Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kekejaman OPM dan Manuver Berbahaya Vanuatu
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 08-02-2019 | 17:40 WIB
kriminal_papua1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi OPM di Papua. (Foto: Ist)

Oleh Robert Tomi Mano

OPM memang terkenal sebagai organisasi kriminal yang kejam, sebagaimana diketahui pada 1 Desember 2018 yang diklaim sebagai hari kemerdekaan Papua Barat. Acara tersebut dibarengi dengan agenda bakar batu bersama masyarakat setempat. Lantara ada pekerja PT Istaka Karya yang memotret rangkaian acara tersebut.

Kelompok Kriminal Separatis tersebut lantas mendatangi base camp mereka. Kelompok separatis datang sekitar pukul 15.00 WIT. Dengan berbagai senjata tajam dan senjata api, puluhan anggota kelompok itu memaksa 25 pekerja PT Istaka Karya keluar dari base camp.

Selanjutnya, mereka digiring menuju Kali Karunggame dalam kondisi tangan terikat,” imbuhnya. Sampai pada hari minggu para pekerja tidak dilepaskan. Sekitar pukul 07.00 WIT mereka dibawa ke puncak Bukit Kabo. Dalam perjalanan dari Kali Karunggame ke Bukit Kabo, puluhan pekerja PT Istaka Karya diminta berjalan jongkok. Saat itulah OPM menembaki mereka. Sebagian pekerja tertembak mati di tempat, sebagian lagi pura – pura mati terkapar di tanah. Total sebelas pekerja PT Istaka Karya berpura – pura tidak bernyawa.

Namun, lima di antaranya ketahuan saat hendak melarikan diri. Mereka langsung dieksekusi dengan menggunakan senjata tajam. OPM juga sempat ingin menunjukkan eksistensinya dengan menyerang anggota kepolisian sektor Pirime pada 27 November 2012. Ia berhasil membunuh dengan keji 3 pucuk senjata api (senpi), yakni 2 senjata laras panjang dan satu pistol revolver.

Beberapa hari berselang, sekelompok anggota OPM juga menyerang Kapolda Papua Irjen Pol Tito Karnavian yang saat itu hendak meninjau Polsek Pirime. Dalam kontak tembak tersebut, satu pengikut anggota OPM bernama Wanimbo tewas tertembak. Tindakan OPM memang jelas merupakan kejahatan kemanusiaan dan OPM tidak hanya organisasi penjual harapan palsu juga merupakan kelompok kriminal dan teror yang harus segera ditumpas oleh negara dengan memakai TNI sebagai pemain utamanya, karena TNI dibekali kemampuan gerilya dan anti gerilya serta kemampuan perang lainnya.

Selain itu adanya pengakuan atau testimoni warga yang disandera OPM seharusnya menjadi “wake up call” bagi organisasi dan NGO yang selama ini masih terkesan “membela OPM” bahwa OPM sejatinya tidak layak dibela. Di sisi lain kemerdekaan Papua Barat juga didukung oleh negara kecil bernama Vanuatau di bagian Lautan Pasifik, hal tersebut lantas mendadak ramai menjadi bahan perbincangan hangat di Indonesia.

Negara Vanuatau juga dengan berani mengabaikan kritik pemerintah Indonesia dan tetap mendukung kemerdekaan Papua Barat. Alhasil, nama Vanuatu semakin menjadi sorotan yang tajam. Terlebih, dengan semakin gencarnya upaya organisasi pendukung separatisme Papua Baraat di dalam maupun luar negeri, ‘keberanian’ wilayah kepulauan itu semakin mejadi – jadi terhadap Indonesia.

Keberanian Vanuatu terbit manakala berhasil menggalang dukungan dari sejumlah negara pasifik lainnya. Negara tersebut bekerjasama dengan Kepulauan Solomon untuk membentuk Pacific Islands of West Papua (PIWP), untuk menjaring dukungan dari negara – negara pasifik. Jika sebelumnya Vanuatu adalah pejuang tunggal dalam mendukung kemerdekaan Papua Barat, kini di belakang mereka telah berdiri tujuh anggota baru seperti kepulauan Solomon, Nuru, Kepulauan Marshall, Palau, Tuvalu, Kiribati dan Tonga.

Tak sekedar menginisiasi sebuah kelompok untuk mendukung kemerdekaan Papua Barat, pemerintah Vanuatu juga menyetujui upaya negaranya untuk hadir dalam pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa. Strategi Vanuatu adalah mencoba mengadvokasi isu Papua ke luar wilayah Pasifik saat koalisi antar negara pasifik telah terbentuk.

Bahkan, Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Charlot Salwai telah menunjuk utusan khusus, yakni Duta Besar mereka di Uni Eropa, Roy Micky Joy. Sosok inilah yang akan membantu melobi yurisdiksi Uni Eropa, Uni Afrika dan Karibia tentang Papua di kancah internasional.

Pemerintah Vanuatau menganggap isu tentang Papua telah sampai pada tingkat permasalahan yang lebih luas. Dalam pertemuan bertajuk Pacific Island Forum (PIF), permasalahan tentang Papua dimasukkan ke dalam 14 isu yang tengah dibahas. Bisa dibilang, dari yang sebelumnya menjadi bahasan bilateral Vanuatu, telah naik ke tingkat forum dan menjadi isu regional. Seperti yang diketahui, PM Salwai mengadakan pertemuan bilateral dengan banyak negara dan mengangkat isu Papua dalam forum PIF tersebut.

Selain itu Vanuatu juga memiliki alasan Historis yang tak ingin masyarakat Papua lenyap dari tanahnya sendiri. Sejarah masa lampau dari Vanuatu juga menjadi latar belakang dari mereka untuk mendukung kemerdekaan Papua. Di masa lalu, Vanuatu yang masih bernama New Hebrides, sempat ketakutan akan kehilangan tanah dan identitas mereka di wilayah sendiri. Bisa disimpulkan, bertahan dari kepunahan menjadi alasan bagi Vanuatu untuk ikut berdiri di belakang gerakan Papua Merdeka.

Senada dengan organisasi pendukung kemerdekaan Papua Barat, narasi kekerasan Hak Asasi Manusia (HAM) juga diangkat Vanuatu untuk meraup dukungan luas secara internasional. Negara di kawasan pasifik itu juga dinilai tidak menghormati kedaulatan NKRI karena berani menyusupkan aktifis sekaligus ketua United Liberation Movement for West Papua, ke dalam Dewan HAM PBB.

Indonesia menilai, hal tersebut dianggap sebagai upaya diplomasi Papua Barat yang menumpang Vanuatu sebagai ‘kendaraan’ untuk menyampaikan aspirasinya di forum internasional.

Bagaimanapun juga, manuver politik yang digencarkan Vanuatu untuk menyudutkan NKRI terkait Papua barat, tak bisa dianggap remeh. Karena jika hal ini dibiarkan berlarut tanpa ada penyelesaian, tentu hal ini akan berbahaya bagi Indonesia di masa depan. Tentu sudah sepatutnya Indonesia tidak hanya memberi kecaman, namun juga lobi tingkat tinggi hingga ke dewan PBB.*

Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Papua