Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tanggal 17 Oktober, Mengenang Prajurit Marinir Harun Thohir yang Digantung di Singapura
Oleh : Redaksi
Senin | 18-10-2021 | 14:36 WIB
A-BANDARA-HARUN-BAWEAN.jpg Honda-Batam
Batu prasasti Bandara Harun Thohir di Bawean Jawa Timur. (Foto: Ist)

TANGGAL 17 Oktober 1968, Kopral Anumerta Harun Said atau dikenal dengan nama Harun Thohir, bersama dengan rekannya sesama marinir (TNI AL), Usman Janatin, dieksekusi hukuman gantung di penjara Changi, Singapura.

17 Oktober 2021, sejenak kita menyisihkan waktu untuk berdoa bagi pahlawan nasional asal Pulau Bawean ini. Keberaniannya telah membangun martabat Indonesia saat konfrontasi dengan Malaysia. Di Pulau Bawean nama ini selalu dikenang, karena setiap mendarat dengan pesawat maka Bandara Harun Thohir menjadi gerbang kedatangan.

 

Versi Singapura mengungkapkan pada 20 Oktober 1965, Usman dan Harun divonis bersalah atas kasus pengeboman McDonald House yang menyebabkan tiga orang tewas. Kasasi mereka ditolak Pengadilan Federal Malaysia pada 5 Oktober 1966.

Kala itu Presiden Soeharto meminta secara terbuka kepada Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman dari vonis hukuman mati kepada dua anggota KKO tersebut, tetapi ditolak. Keduanya kemudian dieksekusi gantung.

Banyak warga Indonesia memberikan penghormatan terakhir kepada kedua almarhum di Kedutaan Besar Indonesia. Siangnya, kedua jenazah dibawa dengan pesawat khusus yang dikirim dari Jakarta. Presiden Soeharto memberikan penghargaan sebagai pahlawan nasional lewat SK Presiden No.050/TK/Tahun 1968.

Keduanya dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 20 Oktober 1968 . Arsip beberapa koran menyebutkan hampir satu juta orang mengiringi jenazah mereka dari Kemayoran, Markas Hankam hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Tentu versi Indonesia menghormati keduanya sebagai pahlawan nasional karena keduanya gugur menunaikan tugas negara. Keduanya, bersama Gani bin Arup, mendapat tugas untuk menyusup dan menciptakan kekacauan di negeri seberang. Tugas ini diberikan saat Konfrontasi dengan Malaysia masih panas-panasnya.

Prajurit Korps Komando Operasi (KKO), sebutan untuk pasukan marinir di zaman Presiden Soekarno, masuk Singapura dengan menyamar. Tugas mereka melakukan pengeboman fasilitas di Singapura.

Tindakan tersebut mereka lakukan atas nama negara. Saat itu, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Sukarno menentang penggabungan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam satu Malaysia.

Pilihan mereka adalah Gedung McDonald House di Orchard Road. Masing-masing meletakkan bahan peledak di tangga lantai mezzanine, dekat area lift. Setelah memasang timer, mereka meninggalkan bangunan sekitar pukul 15.00, menggunakan bus. Tujuh menit kemudian, 15.07 pada 10 Maret 1965, bom berkekuatan besar meledak di Gedung McDonald House di Orchard Road, Singapura.

Koran setempat, The Strait Times menulis kejadian tersebut di headline, Terror Bomb Kills 2 Girls at Bank. Dua karyawan bank tewas seketika dalam kejadian tersebut: Elizabeth (Suzie) Choo, dan Juliet Goh.

Korban lainnya, Mohammed Yasin bin Kesit, seorang sopir berusia 45 tahun, setalah koma beberapa hari kemudian meninggal. Dan, 33 orang dinyatakan terluka.

Tiga hari berselang, usaha pelarian mereka menemui jalan berbeda. Gani berhasil meloloskan diri, sementara Harun dan Usman tertangkap oleh tentara wilayah setempat. Mereka berdua kemudian ditahan di penjara Changi selama kurang lebih tiga tahun, sebelum kemudian dijatuhi hukuman mati.

Asal Bawean

Harun Thohir lahir di Pulau Bawean yang termasuk dalam Kabupaten Gresik, 14 April 1947. Di Desa Diponggo yang termasuk dalam Kecamatan Tambak, Gresik, sosok Harun merupakan kebanggaan.

Orangtuanya adalah Mandar dan Aswiyani. Dari pasangan ini Harun memiliki dua saudara. Sejak SMP, Singapura bukan tempat asing baginya. Sejak itulah Harun menjadi anak buah kapal dagang Singapura.

Tentu saja profesi ini membuatnya banyak menghabiskan waktu di pelabuhan. Inilah yang membuatnya hafal daratan serta jalur pelayaran Singapura. Dengan pengalaman ini, menginjak dewasa Harun masuk ke Angkatan Laut Indonesia. Sampai ia memperoleh tugas penyusupan tesebut.

Wajar kemudian nama Harun Thohir disematkan untuk nama fasilitas penting di Pulau Bawean, di antaranya bandar udara. Warga setempat menganggap Harun mengharumkan nama Pulau Bawean, sehingga warga bahkan mengusulkan mengabadikan nama Harun untuk nama lapangan terbang yang dibangun di Bawean.

Akhirnya nama bandara pun resmi menjadi Bandara Harun Thohir. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan (saat itu) meresmikan bandara yang terletak di Pulau Bawean.

"Dengan adanya bandara ini, diharapkan kegiatan ekonomi masyarakat Bawean mengalami pertumbuhan," kata Menhub Jonan dalam sambutannya di Bawean, Sabtu, 30 Januari 2016. Dengan begitu, mereka mendapatkan alternatif transportasi selain kapal laut.

Saat diresmikan Bandara Harun Thohir memiliki panjang landas pacu 930 meter dan lebar 23 meter. Dibangun sejak tahun 2006. Sekarang, Bandara Harun Thohir berkontribusi bagi pengembangan ekonomi Pulau Bawean. Setidaknya saat menginjakkan kaki di bandara itu, teringatlah jasa pahlawan nasional Harun Thohir.

Sumber: Republika
Editor: Dardani