Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sejarah Melayu sebagai Sumber Karya Kreatif
Oleh : Opini
Rabu | 17-11-2021 | 14:52 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI-SENYUM2.png Honda-Batam
Rida K Liamsi, wartawan senior dan budayawan Kepri. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

KEMAHARAJAAN Melayu yang jatuh bangun di kawasan jazirah tanah Melayu, sejak zaman Bentan (abad XII) sampai dengan masa Kerajaan Siak (abad 20), adalah jejak sejarah yang panjang. Sejarah politik, sosial budaya dan juga ekonomi.

Dan seperti jejak sejarah dan peradaban yang ada di negeri lain, Kemaharajan Melayu telah menyisakan warisan sejarah dan catatan yang sangat kaya dan penuh dinamika.

 

Termasuk sisi romantisme, drama dan tragedi, yang sangat elok untuk di eksplore sebagai bahan karya-karya kreatif, terutama sastera. Karya-karya sastera berbagai genre, terutama novel novel yang berlatar sejarah.

Sastera sejarah sebagai karya fiksi senantiasa hidup dan memberi ruang untuk meneroka jejak dan perjalanan sejarah, untuk ditelaah dan dipelajari, serta dipetik pelajaran yang berharga.

Sesungguhnya, seperti kata para cerdik pandai, sejarah adalah guru yang paling bijak untuk tempat belajar. Belajar tentang makna kehidupan dalam berbagai ragamnya, sementara sastera adalah karya yang dapat dengan mudah sampai ke ranjang tidur.

Sudah sejak lama sastera berperan sebagai jembatan perustiwa sejarah ke ranah sastera. Seperti hikayat, syair, pantun, dan berbagai bentuk karya kreatif lainnya. Karya-karya fiksi, namun berlatar sejarah.

Buku "Sejarah Melayu (Salalatus Salatin)" karya Tun Seri Lanang, 1612, merupakan salah satu karya teks sastera klasik yang berlatar sejarah rantau Melayu ini, yang paling awal dan banyak memberi inspirasi bagi para penulis untuk menggali berbagai catatan dan cerita yang ada di dalamnya untuk menjadi karya-karya baru.

Dengan menyanding dan melengkapinya dengan berbagai catatan lain tentang eksistensi kemaharajaan Melayu yang pernah mencapai puncak kebesarannya di zaman Melaka (1344-1528), dan kerajaan kerajaan yang lain sebagai penerusnya (Johor, Riau, Pahang, Terengganu, Siak, dan lainnya), meskipun SM ini tidak mencerirakan seluruh kisah perjalanan kemaharajaan ini dan penerusnya, karena SM hanya bercerita sampai tahun 1612.

Cerita dan peristiwa yang didedahkan SM, memang berakhir pada priode pemerintahan Sultan Abdullah Muayatsyah (marhum Tembelan), di masa akhir pengabdian Tun Seri Lanang sebagai Bendahara Seri Maharaja kerajan Johor, yang wafat dalam pengasingannnya di Simalanga, Aceh, sebagai tawanan.

SM ini menjadi semacam buku induk (babon) tentang sejarah kemaharajaan Melayu, yang dimulai dari era Bukit Siguntang sampai ke era Johor. Buku ini sudah mendedahkan sebahagian besar perjalanan sejarah bangsa Melayu, sebagai sebuah bangsa, suatu kaum, yang berhasil membangun sebuah tamaddun besar di dunia, dan jejaknya bisa terlihat dan terasa di berbagai belahan dunia. Dunia Melayu, Dunia Islam.

Sejarah Melayu (SM) memang karya sastera dan bukan buku sejarah. Namun saat ini banyak sejarawan yang sudah menerima karya sastera klassik seperti Sejarah Melayu, Tuhfat Al Nafis, dan lain-lain, sebagai sumber sejarah secunder.
Karena itu, karya karya sastera yang lahir dari proses eksplorasi ide dan inspirasi dari karya karya sastera klassik ini, dapat menjadi cara untuk melakukan rekonstruksi ulang peristiwa sejarah yang sesungguhnya dengan melakukan berbagai penelitian silang dari dekumen-dekumen sejarah yang lebih akhir, sehingga karya yang lahir kemudian menjadi lebih mendekati fakta sejarah yang sebenarnya, meskipun disajikan dalam karya fiksi.

