Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tuhfat Al Nafis, Sastera Sejarah dan Beberapa Catatan Pinggir
Oleh : Opini
Kamis | 06-01-2022 | 14:52 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI-SENYUM9.png Honda-Batam
Rida K Liamsi, wartawan senior dan budayawan Kepri. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

TUHFAT Al Nafis karya Raja Ali Haji (RAH) merupakan salah satu dari tiga karya agung yang diwarisi Dunia Melayu disamping 'Salalatus Salatin' atau 'Sejarah Melayu' (SM) karya Tun Seri Lanang (TSL) dan Hikayat Hang Tuah (HHT) karya Anonim.

Dunia Melayu beruntung karena melalui tiga karya Agung ini, orang dapat mempelajari dan memahami apa dan bagaimana rumpun bangsa Melayu ini ujud, tumbuh dan berkembang. Mewariskan tradisi dan juga pemahaman tentang konsep masa depan Dunia Melayu itu.

Begitulah antara lain yang pernah dikatakan Sasterawan Negara (SN) Malaysia Muhammad Haji Salleh, salah seorang sasterawan terkemuka Malaysia ketika menyampaikan pandangannya tentang HHT dalam sebuah webinar belum lama ini. Keberuntungan karena ketiga karya agung ini telah menjadi bahan kajian dan sumber inspirasi bagi karya karya lain yang muncul kemudian.

Dari ketiga warisan budaya literasi itu, Tuhfat Al Nafis merupakan yang paling menonjol. Bukan saja karena ditulis dan terbit lebih akhir, sekitar tahun 1870, tetapi juga karena pendekatan dan cara penulisanya yang lebih maju.

Atau lebih istimewa, seperti dikatakan sejarawan dan pengkaji Virginia Matheson Hooker dari Universitas Nasional Australia dalam Kata Pengenalan nya dalam Buku alih aksara dan kajian teks 'Tuhfat Al Nafis, karangann Raja Ali Haji (Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia, 1998)'. Keistimewaan itu antara lain karena Tuhfat Al Nafis ditulis dengan semangat sastera dan kesejarahan yang lebih maju dan terpadu.

Raja Ali Haji misalnya telah memulai penulisan buku itu dengan menggunakan latar belakang silsilah dan asal usul para tokoh yang diceritakannya dalam Tuhfat Al Nafis. Ada semacam tempat rujukan bagi para pembaca untuk tidak kehilangan jejak dan asal usul tokohnya.

Kemudian cakupan cerita buku itu juga tidak semenanjung sentris, tapi melebar sampai ke mana mana. Ke Sulawesi, Kalimantan,Jawa, Sumatera dan bahkan Semanjung tanah Melayu, sampai negeri Arab .

Sementara sebagai buku yang berisi kronik sejarah, buku ini ditulis dengan semangat kesejarahan yang mengutamakan sumber dan fakta yang kuat.

Peristiwa dan cerita yang disajikan untuk masa lampau selalu ada sumber rujukannya, seperti Hikayat Siak untuk cerita di Siak, atau Hikayat Pontianak untuk kisah kisah di Pontianak dan lainnya.

Jadi tidak semata mata berkelit dengan tradisi konon kabarnya atau alkisah . Kadar tarikh dan tawarikh sejarahnya juga lebih terjaga meskipun menggunakan tahun tahun hijriah.

Keistimewaan inilah membuat Tuhfat Al Nafis menjadi salah satu sumber sejarah yang penting. Bahkan sebagai sumber utama atau sumber primer , untuk peristiwa se zaman, seperti dikatakan Prof Abdullah Gazali Zakaria, sejarawan Malaysia dalam kata pengantar untuk buku sejarah karya sejarawan Mardiana Nordin. Dan kedudukan yang kuat sebagai sumber sejarah ini pun diakui oleh Virginia Matheson Hoocker dalam kajiannya tentang Tuhfat Al Nafis itu.

