Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bagaimana Nasib Masa Depan Media Kita?
Oleh : Opini
Jum\'at | 18-02-2022 | 08:52 WIB
A-hendry-ch-bangun1_jpg22.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua Dewan Pers, Henry Ch Bangun. (Foto: Ist)

Oleh Henry Ch Bangun

SEMPENA Hari Pers Nasional 2022 yang jatuh pada 9 Februari lalu dan puncak acaranya dilangsungkan di Kendari, Sulawesi Tenggara, di spanduk, billboard, iklan media massa dan media sosial terpampang berbagai harapan kepada pers.

"Pers harus menjadi perekat dan mempersatukan bangsa," "Pers harus menjaga kualitas agar dapat menangkal hoaks." "Pers harus menjadi penjernih informasi agar masyarakat tidak diracuni berita palsu". "Pers jangan partisan, bersikap independen adil bagi semua kelompok masyarakat". "Pers itu bertugas mengoreksi, bukan menjadi corong pemerintah."

Dan entah apalagi. Isinya semua tuntutan. Maunya pers begini dan begitu. Semua itu mungkin harapan karena ada hal-hal yang dianggap tidak cocok atau sudah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Harapan ideal, yang barangkali hanya bisa dilakukan di era yang ideal --dan itu bukan sekarang.

Ya, saat ini media tidak sedang baik-baik saja. Hampir semuanya sekarat. Pada banyak media, pendapatan bukan hanya turun drastis tetapi cenderung habis. Pada media lain, pendapatan ada tetapi tidak cukup untuk saving, hanya membiayai operasional. Ada satu dua yang hidup cukup sehat, tetapi kalau kondisi tidak berubah mungkin musim gugur kembali melanda industri media.

Yang bisa menolong ada dua, yaitu pemerintah melalui regulasi dan masyarakat melalui donasi atau kepedulian.

Seluruh aturan harus bermuara pada satu hal, membantu perusahaan pers. Perusahaan media massa janganlah lagi dianggap entitas bisnis --kecuali tentu yang porsi entertainmentnya lebih besar dari berita. Anggaplah dia sebagai lembaga yang membantu pemerintah dalam mencerdaskan bangsa, menyalurkan informasi, dan berpartisipasi dengan ide dan aspirasi untuk mengembangkan sistem demokrasi.

Dalam posisi ini maka media dianggap partner pemerintah, masyarakat yang ambil bagian sesuai porsinya membantu penyelenggaraan negara. Mereka tidak mencari untung, pendapatan yang diperoleh hanya digunakan untuk menunjang operasional, tidak menumpuk kekayaaan.

Dengan demikian maka biaya izin-izin media penyiaran tidak perlu ada. Pajak kertas koran, haruslah dihilangkan. Kucurkan subsidi agar pelatihan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusianya dapat terlaksana. Kalau perlu supaya perusahaan media maju, media didukung dengan kredit usaha berbunga rendah --atau bahkan tanpa bunga. Di sini berlaku moto, pers sehat, bangsa kuat.

Seperti berulang kali saya tulis, pemerintah mengucurkan triliunan rupiah untuk meningkatkan SDM eksekutif, legislatif, yudikatif, dengan beragam jenis pendidikan dan pelatihan, dengan berbagai jenjang pula. Tetapi pemerintah sangat pelit memberikan bantuan pada SDM media.

Dewan Pers sebagai satuan kerja di Kementerian Kominfo melalui perencanaan di Bappenas dan disetujui di DPR, diberikan anggaran pelatihan dan uji kompetensi wartawan sebesar Rp12 miliar lebih bagi 1.870 wartawan pada tahun 2022 ini. Sedangkan pada tahun 2021 sebesar Rp10 miliar, yang menghasilkan 1.750 wartawan bersertifikat.

Sertifikasi lebih banyak dilakukan organisasi wartawan seperti PWI, AJI, IJTI dengan bantuan dari berbagai pihak agar wartawan menjadi profesional dan memahami minimal Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Sertifikasi hanyalah pemetaan kompetensi umum, padahal sebenarnya awak media di jenjang tertentu harus memiliki keterampilan khusus, spesialis, dan konten media semakin bermutu.