Karya karya ini menjadi dalah satu cara untuk mereduksi percampuran fakta, mitos atau legenda dan cerita rakyat lainnya yang ada dalam karya karya klassik itu, menjadi fakta yang lebih muthahir dan bisa dirujukkan sebagai jejak sejarah yang labih mendekati kebenarannya.

Novel-novel sejarah mutahir sudah banyak mencantumkan daftar kepustakaannya untuk menunjukan sumber dan referensi yang dipakai untuk menulis karya sastera itu, dan bahkan ada yang menyertakan rajah (silsilah) dan dekumen kesejarahan lainnya, termasuk fotofoto, untuk menunjukkan bahwa novel sejarah itu bukan semata mata rekacerita pengarangnya.

Narrative History atau Cerita sejarah, kini menjadi karya yang dapat mengantar berbagai peristiwa dan catatan sejarah yang selama ini gelap, menjadi lebih terang , lebih logis, dan memiliki benang merah dengan berbagai buku sejarah (non fiksi) yang sudah terbit dan beredar.

Sebuah karya sastera klasik seprerti SM, Tuhfat Ap Nafis, dll, yang tarikh sejarahnya di dalamnya banyak bersandar pada tahun Hijriah, dan bahkan masih dalam "konon kabar" nya itu, dapat direka dan direkonstruksi ulang, melalui berbagai rujukan dan bantuan tehnolgi informasi dan digitalisasi untuk mendapatkan kebaruan faktanya, dan hasilnya inilah yang kemudian dipakai sebagai sandaran karya sastera.

Sehingga sebuah novel sejarah sudah seakan akan sudah menjadi sebuah karya sejarah. Sebuah perbancuhan cara penulisan antara karya fiksi dan non fiksi.

Sebagai sumber dan sumur inspirasi, SM penuh dengan berbagai peristiwa yang menarik untuk dijadikan bahan untuk untuk karya fiksi sejarah. Ini yang disebut Sasterawan Hasan Junus (alm) sebagai "bermain dengan bahan". Cebisa cenisan informasi, potongan potongan peristiwa, yang bisa direkontruksi ulang dalam sebuah cerita sejarah, menjadi bahan yang bersumber dari karya klassik ini.

Seperti kisah Mahmud Syah Melaka, sultan terakhir Melaka, yang dalam petualangan cinta telah menyisakan romantisme dan juga tragedi sejarah yang penuh luka, dan sejumlah pengarang telah mengangkat kisah tokoh antagonis ini ke dalam cerita atau novelnya. Seperti yang dilakukan Faisal Tehrani, novelis Malaysia, dengan novel "1512", atau Reza Fahlefi dengan novel "Batin Hitam" nya, dan lain sebagainya.

Bahkan, bahagian dari kisah Hang Tuah dalam pengabdiannya sebagai Laksamana Melaka, telah dijadikan hikayat, yaitu "Hikayat Hang Tuah" meskipun penulisnya anonim, tapi melihat tahun hikayat itu ditulis, terbukti karya klasik itu lahir jauh sesudah SM terbit dan selesai ditulis.

Dengan latar belakang politik dan cinta, SM ternyata sangat kaya akan sumber atau bahan untuk diangkat menjadi novel atau genre sastera lain. Selain Kisah Mahmud dan Hang Tuah, masih banyak sisi dramatis dan tragis yang bisa diangkat.

Misalnya kisah cinta Sultan Johor Muzaffarsyah, sultan Johor kedua, dengan anak Sri Nara Diraja , seorang pembesar Pahang, yang menyisakan kisah konflik politik dan penjungkirbalikan tradisi berpemerintahan di keraajan Johor penerus tradisi Melaka.

Konflik politik dengan adiknya Raja Fatimah yang menikah dengan dengan Raja Umar, Pahang, dan membuat dinasti Mahmud Syah, terpelanting dari tahta kerajan Johor, berpuluh puluh tahun, sebelum Sultan Abdullah Muayatsyah bisa naik tahta. Sebelum tragedi pembunuhan politik di Kota Tinggi, Johor, terhadap Mahmudsyah II (Marhum mangkat dijulang).

Agak lebih awal, misalnya ada kisah cinta Sultan Mansyur Syah dengan Puteri Betara Majahapit, yang mengungkapkan strategi Melaka untuk menaklukjaj Majapahit, atau sebaliknyamelalui ranjang pengantin.

