Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengapresiasi Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional di Masa Pandemi Covid-19
Oleh : Opini
Senin | 13-12-2021 | 14:36 WIB
A-ILUSTRASI-SIKLUS-EKONOMI1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. (Foto: Ist)

Oleh Arief Ginanjar

MASYARAKAT mengapresiasi kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang saat ini terus dioptimalkan Pemerintah. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat segera dicapai.

Pemerintah sangat berkomitmen dalam menangani Covid-19 dari sisi kesehatan yang seimbang dengan pelaksanaan berbagai Program PEN. Hal ini berpengaruh terhadap permintaan domestik yang tercermmimn dari Konsumsi Rumah Tangga yang tumbuh 5,93% dan juga direspon dengan peningkatan kapasitas produksi yang tercermin dari pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB) yang tumbuh 7,54%.

Selain itu perbaikan permintaan global juga menjadi stimulus tambahan sehingga ekspor dan impor dapat tumbuh tinggi masing-masing sebesar 31,78% dan 31,22%. Momentum pemulihannya terlihat pada Triwulan II-2021, sejalan dengan pemulihan ekonomi global, di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 7,07%.

Persentase tersebut merupakan yang tertinggi sejak krisis sub-prime mortgage dan lebih tinggi daripada beberapa negara pers yang telah merilis angka pertumbuhannya, seperti Vietnam (6,6%) dan Korea Sealatan (5,9%).

Dalam rangka menjaga tren pemulihan ekonomi, Program PEN akan terus dan tetap menjadi instrumen utama penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi. Komitmen pemerintah ditunjukkan melalui recofusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan meningkatkan anggaran Program PEN 2021 hingga mencapai Rp 744,77.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pada tahun lalu, dunia mengalami kontraksi minus 3,2% dari sisi pertumbuhan ekonominya. Akibat Covid-19 yang kemudian disertai pembatasan mobilitas lalu menciptakan kemerosotan ekonomi.

Sri Mulyani juga mengatakan bahwa perdagangan internasional mengalami kemerosotan karena semua negara melakukan pembatasan dan bahkan lockdown. Pertumbuhan perdagangan dunia yang biasanya mencapai dua digit, tahun lalu mengalami kontraksi hingga minus 8,3 persen.

Tahun 2021 diharapkan akan terjadi rebound dan recovery, hal inilah yang diharapkan oleh Sri Mulyani. Meski demikian, Menkeu mengingatkan bahwa ini bukan merupakan jaminan.

Semua negara dengan berbagai upaya stimulus maupun countercyclical policy-nya akan dihadapkan pada ketidakpastian. Selain munculnya varian baru, juga efektivitas dari countercyclical policy-nya juga sangat ditentukan oleh bagaimana perekonomian negara tersebut.

Sri menjelaskan, pihaknya dalam mengelola perekonomian juga harus terus mengupayakan adanya pemulihan dan adanya rebound karena perekonomian bisa dan harus mulai kembali lagi bergerak. Ekonomi Indonesia dengan berbagai langkah yang dilakukan oleh pemerintah telah berhasil mencapai melebihi pre-crisis level.

Kalau sebelum Pandemi, GDP rill Indonesia pada kuartal kedua tahun 2019 adalah Rp. 2.735 triliun, sementara itu pada kuartal kedua tahun 2021 ini sudah mencapai Rp. 2773 triliun. Menkeu menyebut angka ini adalah angka yang lebih tinggi bahkan dari sebelum krisis.

Covid-19 telah membuat perekonomian Indonesia mengalami kemerosotan pada kuartal kedua tahun 2020 lalu, hingga GDP riil mengalami kontraksi dan nilainya menjadi Rp 2.590 triliun.

Menkeu menyebutkan langkah pemulihan semua hal yang bisa dicapai baik dalam penanganan Covid-19 maupun dari sisi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, tentu menjadi bekal ang baik untuk terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan kebijakan ke depan.

Ekonomi Indonesia pada semester I sudah masuk di dalam zona tren positif, sudah melewati masa resesi. Namun Menkeu mengingatkan bahwa ini masih sangat ditentukan oleh kemampuan Indonesia dalam mengendalikan Covid-19. Seperti yang terlihat munculnya varian baru bisa menyebabkan momentum pemulihan menjadi terdisrupsi.

Salah satu penggerak ekonomi nasional adalah konsumsi dalam negeri, semakin banyak konsumsi akan sangat terkait dengan daya beli masyarakat. Oleh sebab itu, Pemerintah telah mengalokasi anggaran Sebesar Rp 172,1 triliun untuk mendorong konsumsi/kemampuan daya beli masyarakat.

Dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi Nasional, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah, menurunkan suku bunga, melakukan pembelian Surat Berharga dan stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan. Penurunan suku bunga merupakan upaya Bank Indonesia (BI) dalam meningkatkan likuiditas keuangan untuk mendorong aktivitas dunia usaha.

Menurunnya kasus penularan Covid-19 tentu harus dimaksimalkan oleh pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian bangsa, harapannya daya beli masyarakat meningkat, terserapnya tenaga kerja dan tentunya mengurangi angka pengangguran.*

Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini Jakarta