Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menelisik Heboh Foto Salam 2 Jari Para Hakim PN Jakpus
Oleh : Redaksi
Jumat | 15-02-2019 | 08:04 WIB
salam-dua-jari.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Para hakim saat berpose salam dua jari. (Foto: Ist)

Oleh Rizal Arifin

MENINGKATKAN atmosfer suhu politik menjelang Pemilu 2019, komunitas atau profesi tertentu yang seharusnya dituntut netral justru menunjukkan keberpihakan. Contohnya, sikap dukungan pada Paslon tertentu ditunjukkan oleh seseorang yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), pejabat negara, termasuk Hakim.

Menghadapi tantangan tersebut, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran No. 2 Tahun 2019 tentang Larangan Hakim Berpolitik yang ditandatangani Herri Swantoro pada 7 Februari 2019.

Dalam surat edaran tersebut, hakim sebagai pejabat negara diwajibkan menjaga sikap netralitas baik dalam sikap, perkataan, maupun perbuatannya terkait pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. Hal ini karena berkaitan dengan hakim pada peradilan umum memiliki kewenangan memutus perkara pidana Pemilu.

Belakangan beredar foto para hakim di PN Jakpus yang berpose ‘salam 2 jari” dan mendadak viral. Sontak Komisi Yudisial (KY) sangat menyayangkan kejadian ini, karena belum lama berselang pasca dikeluarkan edaran larangan hakim berpolitik. "KY menyayangkan sikap para hakim yang tidak memperlihatkan keteguhannya dalam menjaga netralitas dalam kehidupan bernegara," tutur Komisioner KY Sukma Violetta, Selasa (12/2/2019).

Hakim yang ada foto tersebut diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Untuk memberikan rasa nyaman dan meneguhkan kepercayaan publik kepada insan peradilan, KY akan menindaklanjuti sesuai prosedur penanganan yang berlaku tanpa harus menunggu laporan masyarakat. "KY tidak perlu menunggu masyarakat melaporkan hal ini. Bisa langsung ditindaklanjuti," tambahnya.

Hakim sebagai warga negara memiliki hak politik yang sama dalam memberikan suara pada Pemilu dengan warga negara lainnya. Namun, dilarang menjadi anggota partai politik dan tim pemenangan karena menyangkut tugas pokok sebagai “wakil Tuhan” di bumi yang berhak memutus perkara dan termasuk pidana Pemilu. Hakim dituntut menjunjung tinggi netralitas dan independensi.

Sangat disesalkan jika insan yudikatif dengan bangga menunjukkan preferensi politik ke khalayak ramai. "Terkait pilihan dalam Pemilu, merupakan hak masing-masing warga. Akan tetapi sangat diharapkan korps hakim tidak memperlihatkannya kepada publik. Karena perkara pidana dan sengketa Pemilu akan diadili oleh pengadilan-pengadilan di bawah MA," tutur Sukma.

Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menerangkan surat edaran larangan hakim berpolitik untuk menjaga para hakim di lingkungan peradilan umum agar tidak terseret pada tindakan politik praktis yang berujung pada keberpihakan dan menggangu independensi hakim.

Apalagi, hakim di lingkungan peradilan umum semua tingkat peradilan berwenang menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan pidana pemilu. Surat Edaran Dirjen Badilum bukan berarti hakim di lingkungan peradilan agama dan Tata Usaha Negara dapat melakukan keberpihakannya terhadap para calon legislatif atau salah satu calon presiden tertentu.

Sebab, larangan hakim tidak boleh berpolitik memang telah diatur dalam KEPPH. Surat Edaran ini bentuk sikap tanggap dari Dirjen Badilum untuk menyikapi persoalan penanganan Pemilu di peradilan umum.

Jika hakim memperlihatkan kecenderungan pilihan politiknya dan dapat diakses publik pada akhirnya dapat menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Sebab, sikap ini dianggap lembaga peradilan tidak menjunjung tinggi ketentuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) terutama melanggar prinsip indepedensi dan imparsial (keberpihakan).

Besar harapan supaya kasus ini tidak meluar sehingga menjadi bola panas di masyarakat. Ketegasan Komisi Yudisial ditunggu agar citra lembaga peradilan terjaga dengan baik dan Pemilu 2019 berjalan tanpa ada gejolak yang berarti.*

Penulis adalah Pengamat Sosial Politik