Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Meneropong Arah Politik Ustadz Somad
Oleh : Redaksi
Sabtu | 09-02-2019 | 17:16 WIB
ustadz-somad1.jpg Honda-Batam
Ustadz Abdul Somad. (Foto: Ist)

Oleh Dedy Sunandar

JELANG Kontes Politik 17 April 2019, para tokoh agama maupun adat sering menunjukkan sikap netral dalam upaya menjaga tensi perpolitikan agar tidak semakin memanas.

Berbagai model dan cara dilakukan para kandidat. Banyak calon berusaha memancing emosi umat dengan menggunakan bahasa agama, baik bahasa lisan, tulisan maupun bahasa tubuh. Ayat-ayat dalam kitab suci digunakan untuk mendukung diri dan partai mereka, meskipun sebelumnya mereka jarang terdengar menggunakan bahasa agama dalam keseharian.

Bahasa tulisan semakin canggih dalam mengutarakan ayat dan hadis. Media sosial ramai dengan kutipan hadis dan ceramah yang 'dipotong' sebagai power untuk mempengaruhi publik.

Para politisi tiba-tiba tampil dengan menggunakan sorban seolah mereka ingin setara dengan para habib. Padahal, bisa jadi apa yang mereka lakukan hanyalah untuk menyosialisasikan diri dengan komunitas agama yang ditarget sebagai calon konstituen.

Perang dalil pun akan semakin menjadi jika para politisi mengutip penggalan ayat secara setengah-setengah, hal ini sempat terjadi ketika Megawati dicekal oleh lawan politiknya yang memanfaatkan kaum agamawan untuk mengatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, nyatanya hal tersebut cukup efektif merepotkan Ibu Megawati.

Untungnya ada kelompok yang netral dan memberikan klarifikasi secara lugas, bahwa ayat yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, merupakan ayat yang berurusan dengan rumah tangga, bukan dengan dunia publik.

Peliknya permasalahan tersebut sepertinya disadari betul oleh da'i kondang Ustaz Abdul Somad (UAS) yang menegaskan bahwa dirinya tidak akan memenuhi undangan dakwah yang menghadirkan pasangan capres-cawapres untuk pemilu 2019.

Keputusan tersebut diambil Ustaz Abdul Somad setelah melewati proses perenungan yang panjang hingga akhirnya dapat ditarik satu kesimpulan. Bahwa dirinya bukanlah simpatisan ataupun juru kampanye dari pasangan calon atau partai manapun.

Bahwasanya setelah penetapan capres dan cawapres pada tanggal 20 September 2018, dirinya tidak akan memenuhi undangan dakwah, baik itu acara yang diselenggarakan oleh Pemkot, Pemda, Ormas, atau apapun yang menghadirkan capres-cawapres.

Hal ini dilakukan oleh UAS untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang rawan akan terjadi gesekan seiring dengan semakin memanasnya situasi politik jelang pemilu 2019.

Dalam video yang viral tersebut, Ustaz Abdul Somad menekankan untuk menjaga netralitas agar tidak ada sebaran hate speech, ujaran kebencian dan hoax. Untuk menjaga pilpres dan pileg yang aman, damai dan sejahtera.

Di sela-sela tausiyahnya tentang di Banda Aceh, dirinya juga menyinggung terkait sikapnya dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2019.

Penjelasan ini disampaikan oleh UAS karena namanya sempat masuk dalam daftar tim sukses atau juru kampanye pemenangan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden RI.

Dengan gayanya yang khas dirinya juga menegaskan bahwa UAS tidak menjadi juru kampanye bagi calon manapun, tidak menyebut partai, tidak menyebut warna, tidak menyebutkan nama dan hanya menyebutkan sifat. Kalau tersinggung terserah sendiri.

Dalam ceramahnya ia menegaskan agar umat Islam menggunakan hak pilihnya, dan meminta agar umat Islam tidak terjerumus dalam dosa besar berupa kesaksian palsu karena memilih setelah diberi uang atau politik uang.

Ulama dan tokoh agama merupakan orang-orang yang paling kuat pengaruhnya terhadap pemilih di Pilpres 2019. Dalam survey yang dilakukan oleh (LSI) Denny JA menyatakan bahwa sebesar 51,7 % pemilih sangat mendengarkan imbauan dari tokoh agama seperti ulama, pastor dan biksu.

Sedangkan tokoh lainnya hanya berada pada angka dibawah 20 %. Para pemilih itu menyatakan mendengar imbauan politisi hanya 11 % dan terpengaruh dengan imbauan atau pendapat pengamat hanya 4,5 %

Peneliti LSI Denny JA, Ikrama menuturkan, "Mereka yang menyatakan tokoh agama paling kuat pengaruhnya merata di semua segmen pemilih. Baik mereka yang berpendidikan tinggi maupun rendah, mereka yang memiliki jabatan ataupun "wong cilik", mereka yang merupakan pemilih milenial maupun pemilih lansia, semua segmen pemilih partai dan capres.

Semakin dekat pemilu semakin kuat pertarungan antara bahasa politik dan bahasa agama. Para tokoh agama akan semakin ramai didekati oleh para politisi, salah satunya Ustaz Abdul Somad yang sempat diisukan masuk dalam bursa cawapres.

Tujuan dari hal tersebut tentu untuk memperoleh dukungan dari pengaruh para elite agama di dalam masyarakat, hal ini senada dengan survey yang dilakukan oleh LSI Denny JA yang menyatakan bahwa imbauan tokoh agama lebih didengar daripada imbauan dari politisi.

Hal ini dibuktikan dengan bahasa agama yang mampu mengerahkan partisipasi massa kedalam sebuah pertemuan akbar. Hal inilah yang menjadi sasaran politisi untuk menjadikan agama sebagai kendaran untuk meraup simpati publik.

Jika hal tersebut terjadi maka kekhawatiran yang muncul ialah terjadinya desakralisasi ajaran agama, karena agama yang seharusnya murni sebagai urusan spiritual, berubah menjadi tumpangan bagi berbagai kepentingan diluar agama itu sendiri.

Langkah yang diambil Abdul Somad tentu diharapkan juga dicontoh oleh beberapa tokoh agama yang cukup berpengaruh, sudah sepantasnya tokoh agama tidak terjerumus dalam keabu-abuan dunia politik, namun sudah sepantasnya seorang tokoh agama seperti ustaz Abdul Somad menjaga perdamaian menjelang pileg maupun pilpres dengan bersikap netral.

Kini sudah saatnya umat Islam berpikir kritis dan harus hati-hati terhadap setiap provokasi untuk melakukan tindakan politis atas nama agama. Aksi turun ke jalan atas nama agama sudah sepatutnya dicurigai, jangan sampai lonjakan massa yang besar menjadi tunggangan para elit politik demi meraih eksistensi dalam pemilu 17 April 2019.*

Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik