Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Analisis Berita

KPK Era Firli Bagaikan Bebek Lumpuh yang Dipenuhi Konflik
Oleh : Redaksi
Sabtu | 22-05-2021 | 15:36 WIB
A-FIRLI-KPK-LEMAH_jpg3.jpg Honda-Batam
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Pol Firli Bahuri. (Foto: Antara Foto/GALIH PRADIPTA)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Konflik internal terkait (TWK) untuk alis status jadi aparatur sipil negara (ASN) menambah daftar kritik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah kepemimpinan ketua Komjen Pol Firli Bahuri.

Sebagaimana mandat Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pegawai KPK--yang dulunya merupakan pegawai independen--kini berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Pimpinan KPK yang berjumlah lima, termasuk Firli, kemudian menetapkan TWK sebagai salah satu dasar pengalihan status pegawai menjadi ASN lewat Perkom Nomor 1 Tahun 2021.

Insiden ini menuai banyak protes dari pegawai dan kalangan yang peduli isu pemberantasan korupsi. Pasalnya, pegawai tersebut terdiri dari penyidik yang banyak berperan dalam pemberantasan kasus korupsi besar. Salah satunya seperti penyidik KPK Novel Baswedan hingga pejabat teras KPK yang pernah mendapat penghargaan Satyalancana Wira Karya dari presiden, Sujanarko.

Saat ini potensi korupsi ada di hampir semua sektor, tapi justru KPK ini seperti bebek lumpuh.

Pengamat politik dari Esposit Strategic, Arif Sutanto, meyakini konflik yang menyelimuti KPK belakangan merupakan upaya melemahkan lembaga antirasuah dari dalam.

Ia menduga polemik penonaktifan pegawai yang tak lolos TWK bukan puncak dari beragam keputusan pimpinan KPK yang dipertanyakan masyarakat sipil. Berkaca pada rentetan kontroversi di bawah pimpinan Firli sebagai ketua, Arif memprediksi KPK akan banyak menuai konflik.

"Ini juga sesuatu yang terlihat by design, disengaja, sistematik. Sebab arah yang mau dituju adalah pelemahan KPK. Saya tidak percaya KPK akan dihancurkan sama sekali. Tapi cukup dilemahkan," kata dia ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (21/5/2021).

Arif mengatakan banyaknya konflik internal pada lembaga antirasuah dapat berdampak besar pada kinerja KPK ke depannya. Dia mengatakan dampaknya bisa dirasakan secara jangka pendek, menengah, hingga panjang.

Secara jangka pendek, ia mengatakan KPK akan lebih banyak berpolemik dibandingkan menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi.

Kemudian pada jangka menengah, ambisi Firli yang ingin memfokuskan pemberantasan korupsi melalui pencegahan akan sulit diterapkan jika internal KPK tidak bisa bekerja secara efektif.

Sedangkan jangka panjangnya, KPK akan kesulitan mencegah dan menangani kasus korupsi besar yang dinanti masyarakat hingga tuntas.

"Ini kan jelas kontraproduktif. Dalam situasi bahwa saat ini potensi korupsi ada di hampir semua sektor, tapi justru KPK ini seperti bebek lumpuh bagi saya. Hidup, tapi nggak produktif," lanjut dia.

Sementara itu, Arif menilai sikap Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani konflik yang mencuat di KPK juga tidak sesuai harapan. Ia mengatakan Jokowi seharusnya bisa lebih tegas memutus polemik penonaktifan 75 pegawai KPK.

Menurutnya, pernyataan Jokowi terkait konflik tersebut pada Senin (17/5/2021) lalu merupakan sikap tipikal yang dilakukan mantan gubernur DKI Jakarta itu untuk menunjukkan seolah tak terlibat dalam polemik, namun menolak bertindak tegas memutus konflik dengan cepat.

"Saya paham bahwa KPK itu lembaga independen, iya. Tapi bukan berarti bahwa tidak mungkin tangan pemerintah, apakah lewat komisi, menteri atau bahkan otoritas presiden untuk mengambil langkah yang dibutuhkan," kata dia.

Arif mengatakan langkah intervensi seharusnya diupayakan karena konsekuensi membiarkan konflik berlarut di dalam lembaga antirasuah besar dampaknya terhadap kerugian publik di lingkup pencegahan korupsi. Apalagi, berdasarkan dalam revisi UU KPK ditegaskan lembaga antirasuah itu masuk rumpun eksekutif yang ditandai para pegawai dialihkan status menjadi ASN.

Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan kinerja pemberantasan korupsi di bawah pimpinan Firli pun merosot secara kuantitas dan kualitas.

