Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Berterimakasihlah pada Sejarah
Oleh : Opini
Rabu | 01-12-2021 | 15:04 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI-SENYUM4.png Honda-Batam
Rida K Liamsi, wartawan senior dan budayawan Kepri. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

ADA aporismus tua yang mengatakan : Bangsa yang tidak pandai berterima kasih pada sejarah cepat atau lambat akan punah. Kalau ingin menghancurkan sebuah bangsa, hancurkanlah sejarahnya. Karena itu jangan biarkan anak cucu kita tuna sejarah, buta sejarah, buta asal usul. Kealpaan kita, akan membuat kita menjadi bahagian dari proses kehancuran sebuah bangsa.

Karena itu keberadaan sebuah lembaga atau organisasi sosial yang berlatar belakang sejarah, seperti Keberadaan Perhimpunan Agung Zuriat dan Kerabat Kesultanan Riau Lingga (PAZKKRL) yang sudah ujud sejak 10 tahun lalu, serta semangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam prosesi penabalan para pentadbirnya ini, adalah bahagian dari cara kita berterima kasih pada sejarah, sejarah kesultanan Riau Lingga yang jatuh bangun selama hampir 200 tahun (1722-1912).

Andaikata tak ada kesultanan Riau Lingga, belum tentu ada yang namanya Kepulauan Riau. Belum tentu ada Batam, belum tentu ada Lingga, belum tentu ada Penyengat, Tanjungpinang dan lainnya. Sebuah methahistoria, dan methahistoria adalah sisi penting dari proses kita memahami dan membangun kesadaran sejarah.

Kesultanan Riau Lingga ini adalah bahagian dari sejarah Indonesia. Dan sejarahnya itu bukan cuma Lingga, bukan cuma Penyengat, tapi sejarah sebuah kesultanan yang membentang dari Pulau Alang Tiga di selatan sampai ke Pulau Tujuh di utara. Merentang dari Tambelan di barat sampai ke Tanjungbatu di timur. Inilah wilayah kesultanan yang paling luas yang pernah ada di Indonesia, meskipun 96 persen adalah laut.

Karena itu, salah satu tugas terpenting lembaga sosial yang berbasis sejarah dan budaya, seperti Perhimpunan Agung Zuriat dan Kerabat Kesultanan Riau Lingga (PAZKKRL) ini adalah menjaga, merawat, melestarikan dan memberi makna baru semua warisan sejarah yang ada.

Adat istiadat, tradisi keilmuan, sistim sosial, etika serta nilai nilai budaya yang diwariskannya. Menyimpan dan merawatnya dalam sebuah perbendaraan besar budaya Melayu. Sebuah Muzeum ilmu dan dan khazanah literasi yang sampai kapan pun akan terus menyumbang sesuatu bagi kebesaran bangsa ini, terutama rumpun bangsa Melayu.

Bangsa Melayu yang ujud di wilayah yang dahulu menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Riau Lingga ini, lahir dari persebatian Melayu Bugis. Banyak pelajaran dan warisan nilai budaya yang terpatri dalam khazanah sejarah kesultanan Riau lingga ini, antara lain sikap bertolak angsur. Toleransi. Tak ada satupun sengketa antara pihak Melayu dan Bugis yang jumlahnya cukup banyak dan terjadi berkali kali itu, yang tak bisa diselesaikan, termasuk diselesaikan di ranjang pengantin.

Salah satu kisah sengketa Melayu Bugis, yang terkenal adalah sengketa antara Yang Dipertuan Besar Mahmud Muzaffar Syah dengan Yang Dipertuan Muda, Raja Abdul Rahman.

Sangking marahnya YDM Raja Abdul Rahman, YDM ke 8, karena tindakan kasar Mahmud Muzaffar Syah, maka Raja Abdul Rahman dengan bantuan Belanda, mengirim kapal perangnya ke lingga. Di kuala Sungai Daik, moncong meriam kapal perang itu siap memuntahkan peluru, tinggal menunggu perintah YDM.

Tapi tak sebutir pelurupun yang ditembakkan. Sultan muda yang degil itu, atas nasehat ibunya, pergi menyongsong YDM ke pelabuhan. "Ayahanda, maafkan kelakuan ananda..." kata Mahmud sang pembangkang sambil memeluk YDM.