Begitu pula perlu pelatihan manajemen pengelolaan media agar pengurusan perusahaan pers dilakukan sesuai dengan good corporate government: ada kontrol kualitas konten, ada kredibilitas manajemen di mana wartawan bekerja dalam prosedur dan pertanggungjawaban yang jelas.

Perusahaan media takkan bisa melakukan peningkatan kapasitas SDM-nya sendiri dalam kondisi saat ini. Harus ada peran pemerintah, melalui lembaga di kementerian terkait seperti Kominfo, Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Perdagangan, dsb.

***

Masyarakat pun jangan hanya bisa meminta pers harus berbuat ini atau berbuat itu. Berilah media napas kehidupan. Masyarakat adalah sumur tanpa dasar kalau bicara soal dana yang tersedia. Ada banyak uang, tinggal lagi apakah mau diberikan atau tidak. Bukan hanya saat ini.

Saya teringat saat mingguan Star Weekly, menggalang dana bagi regu Piala Thomas Indonesia yang bertanding di Selandia Baru untuk penyisihan dan kemudian ke Singapura untuk putaran final pada tahun 1958. Melihat pemerintah tidak punya cukup uang dan PBSI pun tidak punya dana cukup, majalah itu membuka dompet donasi.

Akhirnya Indonesia mengalahkan Malaysia di final dan memboyong Piala Thomas ke Jakarta dan pemain-pemainnya diterima Presiden Soekarno di Istana Negara. Semua senang Indonesia berjaya. Kuncinya, dana masyarakat.

Pada saat ini masyarakat Indonesia terkenal paling pemurah seantero jagat. Dalam launching Hari Pers Nasional di Studio TVRI Jakarta pada 30 Januari 2022, saya katakan, rakyat Indonesia ringan tangan untuk menyumbang ke berbagai pelosok dunia.

Ada anak-anak kelaparan dan kedinginan di Suriah, dibantu. Ada anak-anak tidak mempunyai Al Quran untuk belajar di Nigeria, dibantu. Ada pengungsi Myanmar terdampar, dibantu. Ada bencana Semeru, rakyatnya dibantu. Ada gempa bumi di Lombok, dibantu.

Di Instagram saya melihat puluhan lembaga meminta dan menyalurkan sumbangan dengan jumlah putaran dananya sulit dihitung, di dalam dan luar negeri. Entah berapa ratus miliar pertahun.

Menurut saya, perusahaan pers dengan kualitas bermutu juga patut didukung oleh masyarakat kalau memang ingin agar media massa dapat menjalankan tugas, peran, dan fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Pers. Bantu dengan berlangganan --konten premium ataupun media cetak, beriklanlah langsung, atau kerja sama secara kolaboratif, bersinergi, karena bangsa dan negara ini membutuhkan media berkualitas.

Pada saat ini media dalam kondisi orang yang hampir tenggelam. Ada airnya sudah di leher, ada yang masih di pinggang. Tetapi ada pula yang sudah timbul tenggelam. Dalam kondisi itu maka, tentu mereka harus ditolong dulu. Selamatkan, beri tenaga dengan asupan makanan sehat. Baru bisa disuruh bekerja baik.

Media dalam kondisi sakit, akan berjuang dengan caranya sendiri untuk hidup. Terkadang apapun ditelannya agar bisa bertahan.

Terus Anda sekalian mau mengharapkan mereka menjadi idealis? Tentu sulit.

Maka masa depan media bakal ditentukan oleh peduli tidaknya pemerintah dan masyarakat, bagaimana melihat posisi media dalam sebuah negara demokrasi. Kalau media mati satu persatu, yang rugi masyarakat, karena mereka akan disuguhi informasi yang asal-asalan, yang tidak jelas kredibilitasnya, karena tidak dikelola oleh orang yang kompeten dan bertanggungjawab.

Jadi, janganlah hanya bisa menuntut. Berbuatlah sesuatu bagi media. Demi masa depan bangsa yang lebih baik.*

Penulis adalah wartawan senior dan Wakil Ketua Dewan Pers