Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kelapa Sawit, Benarkah Rakus Air?
Oleh : Redaksi
Sabtu | 30-03-2019 | 19:47 WIB
dwi-putro-dosen-ipb.jpg Honda-Batam
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.Agr. (Foto: Ist)

Oleh Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.Agr

SAMPAI saat sekarang ini pengembangan sektor pertanian masih merupakan salah satu program utama pembangunan ekonomi Indonesia, karena menyangkut sebagian besar hajat hidup rakyat Indonesia.Subsektor yang berperan penting dalam pembangunan sektor pertanian adalah perkebunan dengan salah satu komoditas andalannya adalah kelapa sawit.

Kelapa sawit merupakan komoditas andalan dan menjadi primadona di Indonesia karena telah memberikan dampak ekonomi luar biasa baik bagi rakyat maupun bagi pemerintah.

Belakangan ini, pengembangan kelapa sawit banyak mengalami tantangan terutama terkait dengan isu kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Kelapa sawit dianggap sebagai tanaman yang rakus air sehingga pengembangan kelapa sawit dapat menyebabkan kerusakan tata air di suatu wilayah.

Terdapat anggapan bahwa perusahaan berbasis kelapa sawit banyak memiliki andil dalam pemborosan air untuk menghidupi perkebunannya. Makin banyaknya perkebunan kelapa sawit dipandang sebagai ancaman bagi ketersediaan air di suatu wilayah. Akibat keberadaan perkebunan kelapa sawit, ketersediaan air (di mata air maupun sungai) di wilayah tersebut semakin berkurang.

Isu itu merebak sedemikian rupa sehingga masyarakat pun bahkan kerap diimbau untuk tidak menanam kelapa sawit. Kalangan penggiat perlindungan lingkungan hidup pun ikut juga mengingatkan tentang “bahaya” nya sawit: pengembangan kelapa sawit akan mengubah lahan hijau yang subur, jutaan hektar, menjadi gurun tandus, nanti ketika usia hidup sawit (setelah replanting) berakhir.

Mengapa kelapa sawit dianggap sebagai tanaman yang rakus air dan menyebabkan kekeringan disuatu wilayah ? Hal ini sebenarnya bukan tanpa dasar. Banyak masyarakat yang wilayahnya berkembang perkebunan sawit merasakan bahwa sumur-sumur menjadi lebih gampang kering.

Dulu sebelum berkembang perkebunan kelapa sawit, air di musim kemarau masih bisa diperoleh. Namun sekarang kemarau sedikit saja air sudah susah diperoleh, demikian anggapan mereka. Di samping itu secara umum diketahui bahwa kelapa sawit akan mengalami trek produksi jika terjadi musim kemarau.

Artinya untuk berproduksi normal kelapa sawit membutuhkan curah hujan yang merata sepanjang tahun agar dapat berproduksi secara normal yang kemudian diterjemahkan bahwa kelapa sawit butuh air yang banyak untuk berproduksi normal.

Apakah benar kelapa sawit adalah tanaman yang rakus air sehingga dapat menyebabkan menurunnya suplai air? Secara logika, untuk melihat apakah tanaman rakus air atau tidak tentu dengan melihat seberapa banyak air dibutuhkan oleh suatu tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara normal yang disebut sebagai kebutuhan air konsumptif tanaman. Kebutuhan air konsumptif tanaman biasanya dilihat dari nilai evapotranspirasi yang mencerminkan jumlah air yang diserap tanaman untuk diuapkan melalui evaporasi dan transpirasi.

Apakah tanaman kelapa sawit merupakan golongan tanaman dengan nilai evapotranspirasi tinggi ? Berbagai penelitian menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi tanaman kelapa sawit berkisar antara 1100 – 1700 mm/tahun. Pasaribu, et al., (2012) melalui penelitian selama 3 tahun di PPKS sub unit Kalianta Kabun Riau mendapatkan bahwa evapotranspirasi di perkebunan kelapa sawit rata-rata 1.104,5 mm/tahun.

Tarigan (2011) mendapatkan bahwa nilai evapotranspirasi kelapa sawit yang di tanam di lahan gambut di Kabupaten Seruyan Kalimantan Tengah selama 3 bulan (Juli-September) adalah sekitar 386 mm. Taufik dan Siswoyo (2013) melaporkan evapotranspirasi yang terjadi di Perkebunan Kelapa Sawit Sub DAS Landak Kapuas sebesar 4.39 mm/hari atau setara dengan 1580 mm/tahun.

Sementara Harahap dan Darmosarkoro (1999), mendapatkan bahwa kelapa sawit memerlukan air 1.500-1.700 mm per tahun untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksinya.

