Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mendeteksi Hoax Seputar UU Cipta Kerja
Oleh : Opini
Selasa | 13-10-2020 | 14:04 WIB
ratusan-mahasiswa11.jpg Honda-Batam
Aksi demo aliansi mahasiswa Batam menolak UU Omnibus Law Ciptaker. (Foto: Batamtoday.com)

Oleh Ismail

UNDANG-UNDANG Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan, 5 oktober 2020, membuat sebagian orang memprotesnya. Mereka tak setuju dengan beberapa pasal di dalamnya.

Sayangnya protes tersebut salah alamat karena ternyata tidak tercantum dalam UU alias hoax. Untuk itu, pemerintah menghimbau masyarakat untuk tidak terjerumus dalam hoax UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja menjadi topik yang paling dibicarakan selama akhir tahun ini, dan sayangnya ada pihak yang kontra. Padahal sejak awal dibuat konsepnya, diharap akan ada perubahan di bidang ekonomi, investasi, dan ketenagakerjaan di Indonesia. Sebagian masyarakat ternyata menolak UU Cipta Kerja hanya karena termakan hoax yang beredar di media sosial.

Bagaimana bisa mereka menentang UU tersebut jika tidak pernah membacanya dengan tuntas? Undang-undang ini terdiri dari 1.000 lembar dan ternyata banyak yang dipelintir jadi hoax.

Setidaknya ada 12 hoax UU Cipta Kerja yang ditemukan dan sayangnya walau itu sebuah kesalahan, masyarakat sudah kadung mempercayainya, karena terbawa emosi.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa banyaknya hoax pada omnibus law kebanyakan di klaster ketenagakerjaan. Ia meminta masyarakat jangan mempercayainya. Juga berusaha menjelaskan agar masyarakat memahami UU Cipta Kerja, jika mereka belum sempat membaca semua pasalnya.

Hoax pada UU Cipta Kerja yang pertama adalah uang pesangon. Di media sosial sudah banyak berita dan infografis yng beredar tentang draft RUU Cipta Kerja yang menghilangkan pesangon. Padahal hal itu tidak benar. Jika ada pekerja yang dirumahkan, akan tetap berhak menerima uang pesangon. Bahkan masih ditambah dengan jaminan kehilangan pekerjaan.

Sementara hoax kedua adalah tentang upah minimum regional. Istilah upah minimum kota diganti dengan upah minimun provinsi dan ditentukan oleh gubernur. Berarti menyederhanakan standar pengupahan dan tidak akan mengurangi jumlah gaji para buruh. Perubahan nama dan penentuan nominal upah tidak bermaksud merugikan mereka.

Hoax selanjutnya pada UU Cipta Kerja adalah tentang cuti. Ini isu yang paling santer bagi pekerja wanita, karena ada berita bohong tentang dihapuskannya cuti hamil, melahirkan, dan cuti haid. Padahal DPR sudah menjelaskan bahwa cuti tersebut tidak pernah dihapus. Selain itu, hak untuk cuti tahunan selama 12 hari juga masih bisa diambil oleh para buruh.

Selain masalah cuti, ada hoax tentang pemecatan karyawan. Berita bohong yang tersebar adalah karyawan boleh dipecat oleh perusahaan secara sepihak. Padahal salah, karena perusahaan tidak boleh sembarangan merumahkan pegawainya. Apalagi jika ia sakit atau kecelakaan kerja, tidak bisa di-PHK begitu saja. Seorang karyawan boleh dipecat karena melanggar hukum.

Hoax selanjutnya pada UU Cipta Kerja adalah tenaga kerja asing. Hal ini yang membuat buruh kebat-kebit karena takut mereka akan merampas lowongan kerja. Padahal tidak sembarang TKA yang boleh masuk ke Indonesia. Hanya jabatan dan posisi tertentu yang boleh diisi oleh pekerja asing. Jadi, mereka tak akan masuk ke Indonesia secara masif.

Banyaknya hoax UU Cipta Kerja menunjukkan masyarakat yang kurang meneliti mana media online yang bermutu, mana yang hanya menyebarkan berita bohong. Apalagi jika berita itu di-share di media sosial. Kebanyakan orang hanya membaca judulnya lalu menyimpulkan sendiri. Padahal jadi bahaya karena bisa jadi isi dan judul beritanya berbeda jauh.

Masyarakat diminta tidak mudah panas dalam membaca berita. Periksa terlebih dahulu apakah itu benar atau hoax. Jika hoax sudah tersebar, apalagi pada hal yang penting seperti UU Cipta Kerja, maka akan sangat bahaya. Karena pendemo yang sudah termakan hoax bisa dimanfaatkan provokator untuk kepentingan politis.*

Penulis adalah warganet tinggal di Tangerang