Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Pancasila yang Kian Pudar 'Warnanya'
Oleh : Redaksi
Kamis | 31-05-2012 | 12:21 WIB

OLEH: Raja Dachroni

TEPAT PADA 1 JUNI, kita memperingati hari lahir Pancasila. Sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila kini dianggap telah pudar pesonanya karena, jujur, perlu kita akui bangsa ini mulai melupakan sejarah masa lalunya.

Beragam prilaku sebagian elit politik yang korup dan penyelewengan etika dan masyarakat yang sudah mulai lupa dengan semangat gotong-royong sungguh memberikan gambaran secara sederhana bahwa Pancasila sudah  pudar pesonanya. Padahal, kita bersama-sama menyadari bahwa Pancasila adalah perekat bangsa yang terdiri beranekaragam warna suku, ras dan agama sehingga diraihnya kemerdekaan Indonesia.

Hasil jajak pendapat Suratkabar Nasional Kompas Selasa (30/9) tentang penerapan atau aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Hasilnya, cukup mengejutkan karena telah timbul keraguan dibenak masyarakat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai pandangan hidup. Ini dicerminkan dengan cukup banyaknya orang yang lupa dengan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.

Padahal, entah sadar atau tidak pada 1 Oktober 2008 bangsa ini juga selalu memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang merupakan titik awal indoktrinisasi Pancasila yang dilakukan oleh orde baru yang selama 32 tahun belum dirasakan pemaknaannya oleh masyarakat karena ada keberagaman dan perluasan paham-paham dan sekte-sekte yang menggerogoti pemahaman masyarakat sehingga masyarakat seperti tidak peduli lagi dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Faktor yang lainnya adalah ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi dan mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan kepada masyarakat setelah 63 tahun merdeka. Hal ini dicerminkan oleh jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas. Sebanyak 79,8 persen masyarakat menilai pemerintah belum mampu menunjukkan sikap adil kepada masyarakat. Sebanyak 860 responden di sepuluh kota besar di Indonesia (Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado dan Jayapura) cukup banyak yang lupa dan hafal dengan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila apalagi ditanya soal makna yang terkandung di dalam sila-sila tersebut.

Kalau boleh jujur, mungkin penulis termasuk orang yang hafal, tetapi belum tentu menerapkan dan memahami sepenuhnya nilai-nilai Pancasila karena semenjak era orde baru mulai gamang, nyaris tidak adalagi pewarisan budaya tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Dari survey yang pernah dilakukan Kompas saat responden ditanya tentang sila pertama, yang mampu membacanya hanya sebanyak 90,8 persen yang hafal. Kemudian ditanya tentang sila kedua, hanya 72, 1 persen yang hafal. Begitu juga dengan sila-sila berikutnya. Pada sila ke-3 terdapat 23,8 persen yang tidak hafal. Sila ke-4 30,2 persen yang mengaku tidak hafal karena memang dilihat dari struktur kata-katanya sila yang keempat mempunyai kalimat yang relatif panjang dibandingkan dengan sila-sila yang lainnya.  

Sedangkan pada sila ke-5 hanya 70,8 persen yang mengaku hafal dengan sila yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Ini memang menjadi pertanyaan baru di dalam benak kita. Apakah masyarakat sudah tidak mempercayai lagi Pancasila atau ini adalah pertanda ancaman yang selama ini kita khawatirkan yaitu ancaman disintegrasi bangsa?

Jika kita kaitkan dengan sejarah pada  1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.

Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas : Merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia (www.untag-sby.ac.id).

Artinya, Pancasila lahir dari proses yang sangat panjang. Yudi Latif, dalam bukunya, “Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila” mengungkapkan bahwa ada tiga fase dalam mewujudkan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yakni fase pembuahan yang dimulai sejak 1924, Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda mulai merumuskan konsepsi ideology politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip yakni persatuan nasional, solidaritas, non kooperasi, dan kemandirian (self help).

Beranjak dari sini benih-benih untuk mendorong lahirnya Pancasila mulai kelihatan dimulai dari kesadaran pentingnya kesadaran untuk memiliki falsafah hidup bangsa. Kedua, fase perumusan. Perumusan dasar negara Indonesia merdeka sudah dibicarakan pertama sekali pada siding pertama BPUPK (29 Mei -1 Juni 1945). BPUPK yang didirikan pada 29 April 1945 berjumlah 69 orang yang merumuskan lima prinsip pandangan Bung Karno yakni kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.

Terakhir, fase pengesahan. Disinilah titik klimaks lahirnya Pancasila secara sah dan legal dimana pada 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI serta pada saat yang sama PPKI menyetujui naskah piagam Jakarta yang muatannya merupakan isi dari Pancasila yang kita kenal saat ini tanpa memasukkan “tujuh kata” yang sempat menjadi perdebatan panjang antara sebagian ulama Islam dan pendiri bangsa ini.

