Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Demonstrasi Pelajar Dibayangi Kekerasan Aparat, Namun Dijamin UU
Oleh : Redaksi
Kamis | 21-11-2019 | 13:52 WIB
demo-pelajar.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Aksi pelajar yang menggelar demo September lalu. (Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kebebasan berpendapat di kalangan pelajar atau anak telah dijamin undang-undang. Namun, demonstrasi pelajar pada September lalu justru rentan terhadap aksi kekerasan aparat kepolisian.

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur batasan usia seseorang untuk aksi.

Hanya saja, ketiadaan standar operasional prosedur (SOP) aparat dalam menangani anak saat demonstrasi berpotensi menambah kerentanan. Hal tersebut diungkapkan pengurus Yayasan Plan, lembaga yang fokus memperjuangkan kesetaraan anak-anak dan perempuan.

Child Protection Advisor Yayasan Plan, Sigit Wacono, menyarankan perlunya memberikan kepastian ruang aman demi menjamin hak menyampaikan pendapat sekaligus melindungi anak. Jaminan rasa aman dan perlindungan itu salah satunya bisa diwujudkan melalui penyusunan SOP khusus penanganan demo anak oleh kepolisian.

"Kita sekarang punya peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012, tapi di dalamnya tidak menyebutkan detail ketika ada demo anak itu SOP-nya kayak apa. SOP pada waktu di lapangannya, dan pada waktu penanganan setelah demo," kata Sigit dalam diskusi mengenai "Pelajar Anak dan Kebebasan Berpendapat" di Kantor LBH Jakarta, Rabu (20/11/2019).

Absennya SOP Penanganan anak saat demonstrasi bisa jadi turut menyumbang celah terjadinya kekerasan yang menimpa anak.

"Ketika tidak ada SOP, anak-anak saat demo di ruang terbuka dan, dalam jumlah besar itu risikonya akan lebih jauh," tambah Sigit.

Selain itu ia pun menyarankan perlu ada penilaian risiko dan mitigasi setiap kali melibatkan anak-anak dalam kampanye ataupun aksi.

"Demo (September) kemarin dalam konteks berpendapat itu baik, tapi ketika risikonya tidak dimitigasi, anak-anak tidak mengetahui risiko dan cara mengendalikan risiko itu, justru akan menempatkan anak pada risiko yang tinggi," tutur dia lagi.

"Jangan sampai tujuannya benar untuk menyampaikan suatu gagasan, tapi prosesnya tidak dilalui dengan benar, dan justru menempatkan anak dalam risiko yang besar," tutur Sigit.

Catatan LBH Jakarta menunjukkan terdapat 327 aduan terkait aksi pada 24-30 September 2019. Dari ratusan laporan tersebut, sebanyak 48 di antaranya adalah korban anak.

Demonstrasi Pelajar Dijamin UU, Disertai Kekerasan AparatPolisi dan massa demonstran yang
Dari jumlah itu saja, pengacara publik LBH Jakarta Okky Wiratama mengatakan penanganan polisi terhadap pelajar yang mengikuti demo pun tak sesuai aturan perlindungan anak. Misalnya, kepolisian yang memiliki unit khusus Pelayanan dan Perlindungan Anak (PPA) justru tak memanfaatkan unit itu saat menangani anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).

"Saya mendampingi anak-anak yang tanggal 25 September aksi di DPR itu. Saya berkeliling ke Polda Metro Jaya, ternyata anak-anak ini bukan di unit PPA, tapi ditempatkan ke unit Narkotika dan Jatanras," cerita Okky.

Baca: Surat Edaran Disdik Diabaikan, Puluhan Siswa SMA Ikut Demo di Kantor DPRD Kepri

Selain aksi September, LBH Jakarta juga menerima pengaduan korban anak saat aksi Mei 2019. "Kami menerima pengaduan dari pihak keluarga, inisial R, itu ternyata mengalami pemukulan, kepala atasnya bocor, pelipis bengkak dan mata kanan lebam," kata Okky memaparkan data aduan.

Diskusi yang digelar dalam rangka memperingati Hari Anak Sedunia itu juga dihadiri mahasiswa dan pelajar. Salah satu perwakilan pelajar dari Federasi Pelajar Jakarta (Fijar) Marsell mempertanyakan jaminan kebebasan berpendapat bagi anak.

Ia juga menyangsikan kepastian perlindungan, bila bertolok pada rentetan kekerasan yang dialami sebagian massa aksi pada September lalu.

"Kami ikut mengevakuasi kawan-kawan [massa aksi]. Saya dan kawan-kawan jam 8-an malam itu meluncur ke lokasi aksi sampai jam 2 subuh. Kawan-kawan baru bisa pulang setengah 3, padahal setengah tujuh kan sekolah," cerita dia di hadapan peserta diskusi.

Marsell dan sebagian pelajar dari Fijar akhirnya memutuskan turun aksi pada 28 September. Mereka melakukan aksi damai dan bersih-bersih sampah untuk membuktikan bahwa pelajar tidak membuat rusuh saat demo.

Dalam aksi tersebut federasi pelajar menyampaikan tujuh tuntutan bersama massa aksi, ditambah satu tuntutan yakni menyerukan seluruh pelajar di Indonesia untuk kritis terhadap keadaan dan menghentikan tawuran.

"Kami juga menyuarakan agar seluruh pelajar utamanya di Jakarta untuk sadar bahwa Indonesia itu enggak sedang baik-baik saja, dan kami juga ingin menghentikan tawuran yang terjadi di seluruh Indonesia," ujarnya.

Sumber: cnnindonesia.com
Editor: Chandra