Mereka berangkulan dan saling tangis menangis. Saling meminta maaf dan kemudian berdamai. Lalu mengikrarkan lagi sumpah setia Melayu Bugis. Dan kemudian Mahmud dinikahkan dengan Raja Mai, anak YDM Abdul Rahman. Begitulah, nikahul siasah dan ranjang pengantin melayu bugis selalu jadi cara menyelesaian konflik politik.

Doktrinnya : Yang muda mengalah, yang tua memaafkan, lalu persatukan darah dan keturunan. Persebatian Melayu Bugis adalah contoh proses akulturasi budaya yang mampu melintasi zaman. Berabad abad. Jatuh bangun. Babak belur, tetapi tegak dan berjalan ke depan.

Demikian juga dengan nilai budaya dalam sistim pembagian kekuasaan, kekerabatan, fatsun politik bernegeri, yang hanya berpegang pada janji dan sumpah setia. Mana ada negeri yang bisa bertahan 200 tahun dengan hanya berpegang pada kata kata.

Prasasti politik bernegeri yang tak ada di dunia lain, yang tidak tertulis, kecuali hanya Kinja dan Arok yang Dipetuan Muda pada YDB : Apa yang melintang di depan Baginda, hamba bujurkan. Apa yang semak di mata Baginda, hamba cucikan. Jadilah kita ibarat mata kiri dan mata kanan. Ibarat suami isteri.

Kalau digali lebih dalam kita memang akan bertemu dengan empu budaya yang jadi penentu persebatian dan perekat rumpun Melayu Bugis yang jejak dan kiprah persebatiannya ini jadi model dan tradi dan kemudian eksis dimana mana dan dalam bidang apa saja. Jatuh bangun, dan terkadang riuh rendah.

Tapi tak sebilah badik pun yang pernah dicabut dan ditikam pihak Bugis ke dada pihak Melayu. Tak ada pembunuhan politik yang dilakukan secara terang terangan. Itu fatsun politik : Pantang Melayu mendurhaka.

Ada ungkapan indah Dr Mukhlis Paeni, pakar sejarah Melayu Bugis tentang fenomena ini, yang dikenal sebagai salah satu fenomena Melayu Baru. Sebuah kaum, hasil perbauran antara kecerdasan Melayu dengan heroisme Bugis dan dikebat oleh loyalitas suku Laut.

Dengan Islam sebagai kekuatan acuan moral dan etika hidup. Inilah yang kemudian melahirkan orang Melayu Baru atau para Perdaengan baru yang mewarnai kultur Rumpun Melayu baru di rantau ini.

Bangsa Melayu baru ini bangsa yang tangguh dan sukses. Tahan banting dan memiliki semangat entrepreneurship yang tinggi. Lihatlah Melayu Malaysia kini. Melayu Brunai kini. Melayu Singapura kini.

Melayu Indonesia kini. Kita adalah rumpun bangsa yang beruntung. Karena itu berterimajasihlah kepada sejarah, sejarah kesultanan Riau Lingga ini. Sejarah persebatian Melayu Bugis ini.

Dan kesultanan Riau Lingga pula, harus berterima kasih pada perjalanan takdir lima bersaudara bangsawan melayu (Tun Abbas, Tengku Sulaiman, Tengku Tengah, Tengku Mandak dan Tengku Kamariah), dan lima bersaudara bangsawan bugis (Daeng Perani, Daeng Manambun, Daeng Marewa, Daeng Celak dan Daeng Kumasi), yang meletakkan dasar persebatian ini.

Jika tak ada selak bidai dan lepak subang, Tun Irang, takkan Daeng Marewa berkinja di Ulu Riau, satu hari, 300 tahun lalu. Itu sejarah. Bukan legenda, bukan mitos. Bukan menegakkan benang basah.

Untuk itu, belajarlah dari sejarah bagaimana menjadi pemimpin yang amanah dan membawa berkah. Salah satu Guru sejarah tang patut diikut itu adalah Gurindam XII. Empu karya bangsa Melayu, karya pahlawan nasional Raja Ali Haji, yang sudah melintasi zaman. Nilai moral dan etika hidup yang tak lekang oleh zaman. *

Penulis adalah wartawan senior dan budayawan Kepri