Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Banyak Penyalagunaan, DPD RI Minta Serikat Buruh Tidak Berpolitik Praktis
Oleh : Irawan
Selasa | 23-11-2021 | 08:52 WIB
hasan_basri_b13.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Anggota Komite III DPD RI Hasan Basri (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Bali - Komite III DPD RI menggelar Kegiatan Kunjungan Kerja melalui Focus Group Discussion (FGD) di Bali dalam Rangka Inventarisasi Materi Pengawasan DPD RI atas Pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja.

Kunjungan Kerja tersebut dihadiri oleh Pimpinan dan Anggota Komite III DPD RI, Wakil Gubernur Provinsi Bali, Kepala Dinas Ketenagakerjaan Prov. Bali, Perwakilan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Perwakilan APINDO, Akademisi, dan pihak-pihak terkait, (22/11/2021).

Selama hampir dua puluh tahun pengundangan UU Serikat Buruh/Pekerja. Keberlakuan UU tersebut masih mendapatkan banyak kekurangan.

Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil RDPU antara Komite III DPD RI dengan LBH Jakarta dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pada Senin, 8 November 2021.

Hasil RDPU tersebut terkemuka 3 isu menarik yaitu (1) pengawasan oleh Kementerian dan Dinas Tenaga Kerja untuk perlindungan hak serikat bagi pekerja sangat lemah; (2) tidak adanya lanjutan dari hasil laporan tindak pidana perburuhan kepada kepolisian perihal perlindungan hak berserikat; dan (3) adanya pembatasan jumlah serikat buruh/pekerja dalam satu perusahaan untuk meminimalisasi konflik.

Menanggapi isu tersebut, dalam pemaparannya Kepala Dinas Ketenagakerjaan Prov. Bali Ida Bagus Ngurah Arda, menyampaikan tahun 2021 Provinsi Bali, memiliki jumlah perusahaan yang telah terdata sebanyak 10.945, 210 jumlah SP/SB dan jumlah pengangguran sebanyak 37.500 orang.

"Mmelalui kesempatan ini kami akan melaporkan beberapa kendala atas pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2020. Salah satunya adalah lemahnya pembentukan SP/SB yang diakomodir dalam Pasal 28 UU No. 21 Tahun 2000 dan banyaknya jumlah pelanggaran perburuhan yang belum terselesaikan," ujar Ida Bagus Ngurah Arda melalui pemaparannya.

"Dengan banyaknya laporan yang kami terima, kami meminta kepada Pemerintah melalui Komite III DPD RI untuk melakukan revisi terhadap UU ini dengan mewajibkan perusahaan untuk membentuk serikat buruh. Tujuannya tak lain ialah untuk menjamin kesejahteraan buruh," lanjut Ida Bagus

Dalam kesempatan yang sama, Senator asal Kalimantan Utara, Hasan Basri menyampaikan jika dalam pembentukannya serikat buruh melalui revisi UU No. 21 Tahun 2000, pengurus serikat buruh agar tidak memolitisasi organisasi dalam politik praktis.

Hasan Basri menilai langkah pengurus serikat buruh yang menjadikan organisasi buruh sebagai underbow partai politik tertentu akan merugikan perjuangan buruh.

Menurut Hasan Bari, buruh berhak berserikat. Namun, organisasi buruh tersebut kemudian tidak boleh digunakan untuk berpolitik praktis, apalagi menjadi bagian dari partai politik.

"Dalam rangka membangun sistem ketenagakerjaan nasional, pekerja harus dikembalikan kepada khittahnya sebagai bagian dari pembangunan sosio ekonomi bangsa Indonesia. Jadi seluruh pekerja merupakan bentuk investasi sumber daya manusia nasional," kata Hasan Basri.

Anggota Komite III DPD RI Hasan Basri, memberikan rekomendasi agar pengurus serikat buruh nantinya tidak menyeret lembaganya ke partai-partai politik.

"Kami tidak membatasi hak asasi politik kaum buruh. Yang kami tidak inginkan adalah institusi serikat buruh menjadi alat politik praktis. Kasihan buruh yang menjadi anggotanya nanti. Sebaiknya bebaskan saja para buruh menentukan pilihan politiknya tanpa membawa organisasi serikat buruh," tegas Hasan Basri.

Lebih lanjut terkait dengan banyaknya kasus tindak pidana perburuhan yang terjadi di Indonesia termasuk di Bali. Hasan Basri menyampaikan setidaknya terdapat 46 (empat puluh enam) jenis tindak pidana perburuhan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Menurut HB, sangat disayangkan dalam prakteknya jarang sekali mekanisme pidana dalam peraturan perundang-undangan digunakan oleh aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan norma yang ada tersebut.

"Meski sudah ada norma aturannya, sayangnya hukum pidana perburuhan dalam praktiknya jarang sekali ditegakkan. Akibatnya, hukum ketenagakerjaan kerap dilanggar terus menerus oleh perusahaan, karena ketiadaan penegakan hukum yang tegas. Kita ambil contoh Tahun 2020 sampai saat ini setidaknya tercatat 21 ribu pelanggaran norma ketenagakerjaan yang belum terselesaikan," ujar Hasan Basri

"Ini menunjukkan banyaknya laporan dan pengaduan tindak pidana ketenagakerjaan yang diajukan oleh pekerja/buruh ke lembaga Kepolisian, namun tidak dapat ditindaklanjuti dengan berbagai alasan seperti ketidakmengertian aparat penegak hukum atas hukum pidana ketenagakerjaan, ketiadaan penyidik khusus, dan lain sebagainya," lanjut Hasan Basri.

Lebih lanjut Anggota Komite III DPD RI menyampaikan ketika para buruh melakukan advokasi dan aksi massa untuk mendapatkan hak-haknya, justru mereka seringkali 'dikriminalisasi'.

"Hal ini yang membuat penegakan hukum justru bersifat parsial alias berat sebelah dan pandang bulu, tidak imparsial. Pada akhirnya, praktik penegakan hukum yang parsial ini adalah pelanggaran nyata terhadap cita-cita Pancasila dan UUD NRI 1945 yang hendak mewujudkan keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," tandasnya.

Menanggapi banyaknya aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat, Hasan Basri akan meminta kepada Kementerian terait dan aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dan mengusut tuntas seluruh pengaduan dugaan tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran hak buruh yang dilakukan oleh pengusaha/perusahaan.

"Dengan adanya penegakan hukum pidana perburuhan, maka hak-hak pekerja akan semakin terlindungi dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagai cita-cita utama keberadaan Republik Indonesia dapat terwujud," tutupnya.

Editor: Surya