Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sultan Hamid II, Keturunan Habib Perancang Lambang Negara Indonesia yang Terlupakan
Oleh : Redaksi
Selasa | 02-06-2020 | 13:28 WIB
Sultan-Hamid-II.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Sultan Hamid II (kanan) bersama Ida Anak Agung Gde Agung. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Namanya dilupakan karena dianggap terlibat upaya kudeta Westerling 1950. Padahal, ia adalah sosok di balik rancangan lambang negara Indonesia, Burung Garuda.

Siapa tak kenal burung berkalung perisai yang merangkum lima sila dasar Pancasila?

Sedikit sekali dari rakyat Indonesia, terutama generasi sekarang yang mengenal perancang lambang negara Indonesia. Sang perancang sendiri seperti dilupakan, karena nama baiknya yang tercemar yang membuatnya menjadi orang yang kalah.

Jangankan sejarah, orang-orang terdekatnya pun enggan menorehkan namanya dalam ingatan. Ia sibuk keluar masuk penjara akibat tuduhan-tuduhan tak berdasar yang dilayangkan kepadanya. Barangkali itu salah satu yang menjadikannya seperti terbuang, tak diingat orang.

Terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, pada 12 Juli 1913, Sultan Hamid II (Sultan Pontianak ke-7) merupakan putra sulung dari Sultan Pontianak, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie.

Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia - Arab, dan pernah diasuh oleh perempuan berkebangsaan Inggris. Ia dibesarkan di ingkungan Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak.

Konon, kakek buyutnya adalah pendakwah asal negeri Trim (Tarim) di Hadramaut, Yaman Selatan, yaitu Habib Husein Al Qodrie.

Dengan demikian dalam darahnya mengalir darah ahlul bait yaitu darah terdekat dari Nabi Muhammad SAW, dikutip dari Deposit Pustaka Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, situs Kalbariana. Ketika ayahnya wafat akibat agresi Jepang pada 29 Oktober 1945, Syarif Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II (sebelumnya telah didahului oleh Sultan Thaha sebagai pengganti sementara pada tahun 1944-1945).

Di awal era federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai Wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Jasanya dalam merancang lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila, seperti dilupakan begitu saja setelah dia diadili dan dihukum 10 tahun penjara terkait rencana kudeta oleh kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950.
Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air, memang pernah menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Sultan Hamid II tahu Westerling adalah gembong APRA. Saat itu, Indonesia masih berbentuk Republik Indonesia Serikat.

Sultan Hamid II menjabat sebagai menteri negara, tanpa adanya portofolio. Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta ini memiliki 11 orang anggota berhaluan Republik, sementara lima anggota lainnya berhaluan Federal.

Ia termasuk salah satu sosok yang menyokong konsep negara Federal. Saat itu Indonesia terbagi menjadi beberapa negara bagian boneka bentukan Belanda. Kalimantan Barat sendiri akan dipecah menjadi negara baru dengan otonomi khusus.

Walau ia mendukung pembentukan RIS, namun ia adalah tetap sosok yang menjaga nasionalis. Ia menolak keinginan pemerintah Belanda untuk menjadikan Kalimantan Barat sebagai sebuah negara bagian.

Ia hanya menginginkan adanya daerah istimewa di Kalimantan Barat. Apalagi karena provinsi tersebut juga memiliki banyak kesultanan yang cukup terkenal seperti Kerajaan Pontianak, Mempawah, Sambas, Ngabang, Tayang, Sanggau, Semitau, Sintang, dan Tanjungpura.

Sayang, niat Hamid II dipandang sebagai bentuk pemberontakan. Hamid pun dituduh menjadi dalang pemberontakan itu. Ketika masih menjabat sebagai menteri negara, ia mendapatkan tugas dari Presiden Soekarno untuk merancang lambang negara.

Hamid II Ia pun membentuk sebuah panitia teknis yang diberi nama Panitia Lencana Negara dengan panitia teknis terdiri dari Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka.

Selanjutnya, dilakukanlah sebuah sayembara untuk membuat lambang negara ini. Dari sayembara tersebut, terpilihlah 2 rancangan terbaik yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin.