Ini misalnya yang melahirkan pantun Melayu yang sampirannya sangat terkenal dan bernilai historis: Kalau roboh kota Melaka// Papan di Jawa kami tegakkan// yang katar belakangnta adalah Cerita tentang Mansyur Syah dan Puteri Majapahit itu, memiliki seorang anak lelaki, dan menjadi calon pengganti Mansyur Syah , karena putera sulungnya Raja Muhammad telah dihukum dan dibuang ke Pahang, karena membunuh anak Bendahara Tun Perak.

Tapi, putera berdarah Mojopahit ini, yang bergelar Raja Klang itu, mati dibunuh "orang gila". Pembunuhan politik agar tak ada jejak Mojopahit di Melaka, dan cukuplah cuma Patih Karmawijaya.

Juga akan sangat menarik kalau terus disusur sampai ke masa awal Melaka, bagaimana seorang putera mahkota berdarah Rokan (Sumatera), bisa menaiki tahta Melaka, meskipun kemudian disingkirkan.

Juga tentang seorang bangsawan Keling, Muni Purindam, yang bisa menjadi Bendahara Melaka setelah menikahi puteri Sultan Melaka, dan kemudian membangun dinasti Bendahara di tanah Melayu, termasuklah Tun Seri Lang, penulis SM.

Keturunan Keling ini telah menjadi penguasa di Melaka, Johor, Riau dan kerajaan penerusnya, yang pada akhirnya duduk di tahta kerajaan Melayu, dan bukan hanya sekedar Bendahara, seperti yang terjadi di kerajaan
Johor dengan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah .

Ranjang pengantin dalam SM merupakan sumur inspirasi yang tidak kering-keringnya, bahkan sampai ke era awal kerajaan Bentan. Kisah Laksamna Bentan, yang dieksplorasi dengan bagusnya oleh Hasan Junus (alm) dalam novel "Burung Tiung Seri Gading"-nya, juga sebuah bukti bagaimana karya klasik dan manuskrip lama dapat menjadi sumber karya sastra kreatif yang dapat menjadi petunjuk dan sandaran sejarah di masa kini. Seperti juga tentang Nara Singa, pahlawan Inderagiri, bagaimana dia memainkan peran sejarahnya di jazirah Melayu.

Sejarah Melayu, dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya nama karya Tun Seri Lanang, terjemahan dari Salalatus Salatin, tetapi juga pengertian semua peristiwa sejarah yang ada di kawasan dunia Melayu ini, yang sudah tercatat dan menjadi karya-karya, baik buku sejarah, maupun sastera.

Banyak yang karya itu kemudian menjadi sumber rujukan bagi karya-karya yang baru. Seperti Hikayat Hang Tuah, Tuhfat Al Nafis, baik versi Penyengat maupun versi Terengganu. Kemudian Hikayat Siak, Hikayat Abdullah, Syair Sultan Mahmud (Mahmud Muzaffar syah), dan lainnya.

Jika semua karya-karya sastera itu disatukan, disanding dan dibandingkan, maka akan ada mata rantai sejarah kemaharaajaan Melayu yang panjang, dan dapat dikutip dan dikumpulkan dalam sebuah karya sejarah atau sastera yang lebih moderen, seperti yang dilakukan Ahmad Dahlan Phd, dengan buku sejarahnya "Sejarah Melayu", yang coba mendedahkan tentang dunia Melayu secara lebih luas dengan berbagai ragam dan peristiwa politik, ekonomi, dan sosial.

Juga buku karya sejarawan Timothy P Bernad, Pusat Kerajaan ganda, yang digali dan dikembangkan dari Hikayat Siak dan lainnya. Bukubuku ini menjadi sumber rujukan yang mutakhir di Indonesia setidaknya.

Di Malaysia, dikabarkan, telah dilakukan berbagai upaya memperkaya khazanah kesusasteraan dan kesejarahan, dengan bahan bahan awal ini, dengan ditemukan berbagai catatan dan dekumen kesejarahan yang baru.

Kerja transliterasi (alih aksara) karya-karya atau manuskript yang masih tersimpan dan belum disentuh, menjadi sumber pengetahuan yang lebih luas tentang dunia Melayu dan tamaddunya.