Keragaman dan Demokratisasi

Dari narasi panjang itu bahwasanya kita dapat menangkap bahwa kita patut bangga terhadap pendiri negeri ini yang telah dikaruniai ilham oleh Allah SWT untuk mencetuskan Pancasila kendati sempat digunakan sebagai alat Orde Baru untuk memberangus upaya demokratisasi di negeri ini. Fragz Magnis Suseno (FMS) pernah mengungkapkan bahwa rezim Orde Baru dianggap menyalahgunakan Pancasila sekadar sebagai alat untuk memberangus berbagai upaya dan tuntutan demokratisasi.

Selain FMS, tokoh lain yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi adalah Onghokham. Dia berpendapat Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain seperti Magna Charta di Inggris, Bill of Right di Amerika 

Serikat atau Droit de I’homme di Perancis

Yang jelas dari pendapat yang mereka kemukakan, pesan yang ingin mereka sampaikan adalah ideologi bukanlah sesuatu yang dibentuk atas dasar paksaan. Akan tetapi, ideologi adalah sebuah keyakinan yang datangnya dari setiap individu satu ke individu yang lainnya. Keyakinan yang beraneka ragam itulah yang membuat the founding fathers saat membentuk negara ini menciptakan Pancasila sebagai kontrak sosial untuk tumbuhnya budaya saling menghargai keyakinan antara satu sama lain.

Sehingga dalam tahap praktisnya Pancasila merupakan cermin dan sarana penyadaran bagi golongan-golongan yang fanatik dengan keyakinannya agar segera sadar bahwa masih ada golongan fanatik lainnya yang harus dihargai dan dihormati eksistensi dan aktifitasnya.

Meskipun demikian, masih berdasarkan jajak pendapat Suratkabar Nasional Kompas, mayoritas responden tetap menghendaki Pancasila sebagai identitas bangsanya. 92,1 persen masyarakat mengegaskan Pancasila sebagai landasan terbaik untuk bangsa ini.

Kita mengenal beragam agama dan kita juga tidak dibenarkan untuk memilih semua agama yang ada, tetapi cukup satu dan itulah agama yang kita anggap paling benar dan benarnya itu harus kita tularkan tanpa merusak hubungan kita dengan pemeluk agama yang lainnya. Bagi penulis, agama yang benar adalah Islam dan landasan yang penulis gunakan adalah Firman Allah SWT yang meridhoi Islam sebagai agama satu-satunya yang Ia ridhoi. Ini adalah keyakinan penulis, tetapi penulis tidak mungkin memaksakan kehendak penulis kepada orang lain untuk bersama-sama meyakini apa yang telah penulis yakini.

Nah, dalam konteks lain pudarnya pesona Pancasila adalah sesuatu yang wajar menurut penulis karena ianya bukan sebuah cara pandang bangsa atau alat navigasi untuk membawa kemana arah bangsa ini sebagai bangsa yang berketuhanan YME, bangsa yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, bangsa yang mengutamakan persatuan daripada perpecahan, bangsa yang mengatasi segala persoalannnya dengan permusyawaratan dan bangsa yang mampu menciptakan keadilan bagi rakyatnya.

Faktor lain yang menyebabkan memudarnya nilai-nilai Pancasila menurut penulis antara lain adalah pola berpikir masyarakat yang relatif terbuka, beragamnya sekte-sekte atau pemahaman yang masuk ke dalam masyarakat, Pancasila hanya dijadikan sarana untuk beargumen tentang isu disentegrasi bangsa dan masyarakat juga tidak menganggapnya sebagai suatu ideologi.

Sebagai alat navigasi tentu harus ada kelompok yang melihat dimana posisi bangsa Indonesia saat ini. Dalam hal ini adalah pemerintah. Pemerintah (tanpa bermaksud menyalahkan sepenuhnya) harus menyadari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila belum mampu diterapkan untuk menyejahterakan masyarakat. Saat ini, pemerintah tak ubahnya seperti pemerintah di rezim orde baru yang menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menangkis wacana-wacana disentegrasi bangsa.

Nilai-nilai seperti keadilan untuk seluruh masyarakat belum mampu ditegakkan sepenuhnya oleh pemerintah. Pemerintah masih berpihak pada kelompok-kelompok elitis daripada mementingkan kelompok masyarakat miskin. Pemerintah lebih memilih mengampu golongan-golongan konglomerat daripada bergaul dan berhadapan dengan masyarakat. Semoga melalui momentum bersejarah 1 Juni ini kita dapat bersama-sama meresapi dan mengaplikasikan setiap sila yang ada pada Pancasila. Semoga kita memahaminya.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Riau (UR) dan Ketua Umum PD KAMMI Kepulauan Riau Masa Juang 2011-2013.