Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kebijakan Pemerintah Aceh Tak Memihak Lingkungan
Oleh : Dodo
Senin | 16-04-2012 | 09:17 WIB

BANDA ACEH, batamtoday - Banjir bandang yang melanda sedikitnya di tiga desa di Aceh Tenggara pekan lalu merupakan sebuah bukti nyata bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sama sekali belum memihak pada usaha pelestarian lingkungan dan menjauhkan Aceh dari bencana ekologis.

Pemerintah Indonesia, Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota sangat rajin membuat berbagai program dan kebijakan, namun tidak mampu dalam melakukan kontrol dan pengawasan di lapangan.

"Apa yang terjadi di Aceh Tenggara sebenarnya jauh-jauh hari sudah kita ingatkan," kata  Teuku Muhammad Zulfikar, Direktur Eksekutif WALHI Aceh dalam rilisnya kepada batamtoday, Senin (16/4/2012).

Zulfikar mengatakan wilayah bencana tersebut merupakan kawasan kawasan hutan lindung Serbolangit yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang dilindungi. 

Jelas sekali, lanjutnya, di kawasan ini telah terjadi alih fungsi lahan yang sangat tinggi akibat kebijakan pemerintah yang salah urus, dan justru membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka lahan perkebunan kakao sebanyak 5 juta batang kakao. 

"Wilayah ini awalnya adalah adalah hutan kemiri yang kemiringannya sebesar 25 sampai 45 derajat, sehingga sangat tidak cocok dikonversi atau dialihfungsikan dengan tanaman kakao," jelas Zulfikar. 

WALHI, kata dia, pada tahun 2006 bersama lembaga anggotanya Yayasan RMTM Aceh Tenggara telah melakukan riset terhadap kondisi titik rawan bencana (longsor dan banjir bandang) dan hasilnya telah diserahkan kepada pemda Aceh Tenggara, namun berbagai hasil dan rekomendasi yang diberikan itu tidak diindahkan dan ditindak lanjuti dengan baik dan serius. 

Hasil riset tersebut mengungkapkan bahwa ditemukan sebanyak 19 titik wilayah rawan longsor dan banjir di kawasan itu dan hingga saat ini sebanyak 13 titik sudah terjadi berbagai bencana banjir dan dan longsor. 

WALHI Aceh berharap kepada pemerintah khususnya di Aceh Tenggara dan masyarakat sekitar agar terus mewaspadai titik longsor dan bencana tersebut. Beberapa titik bencana yang perlu diwaspadai diantaranya adala Desa Lawe Sigala-gala, Desa Lawe II, Desa Lawe Mantik, Kecamatan Babul Makmur.

"Mengingat semakin tingginya kemungkinan bencana di Aceh, seperti gempa bumi dan tsunami, banjir bandang dan longsor serta berbagai bencana lainnya baik yang merupakan bencana alam dan bencana yang terjadi akibat ulah manusia, diharapkan kepada Pemerintah Aceh yang baru terpilih untuk benar-benar serius dan konsisten untuk segera mengevaluasi berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Aceh terdahulu," ujar Zulfikar.

Pantauan WALHI Aceh selama ini pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, namun tidak mampu diimplementasikan secara baik di lapangan. Untuk itu diharapkan ke depan agar kebijakan Moratorium Logging terus dipertahankan, namun perlu ada gebrakan di lapangan secara nyata. 

Dua hal penting yang menjadi pertimbangan dikeluarkan kebijakan Moratorium Logging adalah bagaimana mengatasi dan mengurangi kerusakan hutan yang ada di Aceh dan selanjutnya bagaimana mengurangi berbagai bencana lingkungan akibat degradasi dan deforestasi hutan di Aceh. 

Disamping itu, untuk mengevaluasi berbagai kebijakan pertambangan di Aceh, Pemerintah Aceh diharapkan agar segera mengeluarkan Kebijakan Moratorium Tambang di Aceh. 

"Jika berbagai kebijakan ini bisa dilaksanakan dengan baik, maka diyakini cita-cita dan kenginan untuk menuju hutan lestari dan rakyat Aceh yang sejahtera di masa depan bisa terwujud," pungkasnya.