Jejak dan peristiwa sejarahnya. Perlu dorongan kuat agar bahan-bahan dan catatan yang masih ada itu segera di-alih-aksarakan dari huruf Arab Melayu ke huruf latin, agar segera bisa dimanfaatkan sebagai sumber kepustakaan.

Banyak Kerja penerjemahan, atau alih aksara yang patut diberi penghargan dan rasa hormat, karena telah membawa dunia melayu ke dunia internasional. Seperti kerja menerjemahkan Hikayat Hang Tuah dari bahasa Melayu ke bahasa Inggeris yang dilakukan oleh Prof Mohd Haji Salleh (Malaysia), dan juga sejumlah pakar lainnya, dengan karya-karya klasik yang lain.

Juga kerja keras Yayasan Karyawan, Malaysia, yang mencetak ulang buku Sejarah Melayu, Tuhfat Al Nafis, Hikayat Hang Tuah, Bustanul Khatibin, dll, yang sudah dialih aksarakan, ke dalam buku buku baru yang kwalitas cetak dan kertas yang bagus dan bermutu, serta tahan berpuluh puluh tahun. Selain itu, tentu saja kerja digitalisasi naskah naskah dan manuskript yang ada.

Wajah Melayu, jejak Tamaddun nya, memang masih banyak tersimpan dalam manuskrip manuskript lama, yang masih berserakan, atau disimpan berbagai pihak, termasuk zuriat dan ahli waris para penguasa kerajaan kerajaan Melayu dahulu di kawasan ini.

Di Lingga, saja musaonya masih dekitar 1000 lebih manuskript yang tersimpan dan belum disentuh. Belum lagi di Penyengat, Bintan, Natuna dan Anambas, Bengkalis, dll, selain yang sudah ada di perpustakaan nasional Jakarta, di Perpustakan nasional Malaysia, dan juga yang ada di Belanda (Leiden) dan Inggeris, dan lain sebagainya.

Semuanya itu menunjukkan betapa Melayu itu sebuah bangsa yang besar, bertamadun tinggi, dan mewariskan dan menyumbangkan sumber sumber ilmu pengatahuan yang banyak dan beragam. Hanya bangsa yang besar, kaya, yang bisa mewariskan tamadun yang besar. Dan Bangsa Melayu, salah satu nya.

Memang, proses latinisasi semua naskah arab melayu, latinisasi bahasa Melayu, menyebabkan bangsa Melayu seakan tercerabut dari akar budayanya. Tapi sisi positifnya, proses latinisasi, baik yang dilakukan pihak Belanda, selain untuk kepentingan mengekalkan dan memperkukuh kekuasaan penjajahan mereka di Indonesia, atau kepentingan Inggeris di Semenanjung, tetapi proses latinisasi itu pulalah, juga memberi peluang bangsa Melayu menjadi lebih cepat dikenal dan menjadi warga literasi dunia.

Warisan Melayu bisa dibaca, bisa dipelajari, bisa ditelusuri, dan dapat memberi tahu dunia, bahwa inilah sebuah bangsa besar yang juga ikut menentukan penjalanan budaya dunia sampai hari ini, seperti dengan Kanun Melaka dalam bidang kemaritiman. Atau seperti kisah Awang alias Ernrico, seorang Melayu yang ternyata lebih awal mengelilingi dunia, di banding tokoh pengembara Eropa yang lain.

Cogan kata Takkan Melayu Hilang di Dunia, kini memang diperdebatkan lagi, apakah itu memang kata-kata sakti yang ditinggalkan Hang Tuah, sang Laksamana Melaka itu atau orang lain. Walahu alam bissawab. Tapi fengan cigan itu, Bangsa Melayu memang sudah mengibarkan bendera kebesarannya di seluruh dunia.

Membuktikan dia ada, dan menyumbang sesuatu bagi dunia itu. Bahasa, budaya, dan juga etika hidup yang patut dan berharga. Dan Hang Tuah itu memang sudah berlayar sampai ke Jepang, ke Parsi, pusat pusat budaya dunia. Disana dia juga, meninggalkan jejak sejarah dan juga bahasa Melayu, meski hanya sepatah dua patah kata.*

2020 / 2021

Essai ini betadal dari pokok pokoj pikiran saya yang pernah saya sampai tahun 2020 di Pekanbaru, Riau, dalam sebuah seminar tentang sastera sejarah yang ditaja Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, Kota Pekanbaru.

Penulis adalah wartawan senior dan budayawan Kepri