Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Peluang Kemenangan Prabowo-Sandi di MK
Oleh : Redaksi
Rabu | 19-06-2019 | 14:28 WIB
majelis-hakim-mk.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ketua Majelis Hakim yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi saat memimpin sidang gugatan Prabowo-Sandi. (Foto: Ist)

Oleh Ismail

PROSES Pemilu selalu menjadi ketegangan tersendiri, hingga situasi yang tadinya aman tiba-tiba bisa berubah menjadi memanas, apalagi jika terdapat pihak yang merasa dirugikan atau dicurangi, gugatanpun tak segan untuk dilakukan, demi memperjuangkan kemenangan jagoannya.

Sebelum ada putusan MK tentang syarat menggugat hasil Pilkada, maka semua hasil Pilkada digugat oleh mereka yang kalah atau yang suaranya lebih kecil dibanding kontestan lainnya, seakan tidak peduli apakah memiliki bukti yang valid atau tidak, semua ramai berbondong-bondong menggugat dengan sebuah harapan agar MK dapat merubah hasil pemilu untuk kekemangan penggugat.

Akhirnya MK cukup kewalahan, karena banyaknya sengketa yang diajukan ke MK, apalagi jiga penggugat tidak memiliki bukti pendukung yang kuat serta selisih perolehan suaranya begitu besar, hal ini karena selain tdak ada syarat selisih suara juga menggugat di MK tidak dikenakan biaya, dengan alasan ini maka MK memutuskan bahwa sengketa Pilkada yang boleh diajukan ke MK adalah yang selisih perolehan suara 2,5 persen atau kurang, hal ini dimaksudkan untuk membatasi derasnya sengketa Pemilu di MK.

Setelah peraturan itu terbit, maka sengketa Pilkada bisa diminimalisiir, yaitu hanya yang perolehan suaranya kurang dari 2,5% yang dapat diajukan ke MK, seperti pada kasus sengketa Pilgub Banten yang diajukan Gubernur Petahana Rano Karno, terhadap penantangnya Wahidin Halim, dimana begitu tipis selisihnya yaitu kurang dari 2% kemudian dimenangkan oleh Wahidin Halim yang perolehan suara hasil KPUD memang lebih tinggi.

Memang ada beberapa hasil pilkada yang mencoba peruntungan dengan menggugat di MK meskipun hasil perolehan suara dengan selisihnya diatas 2,5%.

Namun pada Pilgub Banten yang diajukan oleh Gubernur Rano Karno selaku Cagub Petahana terhadap lawannya Wahidin Halim, dimana hasil perolehan keduanya begitu tipis selisihnya yaitu kurang dari 2 %, kemudian dimenangkan oleh Wahidin Halim yang memperoleh suara lebih tinggi dari petahana.

Memang ada beberapa hasil pilkada yang mencoba peruntungan dengan menggugat di MK walau hasil perolehan suara dengan selisihnya diatas 2,5 %, tapi sebelum persidangan ke materi pokok perkara oleh hakim majelis MK dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk disidangkan, ini berarti bahwa gugatan tersebut ditolak.

Hal ini tak jauh berbeda dengan sengketa Pilpres yang belum selesai, dengan analogi cerita diatas maka dapat ditafsirkan bahwa sengketa pilpres bisa ditolak sebelum masuk ke persidangan yang menyangkut materi pokok perkara, karena adanya syarat yang tidak terpenuhi untuk disidangkan ke MK.

Apalagi dengan selisih perolehan yang cukup besar yakni 11 % atau hampir 17 juta suara, tentu akan kecil kemungkinan gugatan yang dilayangkan oleh Tim Hukum BPN Prabowo-Sandiaga akan diterima untuk disidangkan, meskipun MK telah mengatakan bahwa Perselisihan hasil Pemilihan Umum (PHPU) pada Pemilu 2019 ini berbeda dengan Pilkada serentak, yang mana tak ada syarat jumlah atau presentase selisih perolehan suara antarcalon untuk mengajukan gugatan sengketa Pilpres 2019.

Meski demikian, besar kemungkinan MK akan tetap menyatakan bahwa pemenang Pilpres 2019 adalah pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK), apalagi sekarang dengan adanya selisih torehan suara cukup tinggi tentu akan membuat MK memutuskan sesuatu yang sama, yaitu tidak mengubah hasil pilpres 2019 dimana KPU secara resmi telah mengumumkan bahwa Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.

Dengan demikian Kubu BPN Prabowo-Sandiaga memang patut diapresiasi karena tidak mengerahkan massa ke MK untuk mencegah terjadinya chaos, namun disisi lain Prabowo-Sandiaga tetap harus menerima apapun keputusan MK.

Apalagi gugatan yang diajukan tidak melampirkan bukti-bukti yang cukup valid, sehingga, sehingga akan semakin menyulitkan MK apabila Kubu BPN masih tetap kekeuh dan tidak menerima keputusan yang telah ditetapkan oleh MK.

Selisih 11 persen dalam skala nasional merupakan selisih yang besar, akan sulit rasanya apabila pemilu yang berjalan secara transparan dicurangi oleh suara sebanyak itu. Kita berharap semoga segala keriuhan yang terjadi lekas mereda, persatuan antar warga yang sempat terkotak-kotak dapat bersatu kembali dan suhu politik nasional kian stabil.*

Penulis adalah pengamat sosial politik