Nilai evapotranspirasi tersebut sebanding dengan nilai evapotranspirasi pada berbagai tanaman perkebunan yang dikembangkan pada daerah beriklim relative kering seperti tebu (1.000–1.500 mm per tahun dan pisang 700–1.700 mm per tahun dan lebih kecil dari nilai evapotranspirasi tanaman kelapa yang dilaporkan oleh Foale dan Harries (2011) yaitu sebesar 1980 mm/tahun bahkan jika dibandingkan dengan evapotranspirasi dari tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai berkisar 1.200 – 2.850 mm per tahun jika ditanam selama 3 musim tanam (setara 1 tahun).

Tanaman kehutanan yang berdaun kecil seperti lamtoro, akasia, dan sengon, bahkan mempunyai laju evapotranspirasi tahunan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit, dengan nilai evapotranspirasi berturut-turut sekitar 3.000 mm/tahun, 2.400 mm/tahun, dan 2.300 mm/tahun (Coster, 1938).

Bahwa tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang “tidak rakus air” dibandingkan dengan tanaman lain lebih nyata jika tolok ukur yang digunakan adalah efisiensi penggunaan air. Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman yang sangat efisien dalam pemanfaatan air.

Untuk menghasilkan 1 giga joule bioenergi, tanaman kelapa sawit hanya membutuhkan sekitar 75 m3 air, jauh lebih rendah dari tanaman rapeseed (bahan baku minyak nabati paling dominan di Eropa) sebesar 184 m3 , kelapa 126 m3 , ubikayu 118 m3 , jagung 105 m3 , dan kedelai 100 m3 air (Leens, et al, 2008).

Lalu kenapa kelapa sawit yang sebenarnya hemat air dituding telah menyebabkan lingkungan krisis air bagi lingkungan sekitarnya. Kelapa sawit termasuk tanaman yang mempunyai perakaran yang tergolong dangkal (akar serabut), sehingga mudah mengalami cekaman kekeringan. Hal ini menyebabkan tanaman kelapa sawit membutuhkan curah hujan yang merata sepanjang tahun agar dapat berproduksi secara maksimum.

Tanaman kelapa sawit berakar dangkal sehingga tidak punya kemampuan menyimpan air sebaik pohon lain. Saat hujan datang air tidak tertahan tetapi lolos bergerak ke lapisan tanah di bawah zona perakaran yang jika lahan merupakan lahan datar dengan muka air tanah yang dangkal maka lebih mudah menyebabkan genangan dan banjir, yang jika air tersebut di drainase begitu saja maka air yang hilang juga lebih banyak, air yang tersimpan lebih sedikit.

Perkebunan sawit biasanya dilengkapi dengan jalan panen yang umumnya keras dan padat. Jalan panen ini mempunyai kapasitas infiltrasi yang sangat rendah dan dapat bertindak sebagai jalur pengaliran air pada saat hujan sehingga air yang terbuang mengalir sebagai aliran permukaan menjadi tinggi. Jika terjadi demikian, maka cadangan air tanah menjadi lebih rendah.

Dari fakta tersebut diatas jelaslah bahwa tanaman kelapa sawit sebenarnya tanaman yang hemat air dibandingkan banyak tanaman pertanian dan perkebunan lainnya apalagi dibandingkan dengan tanaman kehutanan.

Jika di areal kelapa sawit betul terjadi penurunan ketersediaan air, pastinya bukan karena kelapa sawit rakus air tapi lebih karena pengelolaan terkait tata air yang belum memadai. Kerakusan akan air adalah sifat intriksik yang sukar diperbaiki, sementara perbaikan pengelolaan adalah sesuatu yang dapat diusahakan. 

DAFTAR ACUAN

Coster, C. 1938. Superficial Run-off and Erosion In Java. Tevtona 31 : 613-728.

Foale, M. and Harries. H. 2017. Production and Marketing Profile For Coconut. Agroforestry.net. (Diakses tanggal 5Agustus 2017).

Harahap I. dan Darmosarkoro. 1999. Pendugaan Kebutuhan Air Untuk Pertumbuhan Kelapa Sawit di Lapang dan Aplikasinya Dalam Pengembangan Sistem Irigasi. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 7(2) : 87 – 104.

Pasaribu H, Mulyadi A, Tarumun S. 2012. Neraca air di Perkebunan Kelapa Sawit PPKS Sub Unit Kaliantas Kabun Riau. Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. ISSN 1978-5283

Tarigan, S.D., 2011. Neraca Air Lahan Gambut yang Ditanami Kelapa Sawit di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan.Vol 13. No 1.

Taufik M, Siswoyo H. 2013. Pengaruh tanaman kelapa sawit terhadap keseimbangan air hutan (Studi Kasus Sub DAS Landak, DAS Kapuas). Malang (ID). Jurnal Teknik Pengairan. Vol 4 (1): 47-52.

Leenes, W.G, Hoekstra, A and Theo, M, 2008.The Water Footprint of Energy Consumption: an Assessment of Water Requirements of Primary Energy Carriers. ISESCO Science and Technologoe Vision. Vol 4 No.5*

Penulis adalah Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Divisi konservasi Tanah dan Air Fakultas Pertanian, IPB.