Saya, memang lebih suka memaknai Tuhfat Al Nafis sebagai karya sastera, sastera Sejarah. Karya sastera yang berlatar sejarah. Bukan semata hanya sebuah kronik tentang sejarah negeri atau kekuasaan, tetapi sebuah cerita yang menggunakan sejarah sebagai latar belakang karyanya.

Dan bukan pula sekadar hikayat yang terlalu tenggelam dalam alur cerita konon kabarnya. Tapi riwayat tokoh-tokoh yang berjejak dibumi, faktual dan ditulis dengan semangat cerita yang kaya. Berwarna dan terkadang romantis.

Lihatlah bagaimana Raja Ali Haji mengawali bukunya : "Maka pada ketika di dalam Hijrat Nabi sallallah alaihi wassalam, seribu dua ratus delapan puluh dua tahun, dan pada tiga hari bulan Syaaban yang maha besar, dan berbangkitlah hatiku bahwa memperbuat kitab ini yang simpan, dan di dalamnya menyatakan salasilah dan perjalanan, dan tawarikh dan segala khabar-khabar..."

Gaya penulisan yang demikian itu di era awal abad 19, sungguh luar biasa. Gaya penulisan yang menurut Virginia Matheson Hoocker, sebagai gaya bahasa Melayu murni yang ditambah bahasa Arab. Gaya bahasa yang memperlihatkan penciptaan sentesis baru antara kebudayaan Melayu dengan kesarjanaan Islam

Kadar dan rasa sastera dalam Tuhfat Al Nafis terasa lebih dominan dari kadar dan rasa sejarahnya. Meskipun di berbagai bagian bab yang disajikan itu terdapat tarikh dan tawarih, tetapi kadar sasteranya, warna dan alur ceritanya tidak putus dan terggelam.

Cerita sejarah dan historiografinya bersebati menjadi kekuatan buku ini sebagai sumber sejarah, sementara gaya penceritaanya mengalir menjadi sebuah kisah yang hidup sebagaimana sebuah novel. Terasa utuh dan menyentuh.

Misalnya saat RAH bercerita tentang peristiwa Perang Riau 1782-1784 pada peristiwa meledaknya kapal Komando Belanda Malaca Walvaren. "Maka seketika berperang itu maka kubu Teluk Keriting pun hendak tewas, sebab ubat bedilnya (mesiu-pen) habis".

Maka menyuruhlah Yang Dipertuan Muda (Raja Haji Fisabilillah- Pen), itu mengantar ubat bedil sebuah sampan. Adalah yang mengantar ubat bedil itu Syahbandar Bopeng, adalah budak yang mengayuhkan (sampannya-pen) kepala segala budak anak baik baik, namanya Encik Kalak. Maka sampan itupun dibedil oleh kapal (Malacca Walvarens -pen) dari laut dengan peluru penabur, maka sampan itupun tenggelam.

Maka lepas satu tong ubat bedil itu dipikul oleh orang sampan itu naik ke darat kepada kubu Teluk Keriting itu. Maka dapatlah empat lima kali dibedilkan, maka dengan takdir Allah Taala kapal itu pun terbakar (meledak-pen), meletup beterbangan ke laut.

Geladak kapal itu ke udara dan segala orang-orangnya pun habislah mati terbakar oleh ubat bedil meletup itu. Syahadan adalah pada satu kaul orangnya ada delapan ratus yang mati (dan satu kaul pula lima ratus) dan satu komisarisnya (di dalamnya - Hakim agung Arnold Lemker-pen) yang mati bersama sama kapal itu. (Tuhfat Al Nafis, 1998: 250).

Cara penyajian peristiwa sejarah dengan mengutamakan cerita dan peristiwa itulah antara lain ciri khas sastera sejarah. Cerita yang tidak dibunuh oleh kumpulan kronik dan tarikh.

