Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ngilu Salju dalam Puisi Ratna Ayu Budhiarti
Oleh : Opini
Rabu | 08-12-2021 | 15:32 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI-SENYUM5.png Honda-Batam
Rida K Liamsi, adalah wartawan senior dan budayawan Kepri. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

BUKU kumpulan puisi penyair perempuan Ratna Ayu Budhiarti (RAB), 2019, "Sebelas Hari Istimewa", sungguh menarik untuk dibincangkan. Dari sekitar 70-an puisi hasil perjalanannya ke Eropa (Italia, Perancis, Belanda, Jerman, dan lainnya) saya menemukan satu puisi yang saya pikir paling kuat. Dan merupakan representasi dari puisi puisi perjalanannya yang istimewa itu.

Puisi yang menurut saya ditulis dengan renungan yang panjang, dengan serapan bathin yang dalam. Yang keluar dari ruang kontemplasi setelah pengembaraan yang penuh kerinduan itu.

Ini puisinya : "Setelah Empat Musim"

Mungkin aku hanya angin
yang dirindukan saat panas tiba
atau udara hangat di gigil musim dingin
dan secangkir coklat
yang kau cari di tepi dermaga

Di musim semi, bunga bunga
sebanyak apapun, bermekaran
kecuali hatiku,
yang kau curi pada malam purnama
dengan penyamaran seteguk kopi

Siapalah aku bagimu di musim gugur
selain jadi tanah
Tempat menampung keluh kesah
dan kecemasan daun daun
yang tanggal

Sebagai penyair RAB beruntung dapat melakukan dan menikmati perjalanan bersama tiga suasana bathin. Pertama, bersama kerinduan akan tanah leluhurnya, Belanda, tempat datuk, nenek dan kerabatnya bermukim (dia keturunan Belanda dari sebelah nenek).

Dia telah membawa kerinduan itu dengan menempuh perjalanan puluhan ribu kilometer melintasi langit tanpa batas, sambil membayangkan pendar mata para kerabatnya yang belum pernah ditemuinya, kecuali cerita ibu dan ayahnya. Peluk cium dan kerinduan zuriat campuran.

Kedua, dia berada di Paris pada hari valentine day. Tidak semua penyair mendapat kesempatan dan perjalanan bathin yang demikian itu. Berada di Paris, kota puisi, kota tempat orang jatuh cinta, menikmati rasa dan pesona cinta, tempat orang merasakan pedih dan luka karena putus cinta, di bawah bayang bayang dan kerlip lampu menara Eiffel.

Suasana bathin yang selalu menggoda : jatuh cinta di Paris, mengembara di kota kota dunia, dan mati di Bali (di sini katanya ada nirwana, hehehe sekedar tergoda dengan buku : Love, Eat and Pray).

Ketiga, salju Eropa yang percikan kristalnya di bangku bangku di taman taman asri di Eropa. Dimana sentuhan salju ini membangkitkan rasa dan resa inspiratif yang tak terpana bagi seorang penyair dibanding mimpi dan imajinasi dari kamar tidur di negeri khatulistiwa.

Ketika saya untuk kesekian kali membaca puisi "Setelah Empat Musim" dengan takzim, saya selalu membayang saya yang duduk sendiri di bangku sebuah taman. Mungkin di Wina, atau di kota lain di Eropa yang saljunya turun ketika musim dinginnya tiba, sambil menikmati butiran salju jatuh di rambut, di hidung, di hati. Saya merasakan butiran salju itu mengiris iris rasa rindu. Dingin dan ngilu. Sendiri dan terasing.

"Mungkin aku hanya angin yang dirindukan saat panas tiba. Atau udara hangat di gigil musim dingin. (Atau -pen) Dan secangkir coklat yang kau cari di tepi dermaga".

Larik larik ini menyisakan renungan tentang kesendirian, tentang tetesan butir salju yang membangun luka dan kerinduan, di sebuah negeri yang asing yang kita tak tahu akan kemana setelah itu. Selain sebuah dermaga yang tercuguk dalam kabut musim.

Lebih terasa luka dan ngilu musim itu pada bait bait terakhir puisi itu : siapalah aku bagimu di musim gugur, selain jadi tanah, tempat menampung keluh kesah dan kecemasan daun daun yang tanggal.

Saya merasakan betapa indah puisi itu ketika saya baca puisi itu sambil diiringi lagu, "Apalah Cinta" nya Ayu Tingting bersama rekannya penyanyi Turki itu (yang dalam tempo 2 minggu didengar lebih 5 juta orang di youtube ), sambil menyesap kopi Osing Banyuwangi kiriman penyair sufi Syamsuddin Adlawi.

Puisi "Setelah Empat Musim" itu, adalah puisi yang lahir dari ruang kontemplasi. Puisi yang baik dan indah memang harus lahir dari ruang kontemplasi atau dalam doktrin SCB, Presiden Penyair Indonesia, harus ditulis dengan sungguh sungguh, dengan segenap jiwa.

Memang, kalaupun ada kelemahan dalam kumpulan ini, lebih karena puisi puisi yang terkumpul dalam Dua Belas Hari Istimewa itu, kurang intens, kurang menukik kerinduannya ke dalam keindahan salju dan musim yang ada di sana, yang biasanya membangun imaji yang terasa dalam diksi diksinya.
Mungkin masalah waktu yang hanya dua belas hari dan dia harus berlari dari satu negeri ke negeri lainnya lagi, dalam deru kereta antar kota yang tanpa terasa ikut membunuh rasa, sementara endapan rindu belum sempat membatu ketika menjadi catatan panjang di sebuah buku.

Karena itu, menurut saya RAB harus menulis lagi sebuah buku puisi yang lain, yang merupakan hasil kontemplasinya yang lebih dalam, tentang perjalanan kerinduannya ke Eropa itu. Perjalanan yang didera rindu yang paling candu (diksi dan prasa ini dikutip dari salah satu puisi RAB dalam kumpulan ini : Rindu Masih Menderu.

Diksi dan prasa yang juga dipuji oleh Penyair Kurnia Effendi yang menulis kata pengantarnya). Kumpulan puisi hasil renungan yang lebih intens sehingga terasa betapa tanah leluhur itu menjadi ziarah bathin yang sebanding dengan perjalanan melintas langit yang ribuan kilometer itu. Puisi yang membangkit kegairahan cinta pada lenggang dan lenggoknya perahu gandola di kanal kanal Venesia.

Sonneta rindu yang mengungkapkan misteri valentine day dari kerlap kerlip menara eifel. Atau stanza salju di taman taman di Wina, di Roma, di butir butir krikil di Valendam. Atau di bangku bangku taman, ketika tiba tiba terasa ada luka yang berdarah, dan menetes menjadi diksi, menjadi prasa. Menjadi puisi. *

2019/2021

Essai sastera ini sudah dimuat sebagai salah satu essai dalam buku kumpulan essai kritik sastra jilid pertama, editor : Bambang Widiatmoko, 2021

Penulis adalah wartawan senior dan budayawan Kepri