Dalam proses selanjutnya, pemerintah dan DPR memilih rancangan Sultan Hamid II. Sementara itu karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang dianggap menampakkan pengaruh Jepang.

Rancangan pertama, gambar burung garuda yang dibuatnya tidak berjambul, bertangan, dan bahu manusia, serta dengan cengkeraman pita yang masih terbalik. Setelah mendapatkan berbagai saran dan pertimbangan, Hamid II kemudian kembali mengajukan rancangan Burung Garuda seperti yang dipakai hingga sekarang ini.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Lambang negara Indonesia ini kemudian diperkenalkan untuk pertama kalinya kepada masyarakat umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950. Sebelumnya, pada 22 Januari 1950, terjadi pembantaian yang dilakukan Westerling dan 800 orang pasukan KNIL. Sebanyak 60 orang tentara RIS tewas.

KNIL pun menduduki beberapa tempat penting di Bandung. Pemberontakan ini dilakukan karena mereka ingin menggulingkan Republik. Mereka akhirnya berhasil diusir dari Bandung oleh pasukan RIS.

Empat hari kemudian, Westerling berencana kembali melakukan kudeta di Jakarta. Namun rencana ini bocor sehingga berhasil digagalkan. Pasukan KNIL berencana membunuh beberapa tokoh Republik termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.

Anehnya, dalam peristiwa itu, Sultan Hamid II dianggap sebagai dalang pemberontakan dan berkonspirasi dengan kapten KNIL, Raymond Westerling. Hamid II jelas-jelas membantah tuduhan itu. Namun, pengadilan tetap menyatakan dirinya bersalah sehingga dihukum penjara sepuluh tahun.

Sementara Raymond Westerling yang memimpin pemberontakan sudah kabur dan keluar dari Indonesia tanpa hukuman. Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II diberhentikan dan ditangkap di Hotel Des Indes dengan tuduhan niatan makar.

Meski begitu, ia tidak langsung dibawa ke pengadilan dengan alasan pemerintah sulit menemukan undang-undang untuk mendakwa Sultan Hamid II. Barulah pada 25 Februari 1953 kasus tersebut diperiksa MA.

Pada 8 April 1953, MA mengeluarkan putusan bahwa Sultan Hamid II bersalah tapi hanya berdasarkan “niat”, bukan dengan alat bukti yang cukup.

Beberapa pihak menduga bahwa kasus tersebut adalah rekayasa politik untuk membubarkan negara Federal. Maka Sultan Hamid yang merupakan tokoh federal perlu disingkirkan.

Hasil penelitian yang dilakukan Anshari Dimyati, ketua Yayasan Sultan Hamid II, menyebutkan bahwa pemberontakan tersebut tidak dimotori oleh Sultan Hamid II.

Ia berpendapat bahwa peradilan saat itu tidak dapat membuktikan dugaan keterlibatan Sultan Hamid II, namun ia didakwa bersalah karena opini media massa yang memberitakan tentang kasus tersebut.

Akibatnya, ia harus menjalani hukuman penjara 10 tahun. Tahun 1958, Sultan Hamid II akhirnya dibebaskan dan tidak lagi terlibat dalam politik. Namun, baru empat tahun bebas, lagi-lagi ia ditangkap dan ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun pada Maret 1962.

Penangkapannya dilakukan atas tuduhan melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi ilegal Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC).

Sultan Hamid ditahan selama empat tahun tanpa proses pengadilan dan baru dibebaskan setelah era Soekarno berakhir.

Ida Anak Agung Gde Agung menyebutkan bahwa penangkapan tersebut kemungkinan terjadi bukan berdasarkan fakta dan hanya omong kosong belaka.

Sultan Hamid II telah menjadi korban konspirasi politik dan fitnah. Bisa jadi hal tersebut terjadi hanya karena isu yang ada di sekitar Soekarno karena sejak keluar dari tahanan pada tahun 1958, Sultan Hamid tidak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.

Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, lalu di THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, lalu ke Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Sumber: RMOL
Editor: Dardani