Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Peran Pemuda dalam Mencerdaskan Politik Pluralisme
Oleh : Redaksi
Sabtu | 02-03-2019 | 19:19 WIB
ilustrasi-porprov1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi pemuda (Foto: Ist)

Oleh Andi Muhfi Zandi M.

SEJATINYA, eksistensi media sosial di tengah proses politik elektoral, ternyata mampu menciptakan gejala masyarakat yang terpolar. Meskipun tidak selalu bermakna buruk, polarisasi politik jika dihegemoni dengan cara yang tidak sehat, seperti menyebarkan berita bohong (hoax) maupun kalimat-kalimat provokatif, dapat mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.

Ditambah, kini algoritma sosial media semakin membuat interaksi kita menjadi seragam, terkurung dalam suatu ruang gema dengan menolak suara-suara dari ruang lainnya, dan proses ini didukung oleh keadaan sekarang yang kental dengan era post-truth yang didefinisikan sebagai situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif.

Tentunya Peran media sosial menjadi krusial dalam produksi dan peredaran informasi di era post-tuth, sirirku-lasi berita pelintiran dan informasi palsu dapat dengan mudah menyebar. Hal itu berpotensi menjadikan masyarakat berpemikiran sempit dan menolak perspektif lain.

Menjelang pemilu presiden 2019, tensi politik di Indonesia kian naik, salah satunya kecendrungan gesekan yang disebabkan isu hoax di dunia maya. Untuk itu, literasi media dan pencerdasan massa sangat dibutuhkan untuk menjelaskan beragam fenomena dan realita yang ada di dunia sosial media, agar kebermanfaatan sosial media lebih dapat dirasakan daripada dibandingkan kecendrungan pada hal negative.

Konsekuensi Kontestasi Era Disterupsi Teknologi, Pertarungan Isu Hoax dan Tagar di Sosial Media: Jokowi vs Prabowo

Sebelum tagar #2019TetapJokowi ramai diperbincangkan, jagad sosial media sudah lebih dahulu mengenal tagar #Jokowi2Periode sebaagai tagar balasan untuk #2019GantiPresiden. Pengamatan aktivitas sosial media twitter dengan tool Drone Emprit pada rentang 1-8 April 2018 memberikan hasil analisis sebagai berikut:

a. Pertama, Jokowi justru menjadi top promoter hastag #2019GantiPresiden. Tren penggunaan tagar ini justru naik 700% atau 7 kali lipat dari 7.000 twit menjadi 37.000 twit setelah Presiden Jokowi memberikan sindiran atas hastag #2019GantiPresiden (yang belakangan juga menjadi desain kaos) melalui twidengan menyatakan: 'masa kaus bisa ganti presiden?'. Dan kurang lebih setengah hari setelah twit itu hadir, tagar #2019GantiPresiden mencapai puncak popularitasnya.

b. Kedua, tagar #Jokowi2Periode sangat jauh lebih sedikit jumlah twit maupun (percakapan yang saling terhubung) dibanding dengan tagar lawan. Hal ini dimungkinkan karena belum ada genjotan dari pihak Jokowi. Kemungkinan lain adalah bahwa pihaknya sedang mempersiapkan narasi lain.

c. Ketiga, baik #2019GantiPresiden maupun #Jokowi2Periode memiliki basis masa dan influencer atau motornya masing-masing. Di kubu #2019GantiPresiden, ada beberapa nama yang melambungkan tagar ini, di antaranya adalah kader-kader PKS. Nama-nama yang mendukung tagar ini secara umum merupakah tokoh terkenal. Berbeda dengan #2019GantiPresiden, tagar #Jokowi2Periode relatif sepi dan kebanyakan leader yang pro dengan wacana ini bukan tokoh-tokoh ternama.

Oleh karena itu, guna menjawab permasalahan semakin mendalamnya polarisasi yang dititkberatkan pada pengaruh banyaknya hoax yang membentuk ego sektoral secara emosional, akibat dari kontestasi dalam eloktoral politik yang terjadi di masyarkat, salah satu strategi pencerdasan yang dapat dilakukan.

