Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

RUU Ormas Bukan untuk Sikapi Perorangan
Oleh : surya
Kamis | 14-06-2012 | 17:43 WIB
Slamet-Effendi-Yusuf.jpg Honda-Batam

Ketua PBNU Selamat Effendi Yusuf

JAKARTA, batamtoday - Rancangan Undang-Undang (RUU) organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang akan disahkan pada Juli 2012 mendatang oleh DPR RI bukan untuk menyikapi atau merespon perbuatan orang-perorang yang melakukan pelanggaran hukum, melainkan organisasi atau institusi yang terbukti melakukan anarkisme terorganisir, massif dan terancana itulah yang belum ada payung hukumnya. Kalau masalah perorangan melanggar hukum, itu sudah ada aturan pidananya dalam KUHP.

“RUU Ormas ini hanya untuk mengatur, mengelola dan melindungi masyarakat untuk berkumpul. Bukan mengekang, dan tidak mungkin diterapkan dengan represif. Jadi, kalau nanti dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945, silakan masyarakat mengadukan RUU Ormas itu ke Mahkamah Konstitusi (MK),” tandas Ketua Pansus RUU Ormas A. Malik Haramain dalam dialog RUU Ormas bersama Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf, Refli Harun (pengamat hukum), Bambang Bachtiar (Kemendagri), dan Didin Afifuddin (Kemenlu RI) di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (13/6/2012).

Menurut Malik, selama ini banyak pelanggaran, penghakiman sendiri,  cenderung anarkis dan massif dengan konvoi, itulah yang sulit menyikapi. “Kan jelas dilakukan banyak orang yang tergabung dalam organisasi. Nah, RUU Ormas inilah diharapkan bisa menyelesaikan masalah ini. Di mana akan diserahkan ke pengadilan untuk memutuskan sanksi administratif apakah organisasi atau institusi itu harus dibubarkan atau tidak? RUU Ormas ini diharapkan efektif dan tinggal penegak hukum berani atau tidak?” ujar politisi FPKB ini.

Karena itu lanjut Malik tidak benar jika Ormas ini dinilai untuk mengekang dan apalagi mempersulit berdirinya ormas. Sebab, sudah diatur dalam UUD Pasal 28 bahwa UU itu harus mengatur, mengelola, melindungi masyarakat dan bukannya meresahkan masyarakat. Kalau ternyata pemerintah dianggap takut untuk menegakkan hukum seperti selama ini, maka RUU Ormas ini mendorong dan mendukung agar negara hadir dalam penegakan hukum tersebut. “Jadi, tidak perlu takut lagi,” tambah Malik.

Bagaimanapun kata Slamet, RUU ini harus dibuat dengan hati-hati sebelum disahkan. Sebab, pihaknya khawatir dengan disahkannya RUU itu akan banyak yang protes. Tapi, jika sudah mempertimbangkan bahwa RUU itu untuk kemaslahatan masyarakat tidak masalah. “Hanya khawatir akan ada kelompok-kelompok yang protes. Kalau pun seperti Front Pembela Islam harus dibubarkan melalui pengadilan, maka prosesnya harus adil dan sesuai prosedur hukum,” ujarnya.

Menyinggung kenapa NU kurang respon terhadap masalah-masalah yang dilakukan oleh FPI dan cenderung diam saja, Slemet menegaskan jika NU melakukan pendekatan itu secara diam-diam, tidak perlu dipublikasikan. Mengapa? Menurut Slamet, NU sebagai organisasi terbesar umat Islam maka akan melakukan hal-hal yang bersifat substansial, lebih besar dan lebih kreatif. Misalnya, jika ada ancaman ideologi negara, ancaman NKRI dan sebagainya. “NU memang untuk merumuskan masalah besar untuk kepentingan bangsa dan negara,” tutur Slamet lagi.

Refli Harun hanya khawatir RUU ini nanti tidak dijalankan. Sebab, UU NO.8/1985 yang dianggap represif itu pun setelah reformasi ini juga tidak diterapkan. “Jadi, tergantung keberanian pemerintah. Selama ini kalau ada pelanggaran perorangan dari ormas tertentu seperti FPI, terbukti  pemerintah takut. Jadi, kembali pada keberanian pemimpin. Tapi, saya sepakat kalau RUU Ormas itu dianggap bertabrakan dengan UU yang lain, maka silakan saja dibawa ke MK. Sebab, siapapun yang merasa dirugikan dengan UU itu, maka dipersilakan tuntut ke MK,” katanya menyarankan.

Bachtiar menjelaskan jika sekitar 5000 ormas yang terdaftar di Kemendagri itu hanya 20 persen yang berbadan hukum. Karena itu dia mendukung RUU Ormas ini untuk disahkan guna mengatur kembali agar Ormas itu tidak meresahkan masyarakat, dan tidak main hakim sendiri. “Saya juga menilai RUU ini tidak untuk represif. Sebab, siapapun tak akan nyaman dengan represif, buktinya UU No.8/1985 itu tidak diterapkan lagi. Karena itu, RUU ini sebagai upaya untuk meletakkan kembali tata kelola Ormas dalam kerangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” ungkapnya.

Sementara itu mengenai Ormas asing, semuanya sependapat bahwa mereka ini harus menyesuaikan dengan kepentingan Indonesia. Baik visi, misi maupun ideologinya sesuai pula dengan UU yang berlaku di negera ini. “Asing tentu tak boleh merongrong bangsa ini. Jadi, kalau visi dan misinya tetap untuk asing, maka dilarang beroperasi di negeri ini. Karena itu, pemerintah harus selektif dalam mengetur dan mengelola Ormas asing tersebut,” tegas Malik.