Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pilpres dan Pileg Diusulkan Serentak
Oleh : Redaksi/KR
Senin | 21-05-2012 | 11:38 WIB
ari-dwipayana.jpg Honda-Batam

 Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Ari Dwipayana. Foto:Kr 

YOGYAKARTA, batamtoday - Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, menilai Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden seharusnya diubah. Ari menilai undang-undang ini tak lagi sesuai dengan suasana demokrasi.

Ari menyarankan pelaksanaan pemilihan presiden dilakukan bersamaan dengan pemilihan legislator. Hal ini untuk menghintari koalisi pragmatis.

"Pemilu serentak menghindari pola koalisi pragmatis," katanya, Senin (21/5/2012).

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik ini mengatakan proses koalisi politik sebaiknya terbangun sebelum pemilihan legislator digelar. Akibatnya, koalisi yang terbangun lebih sehat. Setiap partai pengusung calon presiden akan sama-sama memperjuangkan keterpilihan calonnya tanpa tawar-menawar kepentingan.

Pemilihan yang berbarengan, kata Ari, juga menekan biaya politik. Apalagi, undang-undang tak tegas mengatur dan membatasi biaya kampanye calon legislator dan presiden.

"Dengan pemilihan berbarengan, anggaran kampanye lebih efisien," cetusnya.

Menurut Ari, Undang-undang Pemilihan Presiden sebaiknya menurunkan angka ambang batas. Angka 20 persen yang berlaku saat ini terlalu membatasi kompetisi. Pilihan masyarakat kian sedikit. Semakin banyak calon yang maju,

"Makin terbuka peluang munculnya calon presiden yang kuat dan diinginkan masyarakat."katanya.

Ari menilai pemberlakuan ambang batas yang tinggi tidak berhasil melahirkan sistem presidensial yang kuat.

"Tidak ada hubungan yang kuat antara PT dan sistem presidensial," ujar dia. Berapa angkanya? "Kalaupun tidak dihilangkan, bisa disamakan dengan angka ambang batas parlemen yaitu 3,5 persen," ujar Ari.