Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Etika Politik Pemilu 2019, Calon Maupun Pemilih Cenderung Pragmatis
Oleh : Irawan
Senin | 11-03-2019 | 18:04 WIB
diskusi-dpd1.jpg Honda-Batam
Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema Etika Politik dalam Pemilu 2019. (Foto: Irawan)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPD RI Ahmad Muqowam yang juga Anggota MPR RI mengatakan saat ini terjadi perubahan yang luar biasa dalam pesta demokrasi di Indonesia.

Perubahan itu antara lain hilangnya etika politik dari para calon maupun pemilihnya, bahkan cenderung lebih pragmatis lagi.

"Saya ada di Dapil 1. Meski cuma empat kabupaten/kota, tapi saya minta ampun deh. Mohon maaf, kalo bicara orang sekarang, maka tolok ukurnya cuma satu. Saya kelompok, tokoh masyarakat, ujungnya cuma satu kata. Ada amplopnya gak. Mengerikan. Tapi ini satu fakta politik," kata Ahmad Muqowam di Jakarta, Senin (11/3/2019).

Ahmad Muqowam tampil sebagai pembicara bersama Anggota Fraksi NasDem MPR RI, Johnny G Plate, dan Pakar Psikologi Politik, Dr. Irfan Aulia, di acara diskusi Empat Pilar MPR, dengan tema 'Etika Politik dalam Pemilu 2019,' di Media Center, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen.

Artinya, menurut Muqowan, jika tidak mengasih, maka tidak akan dipilih. Hal ini yang menarik dalan psikologi politik di Indonesia sekarang ini.

Padahal di negara Indonesia ini, kata Muqowam, semuanya lengkap. Punya etika politik karena memiliki agama, bicara semua soal Pancasila, bicara soal nilai-nilai luhur, dan sangat berbudaya.

Tapi kenyataannya, semua berbalik dan bisa dilihat di Pilpres mau Pileg yang terjadi perubahan yang luar biasa.

"Namanya etika politik itu, baik caleg, partai, capres, wartawan dan masyarakat, semuanya harus beretika. Jika itu terjadi maka ini damai," kata Muqowam.

Menurut dia, saat ini dirinya sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa seperti kehilangan akal sehat.

"Saya rasakan sudah lima kali ikut pemilu, dan baru kali ini beratnya luar biasa dan hari ini saya merasa kehilangan akal," tandasnya.

Padahal, yang ia tahu, lanjut Muqowam, partai berbasis Islam ada sebuah kalimat 'yang memberi dan diberi keduanya masuk neraka'.

"Kalau saya ga ngasih maka saya akan kalah dalam konteks senayan. Jadi orang yang berpikir perilaku pragmatis hari ini sangat luar biasa sekali," tegasnya.

Sehingga Wakil Ketua DPD itu mengistilahkan dengan sindiran kata Jawa 'Teko-muni-kasi'. Jika teko (datang), muni (kampanye), dan kasi (tidak memberi uang), maka tak akan dipilih.

"Jadi, selama mengikuti lima (5) pemilu, kali ini adalah yang terberat. Berat menghadapi masyarakat," ujarnya.

Sedangkan Jhonny G Plate mengaku sangat prihatin dengan kondisi politik saat ini. Dimana ruang publik dalam pilpres ini dipenuhi dengan hoaks.

"Padahal semua memahami jika hoaks, fitnah itu merugikan dan membodohi masyarakat sendiri," ungkapnya.

Namun demikian kata Irfan, masyarakat yang memilih dalam pemilu tersebut berdasarkan tiga hal; yaitu karena sama partainya, kedua value atau nilai bobot masing-masing capres atau caleg sama, dan ketiga hanya emosi-nya yang berbeda.

"Nah, emosi itu bisa menyatukan dan sebaliknya bisa memecah-belah bangsa. Untuk itu ribuan hoaks bermunculan. Sehingga tinggal bagaimana para elit mengelola emosi yang positif dan bukannya yang negatif," pungkasnya.

Editor: Yudha