Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Jamin Fit and Proper Tes OJK Steril dari Politik
Oleh : Surya Irawan/Dodo
Rabu | 30-05-2012 | 17:04 WIB

JAKARTA, batamtoday - DPR RI menjamin anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan dipilih melalui fit and proper test-uji kelayakan dan kepatutan pada 19 Juni 2012 mendatang seteril dari kepentingan politik. 

Menyadari OJK ini sangat urgen ekeistensinya bagi kepentingan bangsa dan negara terutama dalam masalah keuangan dan perdagangan sebagai denyut perekonomian nasional. Untuk itu, mereka ini harus memiliki nasionalisme, integritas, profesionalitas dan keperibadian yang kuta dalam menjalankan tugas secara independen.

“OJK ini sebagai hasil dari reformasi sistem keuangan yang akan berlaku mulai 2013, terkait tiga hal, yaitu sistem makro prudential, sistem pengawasan, dan sistem protokol penanganan krisis. Itu semua harus sesuai dengan perekonomian Indonesia, sehingga ada sekitar 5-10 UU keuangan yang akan direvisi dan diterbitkan,” kata anggota Komisi XI DPR RI Ahsanul Qosasi pada diskusi OJK bersama Maruarar Sirait (FPDIP) dan Robertus pengacara nasabah korban Melinda Dee di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (30/5/2012).

Melihat pentingnya OJK ini lanjut Qosasi, maka harus seteril dari politik. Sebab, kalau masuk politik sistem keuangan ini akan gagal. Sebagaimana yang terjadi dalam skandal bank Century yang merugikan keuangan negara Rp 6,7 triliun itu. Dengan demikian, maka wajar kalau DPR menjadikan OJK ini sebagai super body, yang nantinya bisa melakukan tuntutan dan sanksi bagi perbankan yang menyalahgunakan sistem keuangan di Indonesia.

‘Baik bank asing maupun dalam negeri harus sama-sama bertanggung jawab terhadap keuangan negara dan nasabah,” tambah politisi Demokrat itu. Ia menyontohkan kasus Melinda Dee adalah akibat kesalahan sistem keuangan, di mana perbankan melakukan langkah-langkah yang merugikan nasabah dan itu ternyata tidak dapat pengawasan dari Citibank dan pemerintah.

Namun demikian menurut Maruarar, OJK tetap bisa diintervensi oleh politisi, penguasa dan pengusaha. Dan, ketiga kelompok yang mengintervensi ini berarti mempunyai masalah dengan keuangannya. “Kalau pengusaha tidak masalah dengan usahanya, politisi juga tidak masalah dengan kekayaannya di bank, dan penguasa juga tidak bermasalah dengan keuangannya, maka tidak perlu melakukan intervensi. Jadi, mengintervensi OJK berarti ada masalah dengan keuangan yang dimilikinya,” katanya.

Menyinggung calon anggota OJK yang akan dipilih, apakah 14 orang itu merupakan orang-orang yang bersih dan terlepas dari kepetningan politik, Maruarar dan Qosasih menegaskan bahwa DPR RI tidak main-main dengan OJK ini. Tapi, kalau ternyata dari yang terpilih itu nantinya bermasalah, kesalahan tidak bisa diberikan pada DPR RI, karena sebelumnya ke-14 calon itu sudah ditentukan oleh panitia seleksi (Pansel). Oleh sebab itu pihaknya meminta agar rapat-rapat OJK di DPR dilakukan secara terbuka agar mendapat pengawasan dari masyarakat. “Rapat harus terbuka, dan kalau perlu ada kontrak politik soal keuangan negara ini,” ujarnya.

Yang pasti menurut Maruarar, anggota OJK itu tidak boleh mempunyai beban masa lalu, karena hal itu justru akan menyandera dirinya dalam bertugas. Selain itu harus profesional, independensinya tinggi, berani, berkarakter dan lebih mengutamakan kehilangan jabatan daripada kepercayaan rakyat. “Juga memiliki nasionalisme, integritas dan keperibadian yang kuat,” sambung Qosasih.

Ahsanul Qosasi meminta dalam revisi UU keuangan tersebut khususnya pengaturan bagi asing, maksimal kepemilikan asing itu sebesar 49 %. “Bukan seperti sekarang ini yang mencapai 99 %. Malaysia saja 39 % dan China hanya 10 %. Insya Allah dengan sistem keuangan yang baru dan OJK nanti, Indonesia akan mampu menghadapi krisis seperti skandal bank Century, karena krisis itu kuncinya pada transaksi keuangan dan perdagangan. Selama kedua hal itu tidak masalah, maka negara ini tak akan terpengaruh krisis Eropa,” ujarnya.

Robertus berharap OJK nanti harus mampu melindungi nasabah dan pembeli produk-produk jasa keuangan. Melihat dalam kasus Ibu Mirta Kartohardjo, yang uangnya Rp 22 miliar tiba-tiba hilang di City Bank dan sampai hari ini belum dikembalikan, ini antara lain akibat tidak ada aturan yang jelas soal bank asing di Indonesia. “Masak direksi city bank di Jakarta masih harus konsultasi dengan Amerika untuk mengambil keputusan,” katanya kecewa.

Namun, Maruarar dan Qosasi menjamin bahwa dana nasabah Citibank pasti akan kembali, karena sudah ada kesepakatan dengan DPR dan pemerintah. Sedangkan dalam kasus bank Mega, DPR menyerahkan pada proses hukum. “Kalau hukum menegaskan, bank Mega harus mengembalikan, maka uang nasabah itu wajib dikembalikan,” tambah Qosasi.