Yaitu, dengan menguatkan peran pemuda, baik aktor internal ataupun eksternal, untuk mencerdaskan, menyadarkan, dan menfilter segala kemungkinan yang berpotensi menajamkan perpecahan secara emosional belaka.

Peran pemuda khususnya mahasiswa sebagai Digital Native dan Youthquake menjadi suatu gagasan inovatif untuk membawa kesejahteraan dan harapan baru bagi kesatuan masyarakat.

Digitan Native dan Youthquake

Di titik ini, sebagai mahasiswa yang menjadi bagian dari pemuda pada ruang diskursus intelektual, memiliki peran vital dalam upaya-upaya tersebut. Sebab, mahasiswa adalah generasi yang masuk dalam kategori digital native. Istilah digital native (digital sejak lahir) sendiri diperkenalkan Marc Prensky melalui serangkaian artikelnya di tahun 2001 untuk merujuk ke sebuah generasi yang berbeda dari apa yang ia sebut digital immigrants (pendatang digital).

Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam cara berpikir dan cara menggunakan pikiran untuk memroses informasi. Data dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan jika jumlah pengguna internet Indonesia sebesar 143,26 juta pada 2017 dengan populasi penduduk berjumlah 262 juta orang. Pengguna terbanyak berasal dari kelompok usia 19-34 tahun yaitu sebesar 49,52% . Sehingga tidak berlebihan jika menyebut mahasiswa (generasi muda) sebagai agen kunci dalam proses pertukaran informasi di digital media.

Argumentasi lain yang mendukung tesis tersebut, salah satunya hadir dari terminologi yang baru-baru ini ditetapkan sebagai Word Of The Year 2017 oleh Kamus Oxford karena menjadi kata yang sering dirujuk, yaitu 'youthquake' . Youthquake atau 'guncangan' pemuda, populer di pertengahan.

Istilah Youthquake awalnya diperkenalkan oleh Diana Vreeland, pemimpin redaksi majalah Vogue, pada tahun 1965 untuk mendeskripsikan gerakan budaya pop, gaya busana, dan musik pemuda tahun 1960-an yang melawan arus utama saat itu. Gerakan pada masa itu menunjukkan bahwa kaum muda juga memiliki ruang dan otoritas dalam perubahan.

Dalam konteks di era saat ini, Youthquake disebut sebagai bentuk gerakan perubahan generasi masa kini yang melibatkan pemuda sebagai inisiator dan partisipannya. Terlebih kita telah memasuki era disrupsi dimana penguasaan terhadap teknologi yang dimiliki oleh pemuda tentunya akan mempermudah keikutsertaannya dalam menangkal isu hoax.

Mahasiswa yang memiliki kesempatan menuju akses pendidikan dan pengetahuan yang luas, seharusnya mampu memanfaatkan peluang ini dan mendobrak narasi mainstream bahwa mahasiswa tidak berdaya. Terlebih, persoalan polarisasi politik dan pengaruh hoax adalah hal penting yang harus segera diatasi; mengingat pesta demokrasi kian dekat, dan nilai-nilai persatuan harus terus dirawat.

Langkah kongkrit mahasiswa adalah dengan membuka ruang dialog yang luas dan inklusif, mampu diakses setiap orang, dan memberikan perspektif berimbang terkait gejala-gejala sosial yang kecendrungan penggiringan opini yang terjadi di sosial media.

Mahasiswa dapat saling membagikan konten mendidik melalui akun media sosial pribadi maupun akun sosial media yang sengaja diciptakan sebagai kanal bagi masyarakat mengetahui kejadian politik di Indonesia yang berkaitan dengan digital media.

Mahasiswa sudah sepatutnya berupaya menjadi contoh bagaimana cara hidup ditengah heterogenitas, bagaimana menghargai perbedaan, dan tidak mengurung diri dan menimbulkan kebencian bagi ruang-ruang dunia maya.*

Penulis adalah Mahasiswa PTS di Jakarta