Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Generasi Milenial Jadi Penentu di Pemilu 2019
Oleh : Redaksi
Selasa | 26-03-2019 | 08:28 WIB
Yesinta-Hidayat-opini.jpg Honda-Batam
Yesinta Hidayat. (Ist)

Oleh Yesinta Hidayat

Pada Pemilu 2019, Generasi Milenial (Generasi Muda) akan menjadi penentu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperkirakan hampir 80 juta pemilih merupakan kaum milenial atau pemilih muda. Jumlah pemilih yang sangat menggiurkan bagi Partai politik.

Sejumlah langkah pun dilakukan Parpol untuk bisa meraih simpati dari kaum milenial. Sejumlah kader muda pun ditempatkan di sejumlah jabatan partai dan organisasi sayap partai, untuk bisa menarik suara kaum milenial. Posisi generasi milenial sangat diperhitungkan pada tahun politik sekarang ini. Mereka adalah bagian dari penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi, baik di tingkat daerah maupun nasional.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih milenial mencapai 70-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Artinya, sekitar 35–40 persen memiliki pengaruh besar
terhadap hasil Pemilu dan menentukan siapa pemimpin pada masa mendatang.

Generasi milenial menjadi sasaran empuk bagi politisi-politisi yang ingin mengajukan diri sebagai anggota dewan, karena kondisi idealis pemuda yang mudah sekali dipengaruhi tentang keberpihakan. Dengan peran generasi milenial sebagai pemilih yang memiliki sumbangsih terhadap suara hasil pemilihan yang cukup besar, maka posisi generasi milenial menjadi sangat strategis untuk menjadi objek sasaran pemungutan suara.

Beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak politisi yang menyadari pentingnya peran media sosial sebagai cara untuk memperoleh kemenangan pada Pemilu. Pada Pemilu 2014, diperkirakan ada sekitar 18,3 juta pemilih pemula dari kalangan generasi muda berusia antara 17 dan 24 tahun.

Dilihat dari sisi usia, kemungkinan sebagian besar di antara mereka adalah pengguna media sosial. Media sosial punya pengaruh besar terhadap pilihan politik generasi muda.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa 60,6% generasi
milenial atau anak muda kelahiran 1995-2005 mengakses berita terkait politik melalui media sosial. Untuk itu, menurut Peneliti Pusat Penelituan Politik LIPI, Wawan Ichwanuddin mengatakan, partai politik yang menguasai konten melalui media sosial berpotensi besar untuk menang. Mereka diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu dan menjadi incaran para partai politik dan politisi untuk diraih suaranya.
Memberikan suara pada Pemilu merupakan salah satu bentuk partisipasi politik. Namun, partisipasi politik tidak semata-mata diukur berdasarkan pemberian suara pada saat Pemilu. Pada dasarnya, ada banyak bentuk partisipasi politik, seperti mengirim surat (pesan) kepada pejabat pemerintahan, ikut serta dalam aksi protes atau demonstrasi, menjadi anggota Partai politik, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan, mencalonkan diri untuk jabatan publik, memberikan sumbangan kepada partai atau politisi, hingga ikut serta dalam acara penggalangan dana.

Seberapa jauh tingkat partisipasi generasi muda dalam bidang politik sering kali menjadi
bahan perdebatan.

Generasi muda sering kali dianggap sebagai kelompok masyarakat yang paling tidak peduli dengan persoalan politik. Mereka juga dianggap kerap mengalami putus hubungan dengan komunitasnya, tidak berminat pada proses politik dan persoalan politik, serta memiliki tingkat kepercayaan rendah pada politisi serta sinis terhadap berbagai lembaga politik dan pemerintahan (Pirie & Worcester, 1998; Haste & Hogan, 2006).

Pandangan ini sering kali dibenarkan dengan data yang menunjukkan bahwa generasi muda yang bergabung ke dalam Partai politik relatif sedikit. Mereka juga cenderung memilih menjadi golput dalam pemilu.

Namun, sejumlah studi menunjukkan kekeliruan pandangan sebelumnya yang menganggap generasi muda tidak tertarik pada politik. Studi tersebut menyebutkan bahwa generasi muda adalah kelompok yang dinilai paling peduli terhadap berbagai isu politik (Harris, 2013). Penelitian yang dilakukan EACEA (2013) terhadap generasi muda di tujuh negara Eropa menghasilkan kesimpulan bahwa generasi muda mampu mengemukakan preferensi dan minat mereka terhadap politik. Sebagian dari mereka bahkan lebih aktif dari kebanyakan generasi yang lebih tua. Mereka juga menginginkan agar pandangan mereka lebih bisa didengar.

Namun, bentuk partisipasi politik generasi muda dewasa ini cenderung menunjukkan perubahan dibandingkan dengan generasi pendahulunya. Jika pada masa lalu bentuk partisipasi politik lebih bersifat konvensional dan cenderung membutuhkan waktu lama, misalnya aksi turun ke jalan melakukan demonstrasi atau boikot, tindakan politik (political actions) generasi muda dewasa ini dipandang sebagai sesuatu yang 'baru' karena tidak pernah terjadi pada masa satu dekade lalu.

Bagaimana dengan milenial Indonesia? Tampaknya, kita memang harus menempuh
jalur yang lain untuk mewarnai politik dan pemerintahan. Generasi yang lebih senior di
Indonesia masih terlalu kuat. Namun desakan dari generasi muda juga semakin diperhitungkan.

Mudah-mudahan terjadi alih generasi yang baik di Indonesia. Bagi pemilih milenial, tentu ini saat yang baik untuk ikut mendorong alih generasi itu. Pemilu bukanlah memilih pemimpin yang terbaik namun memilih agar yang terburuk tidak berkuasa.

Menghadapi Pemilu 2019, milenial seharusnya bertanggungjawab sebagai warga negara,
berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa dengan mulai menyeleksi siapa yang akan
mereka pilih, melihat dan menilai bagaiamana informasi para calon pemimpin yang bisa kita lihat di berbagai media.

Idealnya, mereka bisa memilih wakil yang juga milenial pemikirannya agar ke depannya bisa membangun para generasi muda menjadi penerus Bangsa Indonesia.

Penulis adalah Mahasiswi Prodi Ilmu Administrasi Publik STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang.