Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Catatan Ringan Tentang Proses Kreatif Sebagai Penulis

Menulis Itu Anugerah, Menulis Itu Ibadah
Oleh : Opini
Rabu | 06-10-2021 | 20:24 WIB
A-RIDA-K-LIAMSI23.png Honda-Batam
Wartawan senior dan budayawan Kepri, Rida K Liamsi. (Foto: Ist)

Oleh Rida K Liamsi

KETIKA meluncurkan novel saya Hamidah, 5 Agustus 2021, ada yang bertanya, bagaimana proses kreatif saya sebagai pengarang?

Pertanyaan klasik dan klise dan selalu saja muncul bila ada sebuah peristiwa penerbitan atau peluncuran buku. Apalagi jika terkesan produktif. Minimal setahun sebuah buku. Atau menjadi tradisi, tiap ulang tahun, menerbitkan buku.

Seperti yang sudah sudah, saya katakan lagi, bahwa bagi saya, kemampuan menulis itu adalah anugerah dari yang Maha Zat yang ujud melalui proses perjalanan hidup saya.

Sebuah takdir yang membawa saya mengharungi dunia literasi dan menjadikan karya karya saya sebgai bagian dari ibadah. Bahagian dari rasa syukur saya atas limpahan karunia yang sudah saya terima.

Saya ditakdirkan lahir dan dibesarkan di sebuah desa yang dikepung laut. Gemuruh angin, ombak, camar dan kemestrian laut sebagai ujud kebesaran Tuhan yang tak terpermanai. Betapa luas, betapa penuh obsesi dan tamsil kehidupan. Dan alam serta keajaiban yang menyertainya itulah yang selalu menjadi wadah dan nafas karya karya saya.

Saya ditakdirkan dibesarkan di sebuah desa yang merupakan salah satu pusat sejarah, sejarah Melayu, negeri sekanak. Sekanak, jantung negeri melayu. Pertembungan antara kultur dan realitas kehidupan yang mewarnainya. Faktor kesejarahan inilah yang juga menjadi sumur inspirasi saya.

Warisan yang selalu mendorong saya berada di depan altar kehidupan dan keinginan membuat sejarah. Sekanak yang membawa serta bahasa melayu purba, yang jika diucapkan kata kata terdengar bagaikan pantun, bagaikan puisi. Melodius.

Saya ditakdirkan hidup dan dibesarkan di tengah masyarakat yang punya tradisi berkesenian yang kuat dan berakar pada seni syair dan pantun. Negeri tempat dondang dan dendang bisa tampil bersama gendang, yang membuat orang berlenggang. Berjoget. Menari dan melihat hidup penuh dinamika serta kegembiraan. Semua bernyanyi.

Hidup begitu ceria. Dinamis. Seperti ombak, seperti badai, seperti laut yang membentang. Saya selalu membayangkan betapa indah kaki langit, dan ingin mencapainya, meski tahu kaki langit sesungguhnya hanya sebuah obsesi, sebuah ilusi, sebuah metafor tentang kehendak imajinasi.

Tapi kaki langit juga seperti sebuah mimpi yang membisikkan : Berjalanlah. Berlayarlah. Ke kaki langit. Mencari kaki langit. Yang tidak berjalan takkan sampai kemana mana. Yang tidak berlayar takkan tahu betapa jauhnya kaki langit.

Saya beruntung karena sejak masih sekolah dasar saya punya guru guru yang menjadi motivator proses kepengarangan saya. Guru guru yang menyukai puisi, yang menyukai cerita, guru yang menyukai buku dan dunia literasi sehingga sejak masih sekolah rendah saya sudah bersentuhan dan tahu betapa ajaib nya sebuah buku.

Saya beruntung kemudian dalam perjalanan hidup saya, bertemu dengan sejumlah sastrawan besar yang jadi tempat belajar. Yang menjadi spirit saya untuk memilih kesusasteraan sebagai jalan hidup.

Saya bertemu dengan Sutarji Calzoum Bachri (SCB), saya bertemu dengan Gunawan Mohammad (GM), dengan Hasan Junus (HJ), Abdul Hadi WM (AHWM), Taufik Ismail (TI), Maman S Mahayana (MSM), Muhamnad Haji Saljeh (MHS), A Samad Said (ASS), dll dan saya bersentuhan dengan karya karya besar mereka.