Peristiwa sejarah yang dihidupkan dengan dukungan tokoh tokoh pelakunya, meskipun hanya orang kecil, seperti Syahbandar Bopeng atau tukang kayuh sampan Encik Kalak. Heroisme yang tidak ditenggelamkan oleh hanya kehebatan pemimpin perangnya (YDM Raja Haji-pen ) atau para panglima dan hulubalangnya.

Hampir di semua bab dalam karya besar ini (seluruhnya ada 33 bab) peran tokoh nya didedahkan dan tidak hanya tokoh sentralnya yaitu Sultan (Yang Dipertuan Besar) atau Yang Dipertuan Muda (Wakil Sultan).

Juga kisah heroisme seorang Ratu Mas, isteri YDM Raja Haji, yang saat Raja Haji gugur dan jenazahnya dikuburkan di kaki benteng Belanda di Bukit Bendera, Melaka, Ratu Mas telah pergi untuk merampas jenazah itu, meskipun dia gagal karena makam itu dijaga pasukan Belanda.

Atau gambaran saat Raja Haji gugur di Teluk Ketapang, "Maka Yang Dipertuan Muda (Raja Haji) pun bangkit menghunus badiknya, sebelah tangan memegang Dala'il (al) Khayrat.

Maka dipeluk oleh beberapa orang, maka di dalam tengah (-tengah hal) yang demikian itu, maka Yang Dipertuan Muda Raja Haji pun kenalah peluru baris senapang. Maka baginda pun rebahlah, lalu mangkat syahidlah ia...." (ibid)

Dan masih banyak penggalan penggalan cerita yang dramatis, romantis, dan humoris yang dikisahkan dalam Tuhfat al Nafis ini. Misalnya cerita tentang bagaimana di tengah perang besar itu, saat malam hari, ketika perang istirahat, maka Raja Haji menyuruh balatenteranya bergembira. Berjamu makan minum dan menampilkan joget. Mereka menari dan bersuka ria, sebagai cara untuk mempertahankan dan membangkitkan semangat lasykarnya.

Demikianlah, peristiwa sejarah dalam Tuhfat Al Nafis telah dikisahkan dengan atau diceritakan dengan gaya pengucapan yang sasterawi. Indah, namun tidak kehilangan informasi kesejarahannya.

Dan buku ini telah ditutup dengan ngilu, ketika Raja Ali Haji menceritakan hari hari terakhir Sultan Riau, Mahmud Muzaffar Syah (1837-1864), yang wafat dalam nestapa di Pahang setelah berjuang habis habisan untuk merebut kembali tahtanya dari tangan Belanda.

"Syahdan inilah akhir kesudahan kitab Tuhfat Al Nafis ini. Maka tamatlah kisah cerita cerita antara raja-raja Melayu serta Bugis dari pada anak cucu opu yang lima beradik dengan anak cucu raja raja Melayu keturunan daripada almarhum Abdul Al Jalil yang mangkat di Kuala Pahang serta almarhum Raja Kecik negeri Siak..."

Tuhfat An Nafis (Anugerah Yang Berharga) ini berdasarkan catatan Virginia Matheson Hoocker memang ditulis oleh dua orang. Raja Haji Ahmad atau lebih dikenal sebagai Engku Haji Tua, ayah Raja Ali Haji dan Raja Ali Haji sendiri. Karenanya ada dua versi.

Versi pendek dan versi panjang. Versi pendek dikatakan ditulis oleh Raja Ahmad Haji Tua, ayah Raja Ali Haji. Sedangkan versi panjang ditulis Raja Ali Haji. Bedanya, versi panjang lebih lengkap, dan banyak mengutip ayat ayat suci al Quran yang menurut istilah Raja Ali Haji ada khutbahnya.

Versi panjang inipun ada yang disebut manuskrip A,B,C,D, dan E. Yang paling lengkap dan kemudian dikaji oleh Virginia Matheson Hoocker ini dan saya jadi bahan untuk essai ini, adalah manuskrip B atau dikenal sebagai manuskrip Maxwell.

