Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hilangkan Kata 'Oknum' untuk Anggota TNI yang Indisipliner
Oleh : Redaksi/Kompas.com
Jum'at | 01-06-2012 | 14:57 WIB

JAKARTA, batamtoday - Penggunaan kata 'oknum' untuk menunjuk anggota TNI saat melakukan penyimpangan dianggap tidak memiliki dasar. Sebutan tersebut malah dianggap akan membuat kesalahan yang dilakukan seolah-olah berasal dari dirinya sebagai pribadi, bukan akibat dari kesatuannya. 

Hal tersebut diungkapkan Bhatara Ibnu Reza, Direktur Operasional Imparsial, dalam konferensi pers bertajuk "Desak Peradilan Umum bagi Anggota TNI yang Melakukan Pelanggaran", seperti dikutip dari Kompas, Jumat (1/6/2012). 

"Menyebut kata oknum itu artinya permisif. Kami memisahkan antara orang itu terhadap seluruh kegiatannya. Tidak ada yang namanya oknum TNI melakukan pemukulan, adanya anggota TNI melakukan pemukulan," katanya di depan wartawan. 

Ia pun memberikan beberapa contoh kasus yang melibatkan anggota TNI. Dalam kasus tersebut, media massa serta publik mencap pelaku sebagai oknum dan hingga kini satuan internal yang melakukan proses hukum terhadapnya diketahui tidak transparan dan akuntabel terhadap hasil penyelidikan internal. 

"Apa Anda tahu akhir cerita dari 'Koboy Palmerah'? Enggak ada, kan? Cuma tahu sudah diproses. Mereka bilang, tentara juga manusia, tetapi masalahnya mereka manusia yang bersenjata," kata Bhatara. 

Ghufron Mabruri, Koordinator Riset Imparsial, menjelaskan, pemberian kata oknum tidak sesuai dengan keadilan. Ia memberikan contoh seorang tentara yang tengah melakukan tugas di sebuah daerah. Tentara tersebut melakukan kekerasan dan publik mencapnya sebagai oknum tentara. 

"Artinya, itu persoalan yang sifatnya individual dan tidak ada hubungannya dengan institusi. Padahal, dia tugas dalam konteks dinas sehingga, ketika melakukan kekerasan, ada upaya pelepasan dengan lembaga satuannya itu," ujarnya. 

Hal tersebut pun membuat publik lebih menyorot individual, bukan institusinya yang dianggap Ghufron memiliki kultur sedemikian rupa sehingga membentuk personal-personal semacam itu. Ia yakin ada kultur yang harus diubah, khususnya oleh anggota TNI. 

Watak superior harus diubah 

Ghufron Mabruri mengungkapkan, tentara juga merupakan aktor negara. Sebagai aktor negara, dia seharusnya tunduk pada hukum yang berlaku. Budaya tunduk pada hukum inilah yang salah satunya harus ditanamkan ke seluruh anggota TNI. 

"Bukan hanya yang besar-besar, tetapi juga yang kecil seperti lalu lintas saja dulu. Selama ini, kan, ada perasaan superioritas, merasa warga kelas satu," ujarnya. 

Salah satu yang menjadi pengalaman masyarakat sehari-hari adalah banyak anggota TNI yang dengan seenaknya menerobos jalur bus transjakarta tanpa harus berhadapan dengan polisi, berperilaku semena-mena di jalan, dan sebagainya. Salah satu langkah untuk mengatasi hal tersebut adalah mendorong reformasi TNI, salah satunya melakukan reformasi sistem peradilan militer, amandemen Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

Dalam sistem negara hukum, setiap warga negaranya harus mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum, tak terkecuali bagi anggota TNI. Tidak boleh ada keistimewaan dengan dalih apa pun dalam negara hukum untuk melakukan sikap permisif terkait anggota TNI yang indisipliner.