Saya sempat paling tidak membaca dua tiga buku novel terbaik dunia. Seperti Novel Pride and Prejudice-nya Jay Austin, novel Lolita nya Nobokov, Seratus Tahun Kesunyian nya Marquez, dll. Buku buku puisi yang menggetarkan sukma seperti Gitanyalinya Tagore, dll.

Saya beruntung karena ada karya saya yg dimuat di majalah horison dan itu jadi api yang membakar semangat menulis puisi saya, karena ketika itu, Horison adalah barometer sastera Indonesia. Seakan akan jija karya kita sudah dimuat di Horison, kita sudah di bai'at sebagai sastrawan.

Saya beruntung tak lama setelah itu saya menerbitkan buku puisi saya yang pertama, Ode X, meski dengan stenselan. Setelah sebelumnya saya bersama HJ dan budayawan Eddy Mawuntu (EM) menerbitkan kumpulan essai dan puisi kami, Jelaga, mengisi kekosongan 40 tahun karya sastera di kepri setelah era Raja Ali Haji (RAH).

Saya beruntung karena bisa menjadi wartawan sekaligus sastrawan sehingga gabungan dua profesi ini memberi saya ruang yang sangat dinamis dan penuh gairah untuk terus menulis.

Saya bisa bepergian kemana mana sebagai wartawan, dan dari sana saya menyerap gelegak puitika hidup dan menuliskannya kembali dalam karya karya sastera saya.

Saya bisa menghirup aroma Paris kota para seniman dunia itu. Dan semangat kesusasteraan dunia di berbagai negeri yang memuliakan kesusasteraan sebagai urat nadi kebudayaan. Yang memancarkan isyarat, tak ada pembangunan yang tidak berlandaskan budaya.

Sesungguhnya bangsa yang beradab itu adalah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya. Puncak budaya sebuah bangsa itu adalah bahasa. Bangsa yang tidak mempunyai bahasa sendiri, hakekatnya bukanlah bangsa yang merdeka.

Rentetan proses dan perjalanan hidup itulah yang memberi kesempatan saya untuk menjadi seorang penulis. Menulis dan menerbitkan buku buku sastera saya. Novel, kumpulan puisi, esai dan karya lainnya. Keinginan kuat untuk menjadi seorang sastrawan itulah yang memberi saya kesempatan untuk menggeluti dunia lesusasteraan. Menjadi sastrawan tanpa rasa bimbang.

Karena itu, kemudian saya sampai pada kesimpulan, sebuah kesadaran bahwa kemampuan saya menulis itu adalah anugerah, dan karena itu pemberian yang luar biasa mulia dan berharga, maka saya harus menggenggam anugerah itu dengan kuat, dengan semangat, dan dengan rasa hormat dan syukur.

Bagi saya, menulis itu adalah ibadah. Tanggung jawab bathiniah. Karena dengan menulis itu saya tahu betapa kata kata yang melesat kemana mana haruslah juga sebuah zikir. Sebuah doa.

Sebuah niat baik dan mulia. Sebuah rasa syukur. Bukankah hakekat hidup kita ini adalah untuk bersyukur, berterimakasih atas apa yang sudah kita peroleh.

Meskipun hanya sebaris puisi, kau telah memberikan sesuatu pada dunia ini, sesuatu penanda bahwa kau pernah hidup, dan menikmati hidayah. Telah diberikan Maha Kata. Iqra'. Bacalah dengan nama Tuhan mu. Bukankah kita memulai hidup kita dengan puisi besar itu ?

Kesadaran filosofis, bahwa Yang membaca kelak akan menulis. Yang menulis kelak akan membuat sejarah. Yang membuat sejarah, akhirnya sadar dirinya berguna dan tidak menyia nyia kan waktu yang dianugerahkan yang Maha Pemberi.

Maka membacalah ! Menulislah ! Wariskanlah meski hanya sebaris puisi. Karena kita ini hakekatnya adalah puisi. Dan berasal dari sebuah puisi. Dari sebuah kata : Cinta !

Subhanallah!