isolasi. Saya lihat level vitamin D-nya 58. Tidak sesak napas. Suhunya tidak tinggi. Hanya sumer-sumer.

Maka saya tetap serumah. Sekamar. Mandi di kamar mandi yang sama. Sikat gigi yang sama. Handuk yang sama.

Dia juga masih ke dapur: masak. Menyiapkan makanan. Seperti hari-hari biasa. Dia sangat asyik di dapur. Terlihat bergairah kalau lagi masak.

Tiga hari kemudian dia tes antigen: negatif. Keesokan harinya PCR: negatif.

Pemerintah tentu punya data lebih akurat soal penghapusan kewajiban tes itu. Demikian pula soal dihapuskannya kewajiban karantina bagi turis asing yang ke Bali.

Indonesia akhirnya masuk grup negara yang menganggap Covid bak flu biasa. Itu karena tingkat vaksinasi yang sudah tinggi dan herd immunity yang luas.

Justru Korea Selatan yang angka Covid-nya luar biasa tinggi sekarang ini: di atas 200.000 sehari kemarin. Juga beberapa hari terakhir. Tapi itu juga tidak membuat panik. Padahal angka itu sama dengan 1 juta kalau di Indonesia.

Saya menghubungi Gina tadi malam. Dia kini top sebagai YouTuber Kimbab Family. "Dulu ketakutan saya 10. Sekarang hanya 5," kata Gina dari Seoul. "Di sini juga ada anggapan Covid sudah seperti flu biasa," katanya.

Anak-anaknya pun kini sudah sekolah tatap muka. Hanya dua hari sekali harus tes antigen.

Gina, yang dulu saya sekolahkan ke Tiongkok, bertemu mahasiswa Korea yang juga lagi belajar Mandarin. Keduanya kawin secara Islam di Bandung. Kini Gina punya tiga anak.

Yang jadi sorotan dunia sekarang justru Tiongkok. Yang tetap menjadi satu-satunya negara yang menjalankan kebijakan "Zero Covid". Setiap muncul beberapa kasus langsung lockdown di satu area. Kadang satu kota. Atau satu provinsi. Keras sekali.

Hasilnya memang luar biasa. Sampai hari ini negara asal Covid-19 itu hanya mencatatkan penderita sedikit di atas 100.000 orang.

Pertanyaan dunia pada Tiongkok saat ini: kapan herd immunity tercapai di sana. Akan masih sangat lama. Dikhawatirkan ledakan baru bisa terjadi di sana kapan-kapan. Kalau pun tidak, rasa was-was terus menghantui kebijakan perekonomian internasionalnya.

Atau ledakan itu tidak akan pernah terjadi, kalau imunisasi sudah begitu meratanya. Pun seandainya terjadi, bisa saja tidak perlu panik seperti dulu.

Hongkong adalah tes terakhir Tiongkok. Angka Covid di Hongkong melonjak luar biasa belakangan ini: di atas 30.000 sehari. Padahal pengawasan begitu ketat. Tingkat vaksinasi juga begitu tinggi.

Hongkong panik. Justru karena itu terjadi di tengah kebijakan 'Zero Covid' yang keras.

Kelak ilmuwan akan menyimpulkan: kebijakan mana yang lebih baik.

Yang jelas manusia modern sudah begitu majunya: mampu mengatasi wabah yang begini hebatnya. Hari Minggu kemarin angka kematian akibat Covid mencapai 6 juta orang. Sedunia.

Dibanding dengan total jumlah penduduk yang 6 miliar, angka 6 juta itu hanya 0,1 persennya.

Itulah prestasi manusia modern. Seandainya tingkat kematian Covid ini sama dengan Flu Spanyol, berarti 1 miliar orang sudah meninggal dunia. Waktu itu, 1918, jangankan vaksin. Obat antibiotik saja belum ditemukan.

Ditarik ke usia Nabi Adam yang 8.000 tahun, kemajuan ilmu di hanya 100 tahun terakhir benar-benar fantastis.

Apa jadinya 30 tahun ke depan. Ketika Gibran Rakabuming Raka baru seumur bapaknya sekarang. Dan Lesty Kejora baru seumur Inul Daratista.*

Penulis adalah wartawan senior