Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Beda Pemimpin dan Operator Bisa Dilihat dari Gagasan Besarnya
Oleh : Irawan
Rabu | 20-02-2019 | 09:40 WIB
fahri-debat.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah. (Abadkini.com)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mencoba menganalisa secara filosofis debat calon presiden sesi kedua, yang berlangsung pada Minggu (17/2/2019) malam, antara capres nomor urut 01, Jokowi dengan capres nomor urut 02, Prabowo Subianto.

Tujuannya adalah agar publik mengerti seberapa besar bobot dan kemampuan konseptual para capres yang tengah bertarung di Pilpres 2019 ini.

"Kalau kita bertanya, adakah Jokowinomics dan Prabowonomics dalam debat ke-2? Setelah mencermati lagi, saya terdorong untuk menganalisa debat tersebut secara agak filosofis," ucap Fahri Hamzah kepada wartawan, Selasa (19/2/2019).

Fahri menuturkan, dalam teori manajemen modern, untuk menjadi pemimpin yang berkualitas, setidaknya ada 3 kemampuan (skill) yang harus dimiliki: kemampuan menguasai konsep (conceptual skill), kemampuan memimpin orang (interpersonal skill) dan kemampuan dalam hal-hal teknis (technical skill).

Sebagai pemimpin yang berkualitas, menurut dia, porsi terbesar yang harus dimiliki secara berurutan: conceptual skill, interpersonal skill, baru technical skill.

"Tidak bisa dibalik. Kalau pemimpin lebih senang mengerjakan hal-hal teknis dibandingkan memikirkan konsep dan sistem, itu terbalik," kata dia.

Pimpinan DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) itu menjelakan, ada pemimpin, ada manajer, ada operator. Komposisi skill itu menandakan dia siapa.

Pemimpin dominan conceptual skill, sementara operator tentu lebih dominan technical skill-nya dan manajer memiliki komposisi yang relatif sama dalam skill itu.

"Ini saya pelajari di Semester I FEUI. Maka, pemimpin yang benar adalah yang mampu melihat gambar besar, memahami konsep serta mampu menggerakkan setiap orang atau organ yang dipimpinnya untuk bekerja secara teknis demi merealisasikan konsep atau tujuan besarnya. Bukan yang menjadi operator," sebut Aggota DPR dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.

Jadi, kalau mau relevan dengan tujuan debat untuk mencari pemimpin yang berkualitas, kita harus fokuskan penilaian pada konsep-konsep pembangunan negara yang ditawarkan kedua capres. Khususnya dalam bidang yang menjadi tema debat kedua yang lalu.

"Kalau kita menilai kedua kandidat, secara kontras dapat dilihat kerangka argumen yang dibangun Jokowi cenderung pemaparan reportif, sedangkan Prabowo ingin ajukan alternatif. Jokowi melakukan presentasi, Prabowo mencoba berstrategi. Maka debat menjadi tidak menarik," katanya.

Di satu sisi, hampir setiap pertanyaan atau jawaban yang dikemukakan Jokowi laporan bukan pertanggungjawaban. Karena yang bersangkutan sibuk menghafal angka-ngka dalam presentasi dan kurang mempertanggungjawabkan apa yang menjadi pertanyaan publik.

"Bahkan, jawabannya nampak searah. Akibatnya, apa yang disampaikan Jokowi tampak seolah begitu meyakinkan karena sambil mengutip beberapa data walaupun ketika divalidasi, data-data yang disampaikannya banyak yang tidak akurat bahkan cenderung ngawur," cetus Fahri.

Di sisi lain, masih menurut Fahri, Prabowo lebih banyak mengungkap pandangan strategis dan komitmen ke depan dalam menyelesaikan persoalan yang dibahas dalam debat itu. Tapi, harus diakui akhirnya menjadi minim data dan elaborasi. Padahal kalau ditambah agak detil, itu bisa mematikan lawan.

"Misalnya startegi menahan kebocoran dan penguasaan sumber daya dalam negeri. Sebetulnya itu membantah tol, membantah unicorn dan semua kehendak untuk mengintegrasikan rakyat Indonesia, ke pusaran kapitalisme global. Harusnya diurai apa bahaya tol dan Unicorn bagi rakyat," imbuh dia.

Selain itu, Prabowo juga harus menjelaskan bahwa tol di hulu-nya, apabila tidak bisa bayar hutang akan jadi milik asing. Lalu di hilirnya, kalau rakyat merasa tol mahal maka tol tidak akan dipakai oleh petani dan pengusaha lokal untuk jual barang, tetapi sebaliknya.

"Sama juga dengan unicorn, bila melihat pengalaman, waktu jadi startup kecil diinisiasi oleh rakyat, lalu setelah besar ditelan oleh raksasa kapitalis yang akhirnya membuat posisi tawarnya rendah. Akhirnya unicorn bisa menjadi infrastruktur barang dan jasa luar bagi pasar kita," pungkas Fahri Hamzah.

Editor: Surya