Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tahupun Pura-pura Tak Tahu
Oleh : Nessa Kartika
Kamis | 10-02-2011 | 10:38 WIB
re.gif Honda-Batam

Nessa Kartika. (Foto: Doc).

Singapura, batamtoday - Di Singapura sekarang sedang heboh tentang rencana kenaikan gaji untuk para BMI Buruh Migran Indonesia) di Singapura. Peraturan baru ini jelas membuat para calon majikan di Singapura jumpalitan, selain bayar lebih mahal, levy (pajak atas pemakaian jasa BMI) membuat beban pengeluaran mereka bertambah.

Dilain pihak, agensi mengeluh karena kurangnya pasokan wanita Indonesia yang dibilang manis dan manut untuk bersedia bekerja di Singapura, karena gaji di Singapura jauh lebih rendah dari gaji di negara lain seperti Hongkong dan Taiwan.

Ada yang mengecapku aneh, karena aku adalah mantan BMI Hongkong yang sekarang ini bekerja juga sebagai BMI tapi di Singapura. Mereka bilang aku bodoh karena 'turun pangkat'. Ibarat sudah lulus SMP kok masuk SD lagi.

Aku merasa lebih aneh ketika pertama kalinya menjejakkan kaki di Singapura ini, lagu pertama yang kudengar di negeri Singa ini adalah lagu Menghapus Jejak-nya Peterpan. Lagu Indonesia adalah satu diantara banyak hal yang tidak pernah kudengar di negeri Bauhinia.

Perasaan aku berada di rumah membuatku mengharu-biru. Aku langsung yakin aku bakal betah.

Berbeda dengan perasaan kesasar di negeri antah berantah yang kurasakan ketika menginjakkan kakiku di Hongkong untuk pertama kali. Saat mendengar orang lain berbicara padaku dalam bahasa Kantonis, aku merasa sedang diomeli. Tapi di Singapura, karena bahasa melayu sudah dikuasai oleh para majikan, yang notabene bukan ras melayu. Meskipun aku kadang sukar mengikuti bahasa melayu mereka, karena agak berbeda dengan bahasa Indonesia, tapi aku merasa dekat rumah.

Citarasa lidahku pun lebih cocok dengan masakan melayu yang kaya akan rempah dan kental dengan santan kelapanya. Tidak semata bawang keprek dan jahe. Masakan yang berbumbu lengkap membuatku serasa masih di rumah. Jadi apa ruginya?

Aku memang merelakan kebebasan berupa libur setiap minggu yang kudapat di Hongkong, di Singapura dalam satu tahun aku hanya libur di Hari Raya saja. Hari Raya Puasa, Hari Raya Haji, Hari Raya Cina dan Hari Raya RI alias Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus.

Tak peduli berapapun jumlah gaji disini atau disana, apapun berita yang kuterima dari dalam negeri, aku tetap cinta Indonesia. Buktinya, kenapa meskipun jarang offday aku tetap betah di negeri Singa? Mungkin karena masakan rasa dalam negeri, yang meskipun dimakan di luar negeri memang lebih gurih.

Toh sebagai BMI yang kerjaannya dimana-mana sama aja (jaga rumah, jaga anak, jaga binatang, jaga orang tua), uang hanya lewat saja. Apalagi melihat berita dari dalam negeri yang semakin tak karuan. Cabe pun mahal. Apalagi barang lain seperti biaya sekolah anak dan sembako? Seberapapun aku menghasilkan, tetap saja kurang. Jadi sebenarnya tak ada masalah bagiku berapa besar pendapatanku sekarang. Sampai dengan berita yang kuterima pagi itu.

Iri? jelas. Gaji yang kuterima di Singapura hanya separo dari gajiku di Hongkong dulu.

Tapi sia-sia memperjuangkan kenaikan gaji di sini, dari 125 agensi, hanya 17 agensi saja yang setuju menaikan UMR para BMI. Itupun hanya berlaku untuk para BMI yang baru datang ke Singapura di bulan-bulan ke depan. Jelas bukan Aku.

Masalahnya, para majikan ini tahupun akan berita dan peraturan baru ini, mereka pura-pura tak tahu.

Oleh sebab itu, akupun meski tahu tentang perbedaan antara pendapatan BMI Singapura dengan BMI di negara-negara lain, aku memilih untuk pura-pura tak tahu.