Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Diminta Intervensi Perubahan Skema Kepemilihan Lahan Sawit
Oleh : surya
Rabu | 29-02-2012 | 17:01 WIB

JAKARTA, batamtoday-Anggota DPD asal Riau Gaffar Usman mengatakan, skema kepemilikan  lahan sawit antara masyarakat dengan pengusaha selama ini, harus diubah agar tidak lagi muncul kasus-kasus Mesuji baru.  Yakni dari semula 37 persen untuk masyarakat, 51 persen swasta dan 12 persen BUM, diubah menjadi 63 persen milik masyarakat dan 37 persen perusahaan swasta dan BUMN.

"Sekarang ini rakyat terabaikan, maka tidak heran kalau muncul kasus Mesuji dan lain-lain. Pemerintah harus intervensi untuk mengubah regulasi kepemilikan dari 37 persen masyarakat dan 63 perusahaan, diubah menjadi 63 persen milik masyarakat dan 37 persen perusahaan. Pemerintah harus serius memperhatikan rakyat," kata Gaffar di  sela-sela diskusi‘Prospek Industri Sawit’ di Jakarta, Rabu (29/2/2012).

Sedangkan Anggota DPD asal Kalimantan Tengah (Kalteng) Bambang Soesilo mengatakan, pemerintah perlu menjadikan perkebunan sebagai kedaulatan kedua setelah kedaulatan energi.  “Kalau tidak, maka industri sawit ini akan dikuasai oleh asing. Padahal, industri sawit ini akan menyerap tenaga kerja yang besar dan memperbaiki perekonomian bangsa,” kata Bambang.

Sementara  Ketua GAPKI Fadhil Hasan mengaku optimis industri sawit tetap akan mengalami pertumbuhan pada 2012 baik dari sisi produksi, ekspor dan harga. Sebab, sawit adalah penghasil minyak na bati terbesar, setelah kedelai sehingga saat dibutuhkan dalam dan luar negeri.

"Diperkirakan tahun 2012 ini ekspor sawit mencapai 25 juta ton dan 17,5-18 juta ton. Sedangkan harga akan berkisar pada 1000-1200 dollar AS. Prospek ini akan lebih baik jika semua stakeholder bekerjasama dengan baik,” kata Fadhil 

Menurutnya, Indonesia tidak boleh berhenti untuk melakukan produksi dan diharapkan terus melakukan ekspansi ekspornya agar kehilangan peluang bisnia.   “Peluang dimaksud adalah peluang bisnis bagi perusahaan Indonesia, petani  kelapa sawit rakyat maupun peluang membangun Negara demi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya,” katanya.

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Aris Yunanto menegaskan,  pemerintah Indonesia tidak usah takut dengan tekanan Amerika Serikat, karena ekspor Indonesia terbesar adalah India, China dan Negara Eropa lainnya.

“Bahkan dalam catatan pasar AS, ekspor kita berada di urutan ke-13. Jadi, meski dihantam dengan isu lingkungan dan lainnya semua terbantahkan. Jika AS masih menolak karena dianggap tidak memenuhi standar lingkungan AS, ini semata karena persaingan ekonomi global. Kita harus maju terus,” kata Aris. 

Anggota Komisi VI dari Fraksi Hanura Erik Satria Wardhana  menambahkan, pemerintah harus memperbaiki konsep kebijakan kemitraan antara petani dengan perkebunan besar, sehingga petani tidak terus menerus dirugikan seperti selama ini.

"Hilirisasi harus ditunda, sehingga petani dapat mengambil manfaat asalkan pemerintah  harus memperbaiki konsep kebijakan kemitraan (plasma dan inti) antara petani dengan perkebunan besar (negara dan swasta), serta membangun koperasi dan kemitraan usaha,” kata Erik.