Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Peringatan Hari Lahirnya Pancasila

PBNU Nilai Tak Boleh Ada Aspirasi Pendirian Negara Islam
Oleh : surya
Jum'at | 01-06-2012 | 17:48 WIB
Said_Agil_Siradj.jpg Honda-Batam

Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj

JAKARTA, batamtoday - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj mengingatkan pentingnya Pancasila  yang ditetapkan para pendiri bangsa ini  sebagai dasar dan falsafah dalam bernegara. Oleh sebab itu,  siapa saja atau organisasi apa saja tidak boleh melawan ideologi Pancasila dan tidak boleh ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam atau negara berbasis agama.

“Sebagai konsekuensi sikap politik, maka NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya secara murni dan konsekuen oleh semua pihak. Dengan demikian tidak perlu dan tidak boleh ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam, karena nilai-nilai dan aspirasi Islam telah diejawantahkan dalam Pancasila,” kata Said Aqil Siradj saat menyampaikan sambutan pada Peringatan Hari Pancasila 1 Juni di Jakarta, Jumat (1/6/2012).

Menurut Said Aqil, Pancasila jangan hanya dipahami secara instrumental, sebagai alat pemersatu bangsa saja. Tapi harus lebih dari itu, dipahami secara substansi, yakni  sebagai sumber tata nilai, yang merupakan falsafah dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga perlu terus-menerus dihayati dan dirujuk dalam setiap menata kehidupan. “Banyaknya konvensi internasional, baik yang sudah diratifikasi maupun belum diratifikasi oleh pemerintah RI, sama sekali tidak boleh menggeser sedikitpun kedudukan Pancasila sebagai sumber tertinggi hukum dan tata nilai bangsa Indonesia,” katanya.

Untuk menjaga  Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara, lanjut Said Agil, harus dijadikan sebagai  sumber hukum tertinggi. Maka segala bentuk hukum dan perundang-undangan yang ada di RI baik UUD NRI 1945 ataupun UU lainnya haruslah merujuk kepada Pancasila. “Maka siapa saja dan organisasi apa saja yang terang-terangan bertentangan, apalagi melawan ideologi Pancasila haruslah ditetapkan sebagai organisasi subversif yang tidak boleh leluasa berada dan mengembangkan ajarannya di negara Pancasila,” tambah Said.

Selain Ketua Umum PBNU, pada kesempatan itu juga hadir Wapres Biediono,  mantan Presiden  BJ Habibie dan Megawati Soekarno Putri, mantan Wapres Try Sutrisno dan mantan Ibu Negara Shinta Nuriah Abdurrahman Wahid (istri alm Gus Dur), mantan Wapres Hamza Haz, mantan Wapres Jusuf Kalla, serta pimpinan lembaga negara lainnya. Sementara Presiden SBY tidak hadir karena tengah berkunjung ke Singapura dan Thailand, sedangkan Ketua MPR RI Taufiq Kiemas juga  tidak bisa hadir karena terjangkit demam berdarah.

Sedangkan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, meminta hari Pancasila ini dijadikan momentum bagi bangsa Indonesia untuk berbenah menghadapi era persaingan global. "Peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni setiap tahun jangan berhenti pada seremoni, tetapi harus berlanjut pada aksi. Dalam menghadapi persaingan global, bangsa Indonesia harus memegang teguh Pancasila. Sebab, Pancasila adalah identitas bangsa yang dapat menunjukkan jati diri bangsa di dunia internasional,” kata Din.

Din Syamsuddin mengatakan, persaingan dan daya saing dalam globalisasi, menjadikan negara Pancasila sebagai negara yang siap berlomba, mengandung pesan agar bangsa Indonesia siap bersaing dan bertanding dalam berbagai aspek peradaban. Karena itu, perlunya penerapan Pancasila dalam nilai kehidupan masyarakat. "Secara teoritis Pancasila dapat membawa bangsa pada kemajuan dan keunggulan. Namun permasalahan Indonesia selama ini terletak pada ketidakmampuan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan secara nyata," katanya.

Sementara itu Wapres Boediono menyebut lahirnya Pancasila bukanlah hasil karangan ataupun hasil meniru dari karya buku, melainkan berdasarkan pengalaman sejarah. "Saya sadari bahwa pemikiran Bung Karno yang di tahun 1945 dirumuskan dengan nama 'Pancasila', adalah pemikiran yang tidak ditiru dari buku manapun dan bukan dikarang dari awang-awang," kata Boediono. 

Boediono berpendapat Pancasila lahir dari proses sejarah. Sejarah tersebut memberikan Bung Karno dan para pendahulu lainnya dalam pengalaman hidup yang pahit di bawah kekuasaan kolonial yang menindas.  "Di mana sejarah menunjukan betapa kuatnya daya tahan rakyat Indonesia, daya tahan rakyat yang bersatu.  Sehingga Pancasila kini menjadi warisan bagi rakyat Indonesia. Pancasila adalah cita-cita untuk sebuah Indonesia yang kuat, yang dijalin dari perbedaan agama, etnis, suku, dan daerah. Sebuah jalinan yang tidak didominasi oleh salah satu unsurnya. Sebuah jalinan yang dirajut bersama-sama," katanya.

Dengan Pancasila, jelas Wapres, Indonesia bisa bertahan dan terbukti mampu mengatasi berbagai krisis politik dan krisis ekonomi di masa lampau. "Semangat Pancasila selalu menjadi penyelamat. Tetapi itu tidak berarti kita menganggap Pancasila sebagai sesuatu yang sakral. Mensakralkan Pancasila justru akan menjauhkan Pancasila dari pengalaman hidup kita, orang-orang biasa, sehari-hari. Sebab Pancasila memang bukan wahyu yang turun dari langit," jelas Wapres.

Boediono bercerita, beberapa tahun yang lalu dirinya sempat mengunjungi Ende, Flores, tempat pengasingan Soekarno. Boediono menggambarkan di tempat itulah Bung Karno sering duduk di sore hari, menghadap ke laut, merenung, membaca buku, dan menulis. "Di bawah pohon sukun itulah Bung Karno berpikir mencari jalan ke arah Indonesia yang merdeka. Merdeka dari penjajahan, merdeka dari keterbelakangan. Indonesia yang merdeka dalam berpikir, bekerja dan bersuara," ujarnya.

Selain itu, kata Boediono, Indonesia menghadapi masalah korupsi yang menjadi kanker dalam tubuh bangsa ini. Akibatnya, Indonesia masih tertinggal membangun politik tanpa dikuasai uang. "Kita juga masih harus meningkatkan mutu demokrasi kita. Kita masih tertinggal dalam membangun politik yang tidak dikuasai uang. Dan itu, baru kita mulai untuk diperangi dengan susah payah," tambah Wapres.

Boediono juga menyinggung soal kekerasan terhadap media di Indonesia dan termasuk dari pemilik modal. "Tidak kalah penting, kita masih harus belajar banyak untuk mengelola perbedaan dan konflik antara sesama kita, yang tidak jarang berbentuk kekerasan dan pengrusakan," kata Boediono. Khusus untuk kekerasan dan pengerusakan, Boediono meminta semua pihak dan elemen bangsa untuk bergerak mengatasinya. "Bila sebuah negeri dengan mudah terkoyak-koyak oleh perang saudara karena alasan kedaerahan, kesukuan atau agama," ucapnya.