Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengapa Harus Ada People Power?
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 24-05-2019 | 08:16 WIB
demo-bawaslu-jkt1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Aksi massa di depan Kantor Bawaslu di Jalan MH. Thamrin. (Foto: Tempo)

Oleh Dewi Komalasari

KENAPA mesti ikut pemilu jika dirinya tidak percaya dengan kinerja KPU? Lantas setelah kalah dari petahana, para simpatisan berinisiatif melakukan tindakan inkonstitusional, seperti people power yang nyatanya hal tersebut bukanlah sesuatu yang bijak.

Mungkinkah kubu BPN merasa putus asa hingga harus mengerahkan massa untuk melontarkan narasi bahwa KPU telah curang atau pemilu penuh kecurangan yang sistematis.

Belum lama ini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menolak laporan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga terkait dugaan kecurangan Pemilu 2019 secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM)

Penolakan tersebut tentu bukanlah tanpa alasan, karena ternyata bukti yang diajukan BPN Prabowo-Sandiaga tidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018.

Laporan yang diajukan oleh BPN melalui Djoko Santoso dan Sekretaris BPN Hanafi Rais tersebut, hanya melampirkan 73 salinan berita dari media online. Hal tersebut menurut komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo belum cukup.

Dimana BPN sudah semestinya membawa bukti pendukung lain, seperti dokumen, surat, maupun video. Jika hanya melaporkan dugaan kecurangan berlandaskan bukti berupa media massa, maka Pihaknya menyebutkan bahwa yang dimasukkan oleh terlapor belum memenuhi kriteria bukti.

Selain itu, Bawaslu juga menolak laporan dugaan kecurangan Pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif yang dilayangkan juru Bicara BPN Dian Islami Fatwa.

Laporan tersebut menurut Ratna tidak memasukkan bukti yang menunjukkan adanya upaya dari Jokowi-Ma'ruf melakukan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pilpres 2019.

Dari penolakan tersebut, tentu gerakan people power yang rencananya akan dilaksanakan pada 22 Mei nanti adalah gerakan yang berlandaskan oleh kabar burung yang tidak kuat bukti.

Lantas apa sebenarnya strategi Prabowo, sehingga dirinya menyatakan bahwa dirinya menang namun di sisi yang berbeda ia mengatakan bahwa KPU curang. Sehingga dirinya juga mengaminkan people power yang diklaim sebagai jihad, yang ternyata gerakan tersebut hanya menandakan bahwa seseorang tidak siap untuk kalah dalam pemilu.

Gerakan tersebut juga mendapat tanggapan dari Panglima TNI, Marsekal Hadi. Dimana ia mengatakan apabila terdapat pihak-pihak yang sengaja akan mengacaukan NKRI maka akan ditindak dengan tegas.

"Kami tidak akan mentolerir, dan menindak tegas semua upaya yang akan mengganggu ketertiban masyarakat serta aksi-aksi inkonstitusional yang merusak proses demokrasi," tegas Jendral bintang 4 tersebut.

Ketua DPR RI Bambang Soesatyo juga menyatakan bahwa aksi People Power saat ini tidaklah diperlukan di Indonesia. Dirinya menilai bahwa gerakan bisa dilakukan jika memenuhi unsur-unsur seperti krisis ekonomi dan pemerintahan berjalan secara otoriter.

"Wacana digulirkannya people power tentu belum tepat waktunya, karena tidak ada keadaan genting yang memaksa. Kalau dipaksakan maka yang rugi adalah rakyat Indonesia," tutur Bamsoet, panggilan akrab Bambang Soesatyo.

Di sebagian wilayah Timur Tengah, People Power selalu digunakan untuk menyebutkan gerakan massa yang menentang penguasa. Rakyat yang bergerak umumnya memiliki tuntutan tunggal, yaitu demokrasi atau bagaimana demokrasi dapat diterapkan di negaranya.

Di Indonesia, People Power juga mulai digunakan ketika rakyat berusaha menggulingkan rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Istilah People Power lalu muncul kembali pada era kepemimpinan Jokowi, dimana istilah tersebut menggema kembali ketika pesta demokrasi berlangsung. Namun gerakan yang diusung oleh Kubu BPN Prabowo-Sandiaga tersebut perlahan melempem, karena koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga kurang kompak.

Jika gerakan tersebut hendak dilaksanakan, maka sudah semestinya masyarakat tidak terprovokasi oleh pengerahan masa yang bertentangan dengan sistem perundang-undangan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan pengaduan pelanggaran pemilu.

Yang berbahaya, Polisi juga mengungkap rencana teroris yang akan memanfaatkan momen people power dengan melakukan serangan Bom. Jika hal tersebut terjadi tentu akan muncul berbagai kecurigaan antar kelompok.

Sudah pasti people power menjadi gerakan yang inkonstitusional dan tidak relevan untuk Indonesia. Tentu dibutuhkan kedewasaan berpikir dalam menyikapi segala isu maupun berita tentang kecurangan KPU yang masif dan terstruktur tersebut.

Lalu kenapa harus ada people power, sedangkan banyak pentolan BPN yang mengamini people power, namun memilih keluar negeri.*

Penulis adalah pengamat sosial politik