Diketahui, Firli dan empat komisioner lain--Lily Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Nawawi Pomolango--dilantik jadi pimpinan KPK di Istana Negara pada 20 Desember 2019 setelah disetujui DPR untuk masa jabatan hingga 2023.

Kurnia mengatakan berdasarkan laporan pengamatan pihaknya mendapati penurunan angka kasus yang ditindak KPK pada periode 2019 dan 2020.

Pada 2019, tercatat 145 kasus masuk ke tingkat penyidikan, 153 kasus ke tingkat penuntutan dan 136 kasus ke tingkat eksekusi.

Sementara sepanjang tahun 2020 tercatat hanya 91 kasus yang masuk ke tingkat penyidikan, 75 kasus ke tingkat penuntutan dan 108 kasus di tingkat eksekusi.

Tren operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK juga menurun drastis dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2020, KPK hanya melakukan OTT 7 kali. Sementara pada 2019 jumlah OTT mencapai 21 kali, 30 kali pada 2018 dan 19 kali pada 2017.

Sementara secara kualitas, Kurnia mengatakan kasus-kasus yang diusut KPK di bawah kepemimpinan Firli juga masih banyak menuai kritik dan perlu dipertanyakan.

Ia menyoroti tiga kasus pengusutan korupsi yang menyeret nama-nama besar belakangan ini sebagai contoh.

"Yang pertama, dalam kasus komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sampai hari ini (eks caleg PDIP) Harun Masiku tidak mampu dideteksi dan diringkus KPK," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Jumat.

Kemudian, lanjut Kurnia, dalam kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang menjerat eks Menteri Sosial Juliari Batubara. Ia mengatakan ada beberapa nama politisi yang hilang dalam surat dakwaan.

Lalu yang ketiga, Kurnia menyoroti kasus korupsi ekspor benih lobster yang melibatkan eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Ia menyinggung sikap KPK yang memutuskan tidak memanggil Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar yang diduga terlibat.

Kurnia menilai merosotnya kuantitas dan kualitas penanganan perkara korupsi oleh KPK menandakan ada permasalahan yang perlu dibenahi dalam lembaga tersebut. Namun menurutnya, kendala itu sulit dibenahi karena bersumber dari meja pimpinan KPK.

Dalam insiden seperti ini, kata dia, sesungguhnya KPK sudah memiliki mekanisme pengawasan melalui Dewan Pengawas untuk memastikan lembaga tersebut memiliki performa yang baik.

Namun ia menyayangkan sikap Dewan Pengawas yang menurutnya belum menjalankan tugasnya dalam mengevaluasi kinerja KPK dan menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan dalam konflik belakangan.

"Maka yang paling ideal hari ini, ketua KPK mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK. Karena semua persoalan ini bersumber dari yang bersangkutan," lanjut Kurnia.

Sebanyak 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK itu sendiri telah mengadukan SK penonaktifan mereka oleh Firli dkk ke Ombudsman RI. Pasalnya, ada dugaan bakal menghambat kerja-kerja KPK yang menjadi tanggung jawab mereka sebelumnya. Satu di antaranya disampaikan Sujanarko--Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK.

Selain penanganan kasus yang terganggu, Sujanarko mengatakan penonaktifan 75 pegawai juga menghambat kerja-kerja KPK yang lain. Sebab, beberapa orang yang dinonaktifkan punya peran penting di KPK.

"Dengan dinonaktifkannya 75 pegawai, kasus-kasus yang ditangani semuanya mandek," ucap Sujanarko di kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (19/5/2021).

Mengenai nasib 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK, menindaklanjuti pernyataan Jokowi, Firli dkk akan membahasnya bersama Kementerian PAN RB, Komisi ASN, dan BKN pada Selasa (25/5) mendatang.

"Mungkin ada yang bertanya adik-adik saya yang 75. Kami ingin pastikan, sampai hari ini tidak pernah KPK memberhentikan, tidak pernah KPK memecat dan tidak pernah juga berpikir KPK untuk menghentikan dengan hormat maupun tidak hormat," kata Firli dalam keterangan pers di Gedung KPK, Kamis (20/5/2021).

Terkait kerja-kerja di dalam KPK, Firli menegaskan masih berlangsung normal karena merupakan kerja organisasi, bukan individu.

"Kami pastikan tidak ada perkara yang berhenti, tidak pernah ada perkara yang terlambat. Kita pastikan karena sistem KPK adalah sudah berjalan dan yang bekerja bukan perorangan, bukan satu orang, tapi semua pegawai dan insan KPK bekerja keras untuk melakukan pemberantasan korupsi secara bersama-sama," ujar Firli kala itu.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Dardani