Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Golkar Tetap Ingin Penyederhanaan Parpol agar Fraksi di DPR Hanya Tiga
Oleh : surya
Senin | 23-04-2012 | 19:31 WIB

JAKARTA, batamtoday-Ketua Komisi II DPR RI Agun Gunanjar Sudarsa mendukung penyederhanaan fraksi di DPR RI. Setidaknya ada tiga fraksi di DPR, yaitu satu fraksi pemerintah, satu fraksi oposisi, dan satu fraksi yang bisa ke kenan dan ke kiri. Kalau, semua sepakat dengan itu, maka tidak perlu lagi ribut-ribut soal angka parlimentary threshold (PT) 3,5 %, sehingga proses demokrasi dan politik di DPR akan lebih efektif dibanding saat ini.

“Tapi, faktanya, kita tidak konsisten. Dengan PT 3,5 % namun menolak penyederhanaan fraksi. Jadi, PT 3,5 % ini tidak menjamin efektifitas proses politik di DPR maupun untuk pemerintah sendiri,” tandas Agun dalam diskusi ‘Sistem Presidensil Vs Multi Partai’ bersama pengamat politik dari LIPI Ikrar Nusa Bhakti di Gedung DPR RI Jakarta, Senin (23/4/2012).

Menurut politisi Golkar itu dalam konstitusi sendiri tidak ada yang namanya sistem presidensil atau parlemeter. Bahkan mencalonkan presiden pun sudah dengan tegas disebutkan, yang dicalonkan oleh partai atau gabungan partai. “Jadi, sudah jelas adanya multi partai dan akan diseleksi melalui pemilu, yang dipilih secara langsung oleh rakyat,” tambah Agun.

Agun optimis bahwa sistem apapun bentuknya akan tergantung kepada siapa yang menjalankan pemeirntahan itu sendiri. “Sepanjang kebijakan pemerintah adalah untuk rakyat, maka akan didukung oleh seluruh rakyat dan DPR sendiri. Jadi, tergantung pada kualitas kepemimpinan. Apalagi, dalam konstitusi kita lebih sulit menjatuhkan presiden daripada melakukan amandemen. Konstitusi kita justru memperkuat posisi presiden,” ujarnya.

Ikrar mengakui jika negeri ini banyak melakukan anomali atau penyimpangan politik dan demokrasi. Sehingga apapun bentuk sistemnya; presidensil atau parlemeter, bahwa pemerintahan ini dibentuk berdasarkan warna-warni. Seperti adanya kabinet pelangi.

Menagapa? “Sebab, tak ada satu pemerintahan pun yang dibangun berdasarkan ideologi yang sama. Maka, wajar jika kebijakan pemerintah dilihat secara berbeda oleh partai koalisi pun. Seperti dalam kasus kenaikan harga BBM, ternyata FPKS menolak. Anehnya, presiden tidak mampu menyikapi dan mengambil sikap tegas terhadap PKS. Jadi, mau ada 3 fraksi atau lebih, yang menjadi peghambat kebijakan pemerintah justru dari koalisi sendiri. Bukan dari luar,” kata Ikrar mengingatkan.

Demikian halnya dengan PT 3,5 % menurut Ikrar, ini juga tidak mendorong terjadinya proses demokratisasi. Karena itu dia menolak PT itu berlaku nasional. Sebab, hal itu mengabaikan kekuatan politik di daerah, meski di DPR RI tidak terwakili. “DPR tidak berpikir jauh, dan masih berkyakinan jika partainya tetap akan besar. Padahal, di pemilu berikutnya seperti Demokrat, siapa yang berani menjamin suaranya akan tetap besar? Rakyat akan mengevaluasi setiap lima tahun,” tambah Ikrar.

Oleh sebab itu partai yang kecil pada pemilu 2009, ada peluang menjadi partai besar dan bisa diatas PT 3,5 %. Untuk itu Ikrar berharap elit politik di pemerintah maupun di DPR tidak berpikir pendek dan pragmatis, melainkan jauh ke depan. Apalagi negara ini dibangun atas kebersamaan dan kebhinnekaan. “Dengan memberlakukan PT secara nasional dan mengebiri kekuatan politik di daerah, maka hal ini akan memicu terjadinya konflik lokal. Seharusnya, DPR mendukung penyederhanaan fraksi di DPR,” tutur Ikrar lagi.