Memang ada juga yang disebut Tuhfat Al Nafis versi Terengganu atau versi Melayu, tetapi manuskrip ini, seperti dicatat Aswandi Syahri, sejarawan Kepri dalam bukunya "Khazanah Manuskrip Riau Lingga Abad 19" hampir tak ada bedanya dengan versi Bugis atau versi Riau.

Tuhfat Al Nafis ini, menurut catatan Virginia Matheson Hoocker mula ditulis oleh Raja Ahmad Haji Tua, tahun 1866 dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya Raja Ali Haji.

Tuhfat Al Nafis versi panjang ini merupakan penyempurnaan dari versi pendek , dan dikatakan selesai ditulis oleh Raja Ali Haji tahun 1870, dua tahun sebelum beliau wafat. Raja Ali Haji lahir di Penyengat tahun 1809 diperkirakan wafat tahun 1872.

Sedangkan ayahnya Raja Ahmad lahir tahun 1778 masih hidup sampai tahun 1878. Belum ada catatan apakah menjelang akhir hayatnya Raja Ahmad masih menyempurnakan buku Tuhfat Al Nafis dengan tambahan informasi yang baru yang berkembang di kerajaan Riau selama 5 tahun setelah Raja Ali Haji wafat.

Sebagai salah satu karya agung, Tuhfat Al Nafis memang telah menjadi sumber penting untuk rujukan penulisan sejarah kawasan jazirah tanah Melayu ini, dan sebagai karya sastera sejarah, Tuhfat Al Nafis ini juga menjadi bahan kajian para pengkaji dan peminat sastera untuk bahan bandingan dengan karya sastera Raja Ali Haji yang lain, seperti Gurindam XIi (1847), Kitab Pengetahuan Bahasa ( Bustan Al Katibin - 1858), dan sejumlah syair yang lain.

Memang ada sejumlah catatan pinggir dari buku yang luar biasa ini. Baik dari persfektif sastera maupun sejarah. Kedua asfek ini di dalam Tuhfat Al Nafis takbisa dipisahkan. Sebagai karya yang kadar kesejarahannya begitu kuat, pembaca yang ktitis akan melihat karya ini terlihat terlalu Bugis sentris.
Pemberian porsi cerita dan sanjungan yang lebih berat ke trah bugisnya dan upu upu lima bersaudara, ketimbang trah Melayunya. Bahkan sosok Laksamana Hang Tuah yang legendaris itu pun dikatakan berdarah Bugis. Karena itu banyak pihak yang menduga Tuhfat Al Nafis versi Terengganu, sebagai versi Melayu, koreksi terhadap versi Bugis, meskipun berdasar beberapa kajian seperti telah dikemukan sebelumnya, hampir tak ada beda dengan versi Bugis .

Kemudian, ada jejak tokoh penting dan berperan besar dalam kehidupan YDM Raja Haji Fisabilillah dalam perjuangannya melawan Belanda, yaitu Ratu Mas, isteri Raja Haji yang berasal dari Jambi, ternyata nyaris tidak tercatat dalam buku ini. Setelah perang, jejaknya hilang. Kemana dia? Wafat di Riau atau kembali ke Jambi?

Padahal keturunan yang lahir dari perkawinan ini, adalah tokoh tokoh penting dalam sejarah kerajaan Melayu Riau (1722 -1913), seperti Raja Jaafar, YDM VI (1808-1831), Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua, ayah Raja Ali Haji, ulama dan penasehat kerajaan dan Raja Idris.

Demikian juga jejak hari hari terakhir Engku Puteri Raja Hamidah, salah satu anak Raja Haji Fisabilillah, ibunda saudara Raja Ali Haji sendiri. Tahun 1830, Ketika Raja Hamidah pergi ke Lingga menjenguk adiknya Raja Djaafar sakit berat, Tuhfat Al Nafis masih mencatat pertemuan bersejarah adik beradik berlainan ibu itu yang sedang berseteru.

