Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Berhentilah Mempolitisasi Anak
Oleh : Redaksi
Jumat | 01-03-2019 | 17:16 WIB
ilustrasi-anak-anak.jpg Honda-Batam
Ilustrasi keceriaan anak-anak. (Foto: Ist)

Oleh Dodik Prasetyo

MENJELANG Pemilu April 2019 nanti, sepertinya jejaring media sosial tak henti-hentinya memberikan berita viral yang cukup menarik sorotan publik. Seperti video tentang siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) yang menyanyikan lagu dengan lirik 'Ayo Kita Pilih Prabowo-Sandi'.

Hal tersebut tentunya menuai kontroversi di media sosial. Dalam video tersebut terlihat para siswa seperti diarahkan oleh orang dewasa yang menyanyikan lagu tersebut sambil menggerakkan kedua tangannya ke atas dan ke bawah. Ada pula yang mengacungkan dua jari yakni jempol dan telunjuknya ala simbol milik pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Video ini masih ditelusuri oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta tim siber Polri. Video tersebut menjadi kontroversi lantaran melibatkan anak-anak dan menggunakan sekolah untuk kampanye. Menurut Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Veri Junaidi, melibatkan anak dalam kampanye bisa dikatakan sebagai bentuk eksploitasi.

Selain alasan eksploitasi, pelibatan anak-anak dalam kampanye juga berpotensi membahayakan keselamatan. Hal ini merujuk pada pemilu periode sebelumnya, terdapat potensi muncul konflik, persinggungan dalam kelompok dan sebagainya.

Namun UU Pemilu No 7 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2019 tidak melarang pelibatan anak dalam kampanye. UU ini hanya mengatur tentang larangan berkampanye di lembaga pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 280 ayat 1 huruf H. Pelaksana, peserta dan tim kampanye pemilu tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.

Kemudian Pasal 15 dan Pasal 76 H Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan Anak juga secara eskplisit melarang pelibatan anak dalam aktifitas politik. Dalam kasus ini ternyata mengundang keprihatinan tersendiri bagi Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti. Pihaknya mengaku prihatin atas politisasi yang terjadi di sekolah. Ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak semestinya terjadi karena sekolah adalah area yang harus bebas dari segala bentuk politik praktis.

"Kasus ini harus diusut tuntas oleh pihak dinas pendidikan, guru dan sekolah harus diperiksa. Kalau dibiarkan berpotensi menjadi preseden buruk," ujar Retno.

Retno juga menambahkan bahwa tindakan penggiringan opini pada peserta didik yang sudah mendapatkan hak pilih saja tidak diperkenankan, apalagi yang belum memiliki hak politik seperti anak-anak.

Sosok guru seyogyanya tidak diperkenankan membawa pandangan politiknya ke dalam kelas. Apalagi dengan mengeksploitasi peserta didik dengam meminta mereka untu menyanyikan lagu dukungan/kampanye untuk pasangan calon Prabowo-Sandi.

Kalaupun ingin mengajarkan menyanyi, tentu Indonesia masih punya banyak lagu wajib nasional yang bisa diajarkan kepada peserta didiknya. Di sekolah para siswa sudah seharusnya diberikan contoh demokrasi yang terbuka, jujur dan mampu menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) kepada siapapun.

KPAI mendorong para Pendidik, baik guru PNS maupun non PNS untuk dapat mematuhi ketentuan bahwa lembaga pendidikan seperti sekolah haruslah bersih atau steril dari berbagai kepentingan politik dan politik praktis," tandasnya.

Bawaslu juga meminta kepada seluruh peserta pemilu agar tidak melanggar aturan kampanye seperti melibatkan anak-anak. Bawaslu menghimbau pada semua pihak, untuk tidak melakukan sesuatu yang dilanggar undang-undang. Yaitu melibatkan anak-anak dalam kampanye, ataupun memaksa anak-anak untuk melakukan sesuatu yang tidak diketahui.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan bahwa pihaknya akan mendalami video tersebut. KPAI akan mencari tahu lokasi sekolah dan siapa yang menggerakkan para siswa. Usman Kansong selaku Direktur Komunikasi Politik TKN memberikan tanggapannya, bahwa Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu, melarang penggunaan anak dalam kampanye. Atas dasar itulah, Usman meminta agar Bawaslu senantiasa proaktif dan tak menunggu laporan lebih dulu.

Menurut Usman, tidaklah sulit menemukan penyebar video tersebut. Sebab, jejak-jejak digital tidak akan mudah dihapus, apalagi ketika video tersebut sudah viral di media sosial. Pada Pasal 76 H menyebutkan setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.

Juru Bicara TKN Irma Suryani Chaniago menilai bahwa siswa sekolah dasar tidak patut diseret-seret untuk kepentingan politik.

"Karena politisasi anak SD, SARA, fitnah dan black campaign merupakan strategi politik yang tidak mendidik, tidak mencerdaskan dan justru memecah belah kesatuan dan persatuan," jelas Irma.

Komisi X DPR RI juga menyayangkan atas beredarnya video siswa SD yang menyanyikan lagu kampanye tersebut. Komisi yang membidangi pendidikan itu meminta video yang berlatar di sekolah itu ditelusuri.

Anggota Komisi X Hetifah mengatakan, tidak seharusnya politisasi dalam dunia pendidikan dilakukan. Apalagi jika kemudian melibatkan anak-anak. Apabila terbukti ada keterlibatan guru dalam video tersebut, Hetifah meminta Bawaslu bekerja sama dengan SKPD terkait. Mengingat aparatur sipil negara wajib menjunjung tinggi netralitas.

Politikus PDIP Budiman Sujatmiko mengatakan, bahwa Pasangan Prabowo-Sandi nampaknya kehilangan pijakan kebenaran, kehilangan kepercayaan dirinya hingga mereka memanfaatkan anak-anak untuk tujuan kekuasaan. Pihaknya juga menilai, bahwa cara-cara tersebut serupa dengan cara yang sering dipakai para teroris. Ia juga mengatakan bahwa para teroris kerap menggunakan anak-anak dalam aksinya seolah-olah mereka suci dan mulia.*

Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)