Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Arus Migrasi Menuju Ibu Kota Baru
Oleh : Opini
Kamis | 29-08-2019 | 17:52 WIB
dyah-opini1.jpg Honda-Batam
Dyah Tari Nur'aini SST. (Foto: Istimewa)

Oleh Dyah Tari Nur'aini SST

Akhirnya secara resmi Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur. Tentunya bukan tanpa alasan, klaim telah melakukan perhitungan matang dikatakan secara tegas untuk meyakinkan masyarakat terkait pemindahan ibu kota.

Tak tanggung-tanggung, biaya pemindahan ibu kota direncanakan memakan biaya hingga 466 triliun rupiah, yakni untuk membangun kawasan pemerintahan diatas tanah seluas 40 ribu hektar. Keunggulan-keunggulan daerah ibu kota pengganti juga tak ketinggalan di gaungkan, mulai dari lokasinya yang strategis terletak di tengah-tengah Indonesia, hingga modal infrastruktur dan ekonomi yang baik.

Persoalan pemindahan ibu kota pastinya bukanlah tanpa risiko. Banyak juga pro dan kontra baik diantara para ekonom maupun masyarakat, mengingat dampak negatif yang akan terjadi setelah ibu kota dipindahkan. Bukan hanya soal beban keuangan negara yang semakin besar, tapi juga persoalan migrasi atau perpindahan penduduk menjadi salah satu sorotan yang menuai berbagai tanggapan dari masyarakat.

Adanya migrasi yang sudah pasti direncanakan oleh pemerintah adalah pindahnya sekitar 130 ribu Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini mengingat perkantoran pusat yang juga dipindahkan ke Kaltim. Untuk mereka yang telah terbiasa dengan segala kemudahan di Jakarta tentunya rencana migrasi ke Kaltim menjadi suatu hal yang sangat dikhawatirkan. Belum lagi jika mereka harus membawa serta keluarganya untuk ikut bermigrasi.

Dari segi personal, mereka yang akan melakukan migrasi tentunya dibebani dengan berbagai persiapan. Mulai dari persiapan finansial, tempat tinggal baru, fasilitas kesehatan, hingga pendidikan untuk anak-anak. Tentunya hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Mengingat dari segi infrastruktur dan kualitas pelayanan fasilitas masyarakat, Jakarta memiliki standar yang lebih baik dibandingkan daerah lain.

Misalnya saja sekolah-sekolah ternama, fasilitas kesehatan yang maju, hingga fasilitas hiburan dan rekreasi yang memadai. Tentunya untuk memperoleh hal yang sama di ibu kota baru perlu waktu dan usaha yang besar dari pemerintah. Hal ini membuat 94,7 persen PNS menolak untuk dipindahkan ke ibu kota baru di Kaltim berdasarkan survei Indonesia Development Monitoring (IDM). Hanya 3,9 persen yang setuju, selebihnya memilih abstain. Bahkan jika dipaksa pindah, maka sebanyak 78,3 persen dari mereka akan mengajukan pensiun dini.

Bukan hanya para PNS saja yang akan ikut pindah ke ibu kota baru, migrasi besar-besaran bisa diikuti juga oleh kegiatan usaha lain yang berkaitan dengan pemerintahan. Para pekerja dengan status berusaha sendiri, pekerja bebas, maupun para pencari kerja juga sudah pasti akan menjajal peruntungan di ibu kota baru nanti. Gelombang migrasi besar-besaran ke ibu kota baru agaknya akan terjadi di berbagai kalangan masyarakat. Hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memeratakan penduduk usia produktif ke bagian timur Indonesia, namun bisa juga menjadi petaka jika daerah yang dituju tidak mampu menyerap dan dan
memanfaatkan dengan baik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara sebagai kabupaten tujuan pembentukan ibu kota baru memiliki luas masing- masing sebesar. Dari luas daerah tersebut ternyata Kabupaten Penajam Paser Utara dengan luas terendah memiliki kepadatan penduduk tertinggi yakni 50 jiwa/km, dan Kutai Kartanegara di peringkat kedua dengan 25 jiwa/km. Kemudian dari sisi banyaknya pengangguran, tercatat di Kutai Kartanegara memiliki Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,96 persen pada tahun 2018.

Sayangnya angka tersebut bahkan lebih tinggi dari tingkat pengangguran Jakarta dan Nasional pada periode yang sama, yakni sebesar 5,34 persen dan 5,13 persen. Tentunya masuknya tenaga kerja baru bisa jadi menambah tinggi angka pengangguran jika tidak diantisipasi terlebih dahulu.

Dari segi jumlah fasilitas pendidikan, Kutai Kartanegara memiliki jumlah fasilitas pendidikan wajib 9 tahun lebih banyak dibandingkan dengan Kabupaten lain. Namun untuk keberadaan perguruan tinggi, Kutai Kartanegara hanya memiliki 4 Universitas sementara Penajam Paser Utara 1 Universitas yang baru berdiri di tahun 2018. Keberadaan perguruan tinggi di Kaltim lebih terpusat di Kota Balikpapan dan juga Samarinda.

Sementara fasilitas kesehatan di kedua Kabupaten tersebut juga cukup jauh berbeda dibanding wilayah kota. Untuk Kutai Kartanegara memiliki 3 rumah sakit sementara Penajam Paser Utara hanya 1 rumah sakit. Untuk tenaga kesehatannya, kedua kabupaten didominasi oleh bidan dengan persentase lebih dari 50 persen.

Melihat gambaran gelombang migrasi yang dimungkinkan tinggi, pemerintah Kalimantan Timur sudah seharusnya melakukan persiapan yang besar dan maksimal untuk memberikan pelayanan dan memberdayakan masyarakat pendatang. Karena tanpa persiapan yang matang, bisa saja justru malah menimbulkan lebih banyak permasalahan.

Pertama, untuk memberdayakan para pekerja dan pencari kerja pemerintah perlu menyiapkan lapangan pekerjaan yang memadai dari segi jumlah maupun sektor pekerjaan. Hal ini untuk memaksimalkan penyerapan tenaga kerja dengan berbagai latar belakang dan keahlian. Jangan sampai pendatang justru malah menambah angka pengangguran di Kaltim.

Kedua, pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan tentunya harus diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya. Tidak hanya berupa infrastruktur, namun juga terhadap tenaga pendidik dan tenaga kesehatan. Mengingat standar fasilitas di Jakarta yang sudah tinggi, pemerintah Kaltim agaknya perlu bekerja keras untuk mengejar standar yang sama.

Ketiga, infrastruktur berupa fasilitas tempat tinggal juga harus mencukupi untuk menampung banyaknya pendatang yang kemungkinan besar akan bertujuan untuk menetap disana. Keempat, dialog publik kepada masyarakat Kaltim perlu juga dilakukan, agar mereka dapat dilibatkan dalam pembangunan ibu kota baru. Selain itu hal ini untuk membimbing mereka agar siap dengan adanya perpindahan tersebut, dan menghindari adanya benturan sosial budaya antara masyarakat setempat dan pendatang.

Penulis adalah Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara