Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Dajjal 'Baru'
Oleh : Dr. Muchid Albintani
Senin | 13-04-2020 | 08:20 WIB
simbol-dajjal_jpg2.jpg Honda-Batam
Ilustrasi simbol Dajjal. (Foto: Ist)

DAJJAL baru adalah sebuah upaya memahami 'keberadaan' terkait 'ke-dajall-an [segala sesuatu yang berhubungan dengan 'ke-palsu-an']. Penyelamat palsu, misalnya.

Secara sederhana dalam banyak pengertian tentang Dajjal, 'kepalsuan' jarang dijadikan makna utama yang umum disampaikan. Selama ini yang umum dipahami jika Dajjal dan akhir zaman', keduanya, terintegrasi, sepaket, tak dapat dipisahkan.

Ikhwal akhir zaman: mengapa perlu diupayakan memahami Dajjal versi baru: 'Dajjal Baru'? Apakah Dajjal telah berubah? Apakah ada Dajjal yang lama?

Esai akhir zaman dalam konteks menceramti seterusya menerokai esensi Dajjal 'Baru', paling tidak terdapat tiga argumentasinya.

Pertama, istilah Dajjal dalam perspektif ke-nubuwwah-an [eskatologi], memunculkan kajian yang saling silang-sengketa berdasarkan sumber referensi yang berbeda. Pada esensinya, perbedaan penjelasan menyebabkan kebingungan dalam memaknai Dajjal.

BACA: Teori Azab

Kedua, keberadaan dalam konteks wujud [kapan ada, genealoginya seperti apa: wujud manusia, jin, atau sistem berpikir, dan bersemayam di mana?], menjadikannya tidak hanya silang sengketa, melainkan juga kebingungan.

Ketiga, tidak adanya sumber qurani otentik terkait konsep Dajjal secara langsung. Realitas ini memunculkan pertanyaan sekaligus kecurigaan tentang Dajjal, terkhusus yang bersumber [perembesan] berdasarkan cerita Israiliyat.

Apalagi dalam konteks substansi isi, walapun riwayat ceritanya bersumber hadis yang dapat dipercaya perawinya, misalnya.

Mencermati ketiga argument tersebut, menjadi penting diupayakan pemahaman baru terkait dengan Dajjal atau diistilahkan dengan 'Dajjal Baru' [DJ]. Jadi DJ adalah memahami dalam realitas sistem dunia menuju persiapan menghadapi akhir zaman yang lebih tematik, gradual, dan bijaksana [minimal, tidak menakut-nakuti dengan berbagai bencana akan terjadi].

Dalam hal ini, Dajjal berhubungan langsung dengan iman terkait hari kiamat [sesuai rukun iman ke-5, percaya hari kiamat]. Dalam konteks inilah, iman wajib dipahami secara terintegrasi, tidak dapat dipisahkan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan [hari kiamat].

Bersandar pada konteks keimanan ini, minimal 'Dajjal Baru' yang dimaknai menjadi 'kepalsuan', dapat diidentifikasi melalui tiga hal. Pertama, kepalsuan dari sisi ke-tahuid-an [ke-esaan-an] tuhan.

Perubahan cara berfikir dari percaya pada satu tuhan, berubah menjadi banyak tuhan [politeisme], tiga tuhan [triteisme], sehingga tak bertuhan [ateisme]. Dalam konteks ini [poli-tri-atei], dimaknai syirik [membanyak, mentiga, dan bahkan meniadakan tuhan] adalah karakter 'Dajjal Baru' berhubungan 'penyelewengan' akan ke-tauhid-an [ke-esa-an] tuhan.

Kedua, 'kepalsuan' terhadap pusat penghitungan 'waktu dunia' yang seharusnya kota Makkah menjadi titik tumpunya, diubah Greenwich Mean Time [GMT], London. Dilanjutkan, arah waktu jarum jam yang bergerak seharusnya dari kanan ke kiri, diubah menjadi dari kiri ke kanan.

Ketiga, 'kepalsuan' penggunaan mata uang dunia yang seharusnya mas dan perak [dinar dan dirham], diubah menjdi kertas yang didominasi 'US Dollar' dalam sistem ekonomi berbasis riba.

Pengidentifikasian 'Dajjal Baru' ini adalah cara pandang untuk mengetahui kekeliruan lalu memperbaiki pemikiran dari sistem yang benar menurut referensi Qurani menjadi sistem 'palsu' [baca: Dajjal], atau yang disebut oleh Ahmad Thomson dengan istilah 'Sistem Dajjal'.

Upaya mengubah pemikiran pada akhir zaman adalah proses penyadaraan insani untuk mematuhi sistem keilahiahan yang telah terdegradasi menuju kepada kepatuhan [sunantullah] yang selama ini, tanpa sadar [terpedaya] menjadi manusia pembangkang [pen-dajjal-an].

'Dajjal Baru' esensinya terfokus, tidak pada Dajjal sebagai personal, melainkan memberikan pemahaman lebih spesifik yang menyangkut ke-sistem-an.

Dalam konteks ini, 'Dajjal Baru' adalah pemahaman baru bagaimana mengidentifikasi jika ketiga kepalsuan adalah bagian dari rekayasa personal makhluq Allah yang memang diberikan mandat [otoritas], menyelewengkan atau menjerumuskan manusia dari sistem ke-benar-an menuju ke-palsu-an [ke-dajjal-an].

Siapakah makhluq atau personal tersebut? Tepuk dada tanya selera?

Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***