Raja Djaafar wafat tahun 1831. Sementara Engku Puteri Raja Hamidah wafat tahun 1844. Ada jejak waktu Raja Hamidah selama 13 tahun itu, tapi seperti luput dari Tuhfat Al Nafis. Mengapa? Kepada siapa misalnya Engku Puteri mewariskan pulau Penyengat itu, karena dia tidak berketurunan. Meskipun ada hukum faraid berdasarkan hukum islam, tapi pewarisan pulau bersejarah itu, kini menuai sengketa.

Tuhfat Al Nafis juga tidak mendedahkan secara terang betapa perlawanan politik Raja Hamidah terhadap adiknya YDM Raja Djaafar dan juga kepada Belanda. Ada kesan Tuhfat al Nafis agak sungkan terhadap Belanda.

Tuhfat Al Nafis juga tidak mendedah secara terang tragedi tahun 1818, ketika kerajaan Riau jatuh dalam cengkraman Belanda melalui kekalahan diplomasi melawan Belanda, padahal sejak tahun 1795 kerajaan Riau adalah kerajaan merdeka. Tapi ketika Belanda datang tahun 1818 ke Riau, tidak sebutir peluru yang ditembakkan. Mengapa pihak Melayu menyingkir ke Singapura dan mendirikan kerajaan sendiri?

Catatan catatan pinggir ini memang lebih berkadar peristiwa sejarah dan bukan denyut dan geliat cerita sasteranya. Tapi sebuah sastera sejarah, sebagaimana novel sejarah, selalu berkelindan antara kedua aspek ini. Sejarah menjadi pentas cerita, sementara sastera menjadi alur cerita yang menjahit keindahannya sampai ke hati pembaca .

Menarik apa yang ditulis Virginia Matheson Hoocker pada bahagian akhir Kata Pengenalan (kata prngantar/pen) untuk buku Tuhfat Al Nafis yang dikaji dan dialih aksarakannya dari huruf arab melayu ke huruf latin : "..antara semua pengisahan sejarah yang terdahulu daripada Tuhfat Al Nafis, tidak ada satupun yang mempunyai persamaan dari segi ukuran, luasnya, atau susunannya. Konsepsi Tuhfat Al Nafis sebagai sebuah karya yang boleh menggabungkan cerita daripada pelbagai kumpulan dan berkembang luas merentasi ruang dan waktu masih tetap merupakan kejayaan Tuhfat Al Nafis yang luar biasa."

Menurut saya, sebagai karya sastera sejarah, Tuhfat Al Nafis memang belum ada tandingannya di kawasan rantau Melayu ini. Dan karya ini akan terus melintasi zaman sebagai karya Agung Dunia Melayu. *

Tanjungpinang, 10 November 2021

Esai ini sudah dimuat dalam buku "Dagang dan Meudagang : Buga Rampai Kritik SasSastra , Badan Bahasa, Kemendikbud, 2021".

Sumber Rujukan :

1. Tuhfat Al Nafis, Virginia Matheson Hocker (penyelenggara), DBP dan Yayasan Zjsryawan, Kuala Lumpur, 1998.

2. Manuskrip Kerajaan Riau Lingga, abad 18, Aswandi Syahri, Dinas Kebudayaan Kepri, 2019.

3. Mahmud Sang Pembangkang, Rida K Liamsi, 2016.
4. Hikayat Hang Tuah, manuskrip tertua, Muhammad Haji Salleh, makalah, 2021.

5. Kerajaan Johor 1619-1865, Mardiana Nordin, Yayasan Warisan Johor, 2008

Penulis adalah seorang budayawan Melayu. Kini menetap di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Dapat dihubungi melalui email : rliamsipku@gmail.com atau hp /wa : +628